Rabu, 20 April 2011

Chapter Eight

Pemeriksaan terhadap Zora selesai, tapi karena pemeriksaan itu juga dilakukan cukup melelahkan bagi Zora. Zora dilarang untuk pergi keluar kamar menemui Ketua Arfan dan Bayu. Dia terpaksa berbaring di kasur ditemani Novi yang terlihat sangat mengkhawatirkannya. Wajahnya terlihat sangat mendung dan keningnya berkerut, sementara Zora menanggapi keadaannya dengan biasa saja dan tetap mau tersenyum dan tertawa. Namun, dalam hatinya berkata lain. Zora tidak benar-benar menganggap keadaannya dengan biasa saja. Dia sangat mengkhawatirkan keadaannya, karena suatu hari nanti keadaannya akan semakin memburuk dan segera diketahui oleh keluarganya.
Dokter Aji masih di dalam kamar bersama Suster Sandra dan Novi. Dia dan Suster Sandra masih merapikan barang-barang yang digunakan ketika pemeriksaan, mulai dari thermometer sampai tensimeter. Di luar sepengetahuan Zora, Dokter Aji dan Suster Sandra – kebetulan sama-sama Penyembuh, hanya saja Dokter Aji berlevel lebih tinggi tiga tingkat dari Suster Sandra – memeriksa tingkat kekuatan Zora dengan alat yang diciptakan oleh teknisi yang bekerja di Gedung Pertemuan Batavia. Dia cukup terkesan melihat hasilnya. Dia meminta Suster Sandra untuk keluar lebih dulu dan memberitahukan hasil pemeriksaan sekaligus hasil tingkat kekuatan yang baru terbangun dalam tubuh Zora.
Setelah Suster Sandra keluar kamar, Dokter Aji baru mau angkat bicara mengenai keadaan Zora. Memang terlihat sikapnya dingin, tapi sebenarnya dia begitu peduli pada Zora yang ternyata seorang SOS yang akan menjadi penyelamat dari para penyelamat sekaligus penyelamat dunia ini dari kehancuran. “Zora, keadaanmu cukup buruk untuk saat ini. Akibat serangan Necrokinesis yang kamu alami cukup lama dan mengenai dua organ terpenting, ada kemungkinan kamu akan mengalami kondisi seperti ini selama seminggu atau dua minggu. Jika itu berlangsung lebih lama lagi, maka nyawamu ada dalam bahaya. Tidak hanya bahaya karena orang-orang akan mencarimu, tapi juga bahaya bagi kesehatan tubuhmu dan kehidupanmu. Sebagai dokter, sekaligus seorang Penyembuh, selama seminggu kamu tidak boleh pergi dari rumah terlalu jauh, apalagi ke rumah sakit dengan rutin untuk menjenguk adikmu. Rumah sakit itu penuh dengan virus. Jika keadaanmu menurun, maka virus akan masuk ke tubuhmu. Meskipun kekuatanmu bisa menolak virus itu menyerang tubuhmu, jika kamu dalam keadaan lemah tetap saja kamu terserang virus itu. Mengerti?” kata Dokter Aji sambil duduk bersimpuh di atas lantai sehingga dia berada sejajar dengan Zora yang memiliki kasur lebar yang langsung menyentuh lantai.
“Separah itukah keadaan Zora, sampai dia tidak boleh bepergian selama seminggu?” tanya Novi dengan wajah khawatir pada Dokter Aji yang sepertinya sudah akrab dengan Novi.
“Ya, begitulah keadaannya sekarang,” kata Dokter Aji dengan wajah dingin, menjawab pertanyaan Novi.
Zora meringis kesakitan sambil memeluk tubuhnya sendiri di bawah selimut sebagai caranya untuk menahan rasa sakit yang saat itu dirasakannya akibat terlalu lelah melakukan pemeriksaan selama satu jam lebih. “Aku mengerti. Tapi, aku masih harus tetap pergi ke rumah sakit jika ibuku membutuhkan sesuatu. Kalau aku terus-menerus tidak menjenguk adikku, ibuku akan khawatir memikirkanku. Dia tidak tahu mengenai keadaanku. Aku tidak ingin merepotkannya,” kata Zora dengan suara yang terdengar bergabung dengan napas yang tersengal-sengal dan terdengar gemetaran karena menahan rasa sakit pada kepala dan dada kirinya.
