Senin, 18 April 2011

Chapter Two

Laki-laki yang dipanggil dengan nama Anak Angin itu berdiri tegar dengan pundak yang bergerak naik turun dengan cepat. Dia terlihat seperti kelelahan, padahal dia baru saja sadar dari pingsannya beberapa saat lalu. Tidak hanya napasnya yang tidak beraturan, tapi tubuhnya juga terlihat gemetaran, terutama pada bagian kakinya. Rambutnya yang berantakan bergerak-gerak sendiri, seakan-akan tertiup angin, tapi itu membuatnya terlihat sangat lelah dan dalam keadaan lemah. Meski begitu, laki-laki itu tetap sebagai laki-laki tergagah yang pernah Zora temui selama 16 tahun setelah ayahnya.
Zora duduk melihat tangan kanan Anak Angin yang perlahan-lahan mulai terkumpul asap-asap putih yang terasa sejuk dan dingin. Asap-asap itu mulai berkumpul menjadi satu, membentuk sebuah bola transparan. Zora hanya bisa diam menganga, tidak menyangka akan apa yang dilihatnya saat itu, dan mungkin itulah yang dimaksud dengan kata-kata ‘akan terkejut ketika melihatnya’. Rasa sakit yang masih tersisa di kepala dan dada kirinya membuatnya yakin betul bahwa yang ada di hadapannya adalah sesuatu yang nyata.
Anak Angin itu melangkah perlahan, lalu semakin cepat dan cepat, hingga dia menghentakkan kaki di atas tanah dengan keras untuk membuat tubuhnya berhenti. Anak Angin itu mengangkat tangan kanannya dan bergerak cepat untuk memberikan bola putih transparan yang terkumpul di atas telapak tangannya. Belum sempat Anak Angin itu memberikannya pada laki-laki berkumis, tubuh Anak Angin itu gemetaran dan tidak dapat bergerak dan tetap pada posisinya. Tiba-tiba saja, Anak Angin itu jatuh tersungkur di atas tanah di depan laki-laki berkumis itu. Anak Angin itu mengerang kesakitan sambil memegangi dada kirinya dengan tangan kirinya, sementara tangan kanannya masih memegang bola transparan.
“Kamu tidak akan bisa mengalahkanku, Bocah Angin. Kamu terlalu terang-terangan memberikan perlawanan,” kata laki-laki berkumis yang sedang menebarkan senyum senang di atas penderitaan Anak Angin itu. Tangan kanan laki-laki berkumis itu terlihat seperti menggenggam kembali, dan itu membuat Zora menyadari sesuatu, tapi dia belum bisa membuktikannya. “Levelmu masih jauh di bawahku. Kamu terlalu cepat dua puluh tahun untuk bisa mengalahkanku. Menyerah dan ikut aku. Aku akan meningkatkan levelmu, Anak Angin.”
Zora bergerak untuk berdiri perlahan-lahan, berusaha agar laki-laki berkumis itu tidak sadar apa yang akan dilakukannya. Setelah berhasil berdiri meski tubuhnya masih terasa lemas, dia hendak melangkahkan kaki kanannya yang terasa berat. Namun, tiba-tiba saja dia merasakan sesuatu bergejolak di dalam tubuhnya. Dia kembali mengangkat kaki kirinya, tapi tidak terasa berat, bahkan terasa sangat ringan. Dia sempat heran beberapa saat, tapi tidak ada waktu untuk berpikir. Zora segera mengambil batu bata yang pernah membuatnya tersandung dan terjatuh, lalu mengangkat tangan kanannya yang juga terasa sangat ringan, melepaskan batu bata itu hingga melayang sangat kencang ke arah laki-laki berkumis itu.
Beberapa saat sebelum batu itu sampai ke laki-laki berkumis itu, Zora memanggilnya dan membuatnya menatapnya dan menyadari batu bata yang datang padanya. Tangan kanannya terangkat dan melepaskan genggamannya. Dia menaruh kedua tangannya di depan wajah untuk menghindari pukulan dari batu bata itu pada wajahnya, tapi perkiraannya salah karena batu bata itu segera mendarat dengan keras di atas kepala laki-laki berkumis itu. Di saat yang bersamaan, keadaan Anak Angin mulai membaik, dan dia berhenti mengerang-erang kesakitan.