Dokter Aji terlihat sedikit dongkol karena Zora selalu berusaha untuk tetap terlihat tenang meski sedang menderita. Dia menggulung lengan baju kemejanya, lalu menaruh kedua tangannya di atas tubuh Zora – tidak menyentuh. Sebuah kabut berwarna putih kebiruan keluar dari telapak tangannya dan menyelubungi tubuh Zora. “Tidak aku sangka kamu begitu keras kepala. Kamu memang sering berbicara jujur mengenai keadaanmu pada orang-orang selain keluargamu, tapi kamu tidak bisa menahan sakitmu sendirian sampai wajahmu merah pucat dan tubuhmu gemetaran. Kalau di saat genting kamu masih bersikap seperti ini, tidak akan ada yang sadar kalau kamu ambruk,” kata Dokter Aji sambil melakukan penyembuhan dengan kekuatan Penyembuh miliknya. Dia terlihat tidak lelah meski menggunakannya lebih dari dua kali pada Zora.
Zora merasakan kenyamanan pada tubuhnya. Rasa sakit di kepala dan dada kirinya memang berkurang karena kekuatan Penyembuh milik Dokter Aji, tapi tidak benar-benar memberikan kesembuhan baginya. “Kalau tidak seperti itu, itu bukan aku,” kata Zora sambil tersenyum dengan mata kanan terbuka dan mata kiri tertutup sebagai bentuk menahan rasa sakit. Dia juga masih memeluk dirinya sendiri meski rasa sakitnya mulai mereda.
Dokter Aji menghentikan penggunaan kekuatan Penyembuh. Dia bergerak untuk bangkit perlahan-lahan untuk keluar kamar. Dia mengangkat tas dokternya dan menjinjingnya keluar kamar. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya setelah Zora berkata seperti itu, entah karena sudah kesal mendengar jawaban Zora atau karena lelah menggunakan kekuatannya sebanyak dua kali pada tubuh Zora yang lebih cepat memburuk.
“Zora, kamu tidak perlu takut untuk bilang sakit. Aku pasti akan membantumu menghilangkan rasa sakit,” kata Novi setelah Dokter Aji keluar dari kamar.
Zora hanya tersenyum.
Pintu kamar yang tertutup kembali terbuka. Laki-laki tua yang dipanggil ‘ketua’ itu masuk bersama Bayu yang berwajah khawatir bercampur sedih. Bayu menarik kursi belajar dari kolong meja belajar Zora, mempersilahkan Ketua Arfan duduk di kursi, sementara dirinya duduk di atas lantai dingin di samping Novi.
Tatapan mata tua Ketua Arfan terasa begitu tajam dan membekukan gerakan Zora, Novi, maupun Bayu. Meski dia berkedip, tapi tetap saja tidak ada yang berani bergerak. Bernapas pun rasanya sulit. Namun, Zora tidak bisa membiarkan tubuhnya dalam ketegangan, karena dia selalu merasa keadaannya cepat memburuk ketika dia merasakan ketegangan, kepanikan, ataupun kesedihan dan kemarahan.
Salvator Omnium Salvatores, Aer Elementum, Aque Elementum,” kata Ketua Arfan dengan suara bergetar dan parau, memanggil Zora sebagai Juru Selamat Bagi Juru Selamat, memanggil Bayu sebagai Pengendali Udara, dan memanggil Novi sebagai Pengendali Air. Dia berkedip, dan membuat Novi dan Bayu dapat kembali bernapas. “Keadaan dunia ini sudah semakin berbahaya, apalagi dengan berdirinya Vandal atau Perusak. Ada baiknya, kalian segera menemukan dua elemen lainnya di belahan dunia lain. Ada Pengendali Tanah di Mesir, serta Pengendali Api di Amerika. Keadaan SOS memang tidak menguntungkan untuk saat ini. Tapi, aku akan segera memerintahkan kalian untuk mencari Soil Elementum dan Ignis Elementum, meski sebenarnya sudah ada beberapa orang yang kusuruh untuk mencari. Kalian harus siap 24 jam jika aku memerintahkan kalian kapan pun. Keadaan dunia bisa berubah dalam hitungan detik. Maka, kalian harus lebih siap dari siapapun,” lanjutnya dengan penuh keseriusan dan mendatangkan ketegangan bagi sekelilingnya dan kamar itu.
Tubuh Zora yang sudah tidak begitu terlihat gemetaran kini memutar arah berbaring. Dia memiringkan badannya ke arah Ketua Arfan. Dia tersenyum pada laki-laki tua itu. “Sebelumnya, saya mohon maaf karena saya berbaring seperti ini,” kata Zora mengawali perkataannya. “Anda tidak perlu memikirkan keadaan saya. Kalau Anda ingin kami berangkat besok, maka saya akan berangkat dalam keadaan apapun. Hanya ada satu syarat dari saya untuk Anda penuhi jika Anda ingin saya pergi mencari dua orang itu,” kata Zora dengan suara pelan yang terdengar sangat lemah, tubuhnya kembali gemetaran.