Napas Zora tersengal-sengal. Dia merasa bahwa kesadarannya akan hilang, dan dia merasa tenaganya seperti terkuras habis, padahal dia hanya melemparkan sebuah batu bata yang beratnya kurang dari satu kilogram. Zora bergerak melangkahkan kakinya untuk segera menghampiri Anak Angin yang masih tersungkur di atas tanah sambil mengatur napasnya. Zora membungkuk, lalu menyelipkan kedua tangannya di bawah ketiak Anak Angin. Zora segera mengangkatnya dan menyeretnya menjauh dari laki-laki berkumis yang kini terbaring di atas tanah dalam keadaan tidak sadarkan diri, dan kepalanya mengeluarkan darah. Zora tahu yang dilakukannya adalah perbuatan dosa, tapi hanya itu yang terpikirkan dalam benaknya untuk menolong Anak Angin sekaligus membuktikan perkiraannya.
Zora kembali menyandarkan Anak Angin itu pada dinding bangunan penjualan tiket. Saat itu, jalanan masih sepi dan tidak ada seorangpun yang lewat, bahkan mobil sekalipun. Zora berbalik dan berjalan menuju laki-laki berkumis dan berniat memberi pertolongan pada luka di kepala laki-laki berkumis itu yang disebabkan olehnya. Zora duduk sejajar dengan kepala laki-laki itu, lalu tangannya tergerak sendiri ke atas kepala laki-laki berkumis itu. Dia tidak tahu siapa yang menggerakkan kedua tangannya, dan dia merasa sangat takut saat itu.
Sebuah asap berwarna pelangi berkelabat di bawah tangannya. Darah-darah yang mengalir keluar dari luka di kepala laki-laki berkumis itu juga bergerak-gerak dan mulai mengalir terbalik, kembali masuk ke dalam lukanya. Selama sekitar 10 detik, darah itu sudah kembali ke kepalanya dan luka di kepalanya mulai tertutup perlahan-lahan. Hal itu semakin membuat Zora merasa sangat takut pada dirinya sendiri dan hidupnya.
Ketika asap berwarna pelangi itu lenyap tiba-tiba setelah luka di kepala laki-laki itu menghilang, Zora menjatuhkan tubuhnya ke belakang dan mengangkat kedua tangannya ke depan wajahnya, lalu dia menatap telapak tangannya yang masih terlihat asap berwarna pelangi yang keluar dari telapak tangannya. Dia mengusap-usapkannya pada tanah, lalu sebuah akar kecil mencuat dari dalam tanah, entah dari mana. Tapi, semakin Zora mengangkat tangannya karena terkejut melihat akar kecil yang tumbuh dari dalam tanah, semakin tinggi akar itu terangkat.
Zora berusaha bergerak untuk menjauh dari akar yang kini sudah tumbuh setinggi 30 senti, tapi tubuh Zora terasa begitu lemas dan tidak berdaya. Dia mengerdip-ngerdipkan kedua matanya untuk menyadarkan dirinya dari apa yang telah dilihatnya satu jam belakangan. Tapi, setiap dia membuka matanya, yang dilihatnya adalah sesuatu yang berbeda. Semua suasana berubah menjadi seperti suasana kamarnya, suasana sekolahnya, bahkan sampai suasana kebun binatang yang selalu dibayangkannya.
Zora menampar dirinya sendiri, dan semuanya berakhir. Akar yang ada di hadapannya saat itu sudah tidak ada, dan suasana yang berubah-ubah itu telah berhenti dan menjadi suasana yang sebenarnya. Dia merasa lega karena dia sudah sadar dari mimpinya. Namun, laki-laki berkumis yang masih terbaring tidak sadarkan diri di hadapannya tidak terdapat luka ataupun darah yang mengalir keluar dari kepalanya. Saat itu, Zora membelalakkan matanya lebar-lebar, lalu bergerak untuk segera berdiri dan berlari menghampiri Anak Angin yang terlihat mulai membaik, meski wajahnya masih pucat.
Zora duduk di hadapan Anak Angin itu dengan napas tersengal-sengal, lalu berkata dengan terbata-bata, “To, tolong. Tolong jelaskan. Jelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Ba, banyak hal aneh yang kulihat. Tolong.” Zora menggenggam kedua kaki Anak Angin yang sengaja diluruskannya dalam keadaan terbuka, dan dia duduk di antara kedua telapak kaki Anak Angin itu.
Anak Angin itu terbelalak tiba-tiba, membuat Zora semakin takut pada dirinya sendiri dan laki-laki seumurannya yang duduk di hadapannya. Tangan kanan Anak Angin yang sudah tidak terdapat bola transparan itu terangkat dan menunjuk ke arah kedua mataku. Dia berkedip-kedip, lalu mulai membuka mulut, “Ma, matamu berubah-ubah warna, dan ada asap berwarna pelangi yang keluar dari sekujur tubuhmu. Si, siapa kamu sebenarnya?”
“Aku juga tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi pada diriku. Aku mohon, jelaskan padaku apa yang sebenarnya terjadi. Aku benar-benar takut,” kata Zora dengan tubuh gemataran dan mulai meneteskan air mata yang mengalir semakin deras menuruni pipinya.
Anak Angin itu merogoh saku bagian dalam jaket cokelat yang dikenakannya. Dia mengeluarkan secarik kertas, lalu membuka kertas putih yang terlipat-lipat itu. Dia membaca tulisan di atas kertas itu, lalu menurunkan kertas itu dan menatap Zora dengan wajah yang terlihat terkejut bercampur heran.
“Cepat katakan. Kau memubuatku semakin takut,” kata Zora sambil menutup kedua matanya dengan kedua tangannya dan menangis terisak-isak.
“Suatu kehormatan bagiku bisa bertemu langsung dengan anda, Salvator Omnium Salvatores,” kata Anak Angin itu sambil membungkukkan badan dalam keadaan duduk dan kaki terbuka yang diluruskan. Dia kembali menegakkan badan, lalu kedua tangannya bergerak menghampiri pundak Zora. Dia menyentuhnya dan membuat Zora memperlihatkan wajahnya yang mulai terlihat sembab. “Kamu adalah Generasi ke-13 SOS atau Salvator Omnium Salvatores. Kamu pasti tahu arti dari kata-kataku barusan, bukan?” tanya Anak Angin itu sambil tersenyum senang di hadapan Zora yang masih terisak-isak kecil.
Tiba-tiba saja Zora berkedip dan isakannya berhenti. Dia berhenti bernapas, dan wajahnya benar-benar terlihat sangat terkejut. “A, aku mengerti. Penyelamat Dari Semua Penyelamat. Tapi, aku tidak mengerti kenapa kamu memanggilku begitu. Namaku Zora, bukan Salvator Omnium Salvatores,” kata Zora dengan sidikit terdengar terbata-bata, karena dia merasa ada sesuatu yang menarik di dalam tubuhnya. Di samping itu, dia juga merasa takut akan sesuatu yang ada di dalam tubuhnya.
“Kekuatanmu baru saja terbangun setelah tertidur 15 tahun. Sekarang, kamu adalah seorang Biokinesis atau Pengendali Makhluk Hidup. Seperti namanya, kamu bisa mengendalikan semua hal dari dalam tubuh dirimu sendiri, orang lain, maupun makhluk hidup lain seperti hewan dan tumbuhan. Kekuatanmu adalah kekuatan terbesar di dunia ini. Seluruh penjuru negeri, terutama kelompok-kelompok Salvatorem atau Juru Selamat sedang mencari penerus Biokinesis untuk dijadikan ketua bagi kelompok-kelompok mereka. Tapi, Indonesia-lah yang memilikinya, maka kamu adalah pemimpin kami, Salvatorem Indonesia. Tapi, kamu berhak memilih untuk menjadi pemimpin dari negara mana,” kata Anak Angin itu menjelaskan apa yang baru saja terjadi pada Zora, dan sepertinya Zora terlihat sangat menerimanya. “Oh iya, aku lupa memperkenalkan diri. Namaku Dimas Bayu, tapi kamu cukup panggil aku dengan nama Bayu. Seperti nama panggilanku, aku adalah Pengendali Angin, salah satu dari Quatuor Elementa Salvator. Salam kenal. Senang bisa bertemu dan berkenalan langsung denganmu, Salvator Omnium Salvatores,” tambah Anak Angin yang mengaku dirinya bernama Dimas Bayu itu.