Keadaan Zora kembali memburuk secara tiba-tiba. Zora melipat kedua kakinya dan menekuknya mendekati perutnya. Dia memeringkuk dan terus memeluk dirinya agar mampu menahan rasa sakit yang dirasakannya. Otaknya berdenyut-denyut kuat, dan jantungnya berdetak sangat keras dan menyakitkan. Zora belum menyelesaikan kalimatnya. Dia ingin melanjutkannya, tapi dia tidak mampu membuka mulutnya untuk mengucapkan sepatah katapun.
“Zora?” kata Novi dan Bayu secara bersamaan. Mereka mencondongkan badan mereka untuk melihat wajah Zora yang kembali memerah pucat. “Zora, bertahanlah. Akan aku panggilkan Dokter Aji untuk memberikanmu Pemulihan,” kata Bayu dengan terburu-buru. Dia hendak bangkit dan pergi keluar kamar, tapi Zora berseru dengan suara pelan untuk menghentikan langkah Bayu.
Kedua bola mata Zora yang tadinya berwarna hitam di sisi kanan dan merah di sisi kiri, kini kembali berubah-ubah warna seperti pelangi. Mata kanannya yang terbuka masih menatap Ketua Arfan yang berwajah dingin, tapi terlihat penuh tanya. “Syaratnya, Anda harus melindungi keluarga saya dari siapapun. Bagaimana pun caranya. Bagaimana?” kata Zora menyelesaikan kalimatnya dengan terbata-bata. Dia segera memejamkan mata dan memaksa dirinya untuk segera tertidur.
Ketua Arfan tertawa dengan suaranya yang parau. “Pantas saja jika Tuhan memilihmu sebagai SOS Generasi Ke-13. Kamu berani menerima tantangan dan keras kepala. Aku salut atas semangat dan antusiasmemu,” kata Ketua Arfan dengan suara parau dan gemetaran. “Aisyah Zora, tidak hanya isi otakmu yang sulit terbaca, tapi tekadmu dan perkataanmu juga tidak diduga-duga. Syaratmu akan saya penuhi, juga untuk keluarga kedua temanmu. Karena itu, beristirahatlah dan persiapkan dirimu sebaik mungkin,” katanya melanjutkan. Dia membungkuk dan menyentuh kepala Zora yang tertutup kerudung putihnya. Dia berdiri dari kursi dan berjalan menuju pintu sambil berkata, “Novi, Bayu, kita biarkan dia beristirahat di kamar ini. Kalian juga harus segera beristirahat dan mempersiapkan mental dan fisik kalian.”
Zora sadar apa yang dikatakan Ketua Arfan. Dia membiarkan mereka meninggalkan dirinya di kamar, bahkan di rumahnya yang besar sendirian. Keadaannya membuatnya tidak dapat berkata apa-apa ataupun bergerak. Dia hanya berbaring memejamkan mata, tapi telinganya masih dapat mendengar.
Sampai mereka pergi dengan dua mobil dari depan rumahnya, Zora masih sadar. Tapi, belum ada 2 menit dia terjaga sejak kepulangan tamu spesialnya, akhirnya Zora tertidur tanpa peduli dengan rumahnya yang tidak terkunci.

Mmm


Azan zuhur berkumandang dengan pengeras suara yang terdengar sampai lebih dari 2 kilometer jauhnya. Letak rumah yang dekat dengan masjid membuat Zora terbangun dari tidurnya yang sudah berlalu dengan tenang hampir 2 jam. Suara seretan langkah para jemaah masjid di depan rumahnya membuat Zora benar-benar terbangun dan terjaga. Tubuhnya masih terasa lemas, dan dia terpaksa berleha-leha di atas kasur sambil meregang-regangkan otot-otot dan tulang-tulangnya yang terasa pilu. Hingga dia merasa lebih baik, barulah dia bangkit dari kasur, pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, kembali masuk ke dalam kamar, dan segera dia melaksanakan salat zuhur dengan gerakan lemas.