Zora mengangkat kepalanya, menatap Bayu sambil perlahan-lahan menarik kedua sisi bibirnya dan membentuk sebuah senyuman. Zora mengulurkan tangan kanannya dan meminta jabat tangan dari Bayu. Ketik Bayu menerima jabatan tangannya, Zora berkata, “Aku Aisyah Zora, tapi panggil aku dengan nama Zora. Senang berkenalan denganmu, Aerokinesis, atau nama kerennya Aer Elementa. Tidak aku sangka, hidupku berubah 180 derajat,” kata Zora memperkenalkan diri.
Dia teringat tiba-tiba. Dia belum menyentuh sedikitpun makanan sejak dia tidur tadi malam puukul 11. Perutnya mulai berbunyi kelaparan. Begitupun dengan perut Bayu. Zora dan Bayu saling menyinggung senyum lalu mereka bergegas untuk pergi dari tempat itu menuju Wisata Kuliner di TMII. Zora menjanjikan akan membayarkan makanan yang dipesan oleh Bayu sebagai ucapan terima kasih karena telah menolongnya dan menjelaskan apa yang terjadi pada dirinya saat itu.
Meski harus berjalan jauh untuk bisa sampai di Wisata Kuliner yang terdiri dari penjual-penjual kaki lima yang hanya ditemukan pada hari Minggu pagi yang berjajar membuka jualan mereka mengelilingi Pusat Peragaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi atau PPIPTEK. Ketika mereka sudah sampai di kawasan Wisata Kuliner, mereka segera duduk di bawah tenda. Pelayan sekaligus pemilik kaki lima Bubur Ayam Bandung itu segera membuatkan bubur ayam khas Bandung buatannya untuk mereka.
Bubur ayam khas Bandung dengan tambahan potongan cakwe itu terlihat sangat lezat bagi perut lapar Zora dan Bayu. Tanpa segan-segan, mereka segera menyantap pesanan mereka dengan lahap. Bahkan, mereka meminta pada pemilik kaki lima itu untuk membuatkan bubur ayam lagi untuk mereka masing-masing satu mangkuk. Dan setelah selesai menyantap habis bubur ayam mereka, mereka segera pergi dari kawasan Wisata Kuliner untuk beristirahat di Danau Nusantara, danau buatan yang terdapat pulau-pulau Indonesia buatan.
Mereka duduk di tepi danau dengan menyelupkan kedua kaki mereka ke dalam air yang berwarna cokelat dan kotor. Tapi karena Zora tidak ingin melepaskan sepatunya dan kaos kakinya hanya untuk merendam kaki di dalam air kotor, akhirnya hanya Bayu yang merendam kakinya.
Saat itu, jam menunjukkan pukul 8 pagi, tapi Zora sudah merasa lelah tidak seperti biasanya. Biasanya, dia baru akan merasa lelah setelah terus berjalan mengelilingi TMII selama 3 jam atau 4 jam. Tapi, mungkin itu semua karena kekuatannya yang tersembunyi di dalam tubuhnya baru saja terbangun ketika melihat dua jenis kekuatan yang berbeda dan merangsang kekuatannya untuk bangun.
“Zora,” kata Bayu sambil menggerak-gerakkan kedua kakinya secara bergantian hingga menghasilkan gelombang-gelombang kecil di dalam air, “Apa kamu akan menjadi pemimpin di Indonesia?” tanyanya sambil menatap air keruh yang sedang dimainkannya.
Zora sudah mengerti semua yang terjadi pada dirinya mulai saat itu, dan dia sudah bisa menerima kenyataan dengan cepat. Zora hanya menggeleng sambil tersenyum dan ikut menatap air keruh yang dimainkan oleh Bayu. “Aku tidak akan menjadi ketua di negara mana pun. Aku akan merahasiakannya dari siapapun. Cukup kamu saja yang tahu mengenai hal ini. Mungkin, beberapa kali aku akan mendapatkan masalah dalam kehilangan kendali. Tapi, apapun yang terjadi aku memutuskan untuk tetap menyembunyikannya. Lagi pula, kalau aku memilih untuk menjadi pemimpin di salah satu negar, pasti negara lain tidak akan mau kalah dan akan menyerang negara yang kupilih untuk menyerahkanku pada negara yang menyerang. Kalau itu terjadi, aku yakin, pasti Perang Dunia III tidak dapat dipungkiri lagi,” jawab Zora dengan tenang.