Selesai melaksanakan salat, Zora pergi melangkah lemas menuju dapur untuk memasak mie instan untuk makan siangnya. Lauk yang dibelinya semalan sudah tidak dapat dimakannya karena tidak dipanaskannya, sehingga dia terpaksa membuangnya ke tempat sampah. Ketika dia sedang menuang makanan yang sudah basi, dilihatnya pakaian kotor yang dibawa ibunya 4 jam yang lalu sudah mengering di dalam mesin cuci, tapi dia tidak bersemangat untuk menjemurnya, maka dia membiarkannya dan berjalan menuju lemari penyimpan makanan. Ketika dia membuka lemari penyimpan makanan, dilihatnya ke dalam lemari penyimpan makanan, yang tersisa hanya mie instan satu buah dan satu plastic kerupuk belum jadi. Dengan penuh rasa syukur, dia mengambil mie instan itu dari dalam lemari dan segera memasaknya.
Hampir sekitar 15 menit Zora memasaknya. Setelah selesai memasaknya, dia membawa mangkuk berisi mie instant rebus buatannya sendiri ke depan televise. Dia menaruhnya di atas meja. Ketika dia hendak menyalakan televise, sekilas dia melihat sebuah bingkisan di atas meja tamu yang digunakan kelima tamu spesialnya sekitar dua jam yang lalu. Dia membaca tulisan di atas bingkisan. Bingkisan itu ditujukan untuk dirinya atas nama Salvator Omnium Salvatores 13, Aisyah Zora. Bingkisan itu dikirim atas nama Arfan Amiruddin Julien. Dengan segera, Zora membuka bingkisan yang terbungkus hanya dengan sebuah kerdus yang dilapisi sampul cokelat. Di dalam bingkisan itu terdapat sebuah jaket bertopi berwarna hitam yang terbungkus plastic transparan. Di atas plastic jaket itu, terdapat sebuah kartu identitas dirinya sebagai ijin untuk bisa masuk ke dalam Gedung Pertemuan Batavia. Selain itu, dia juga mendapatkan sebuah surat. Surat itu berbunyi:

Ini adalah hadiah dariku untukmu sebagai ucapan selamat datang sebagai seorang Manusia Super. Memang kamu belum menyatakan bahwa kamu akan bergabung bersama kami di Gedung Pertemuan Batavia. Jika kamu memang berminat masuk, datanglah besok jam 9 pagi di Gedung Pertemuan Batavia, Kota Tua. Carilah gedung bergaya Belanda yang sudah bobrok dengan nama Gedung Pertemuan Batavia. Aku menunggu kehadiranmu.
Arfan Amiruddin Julien, Read Animos – Pembaca Pikiran

Zora membuka plastic jaket yang diberikan Ketua Arfan untuknya. Dia membentangkannya di depan wajahnya, melihat namanya tercetak dengan bordiran berwarna pelangi. Di bawah tulisan namanya, tercetak dengan brordiran berwarna putih bertuliskan Batavia, dan di bawah tulisan itu terdapat sebuah lambang berbentuk Monumen Nasional yang di ujungnya lambang apinya terdapat border persegi berwarna merah dan putih seperti Sang Saka Merah-Putih.
Zora tersenyum dan segera merapikan barang-barang pemberian Ketua Arfan ke dalam kamarnya, barulah setelah itu dia menyantap habis mie instan rebus buatannya yang mulai mendingin. Menikmati makan siang sendirian di hari libur tanpa ditemani hangatnya senyum keluarga, membuat Zora merasa sedikit kesepian, apalagi dengan kondisinya yang tidak baik. Dia bisa ingin mendapatkan perhatian seperti adik dan kakaknya ketika sedang sakit, meski sakitnya tidak parah. Namun, Zora tidak punya keberanian untuk menyatakan rasa sakitnya. Dia hanya bisa diam dan menyimpan rasa sakitnya sendirian, dan berusaha melewatinya tanpa dukungan dari orang lain. Memang ada orang yang bilang, “Seseorang akan sangat lemah tanpa adanya dukungan dari orang-orang sekitarnya. Tapi, dengan adanya dukungan, seseorang akan lebih kuat.” Namun, hal itu tidak bisa terjadi dalam diri Zora. Karena itu, selama 16 tahun hidupnya, hanya ada satu kata yang bisa membuatnya senang. Kata-kata itu terucap dari ibunya ketika pergi mengantarnya ke sekolah tiga tahun lalu. Kata-kata itu memberikan Zora sebuah semangat untuk menjalani harinya pada hari itu, meski dirinya sedang mengalami demam tinggi dan memaksa untuk tetap sekolah.
Jika Zora teringat akan hal itu, dia bisa menangis sendiri selama sekitar 10 menit. Namun, saat ini kejadian seperti itu mungkin tidak akan terjadi lagi padanya. Selesainya dia makan, dia bergegas pergi berbelanja untuk mengisi kekosongan pada lemari penyimpan makanan di rumahnya. Walaupun dia merasa