Bayu berhenti bermain air. Dia mengangkat kepalanya dan menatap Zora yang terlihat sedang memikirkan sesuatu yang berat. “Jika itu yang kamu inginkan, aku akan menjaga rahasia ini, termasuk dari Ketua Arfan, Ketua Salvatorem Indonesia. Tapi, sulitnya, dia adalah seorang Pembaca Pikiran. Jadi, kalau suatu saat nanti Ketua membaca pikiranku dan mengetahui mengenai dirimu, aku mohon maaf yang sebesar-besarnya. Tapi, aku akan berusaha sekuat tenaga untuk menyimpannya,” kata Bayu sambil tersenyum, membuat ekspresi Zora berubah.
Zora tersenyum sambil mengucapkan terima kasih. Lalu, dia terdiam untuk sesaat. Tapi, dia kembali teringat ada satu pertanyaan yang ingin dia tanyakan pada Bayu. “Bayu, kalau boleh tahu, di mana sekolahmu, kelas berapa, alamat rumahmu, serta nomor teleponmu. Mungkin suatu hari nanti aku akan memintamu untuk membantu masalahku,” kata Zora sambil menatapnya dengan tenang, seakan-akan pertanyaan yang diajukannya adalah pertanyaan normal untuk seorang teman baru. Namun, tidak bagi Bayu.
Wajah Bayu terlihat sedikit memerah tersipu. Tapi, dia berusaha menyembunyikannya. Dia mengeluarkan telepon genggamnya dan menyuruh Zora mengetikkan nomornya di telepon genggamnya, karena dia akan menelepon Zora. Setelah Zora mengetikannya dan sudah menerima panggilan dari telepon genggam Bayu, mereka saling menyimpan nomor telepon mereka di telepon genggam mereka.
“Sebenarnya, kamu tidak perlu bertanya alamatku dan asal sekolahku. Memangnya kamu tidak pernah melihatku? Aku Dimas Bayu, siswa kelas sebelas jurusan IPS di sekolah yang sama denganmu. Yah, tapi wajar saja kalau kamu tidak mengenalku, karena kita tidak pernah duduk dalam satu kelas. Bertemu pun hanya dua kali dalam seminggu. Jadi, wajar saja kalau kamu tidak mengenalku,” kata Bayu sambil tertawa nakal, membuat Zora sedikit terkejut dan ikut tertawa karena ketidaktahuannya. “Tapi, kalau kamu ingin bertemu denganku di sekolah, temui aku sepulang sekolah di lapangan basket, karena setiap pulang sekolah aku selalu bermain di sana bersama seorang Pengendali Air sekaligus sahabatmu, Novia Salsabila,” katanya sambil bergerak untuk berdiri.
Zora terlihat sangat terkejut. Dia tidak menyangka, sahabatnya yang tomboy itu seorang Pengendali Air, salah satu dari Quatuor Elementa Salvator. Bayu pergi pun Zora tidak menyadarinya, karena dia masih dalam keadaan terkejut. Dia masih merasa terkejut dengan apa yang telah Bayu katakan padanya, dan itu hampir membuatnya berteriak karena terkejut dengan informasi baru yang tidak pernah disangkanya seumur hidupnya selama ini.
Zora masih duduk terdiam untuk beberapa saat, berusaha untuk menerima semua hal yang terjadi begitu cepat hanya dalam waktu kuarng dari 2 jam. Dia mulai menyadari Bayu pergi seiring berjalannya waktu. Dia merasa sedikit kesal karena Bayu meninggalkannya di tengah-tengah pembicaraan. Tapi, di saat yang bersamaan Zora juga merasakan kegembiraan, kesenangan, dan kelegaan setelah apa yang dia ketahui hampir seluruhnya. Saat itu, jantungnya berdebar-debar karena senang, dan dia lupa bahwa jantungnya masih harus beristirahat setelah mendapatkan serangan dari seorang Necrokinesis atau Pembunuh Organisme yang menyerang dirinya dan Bayu beberapa saat yang lalu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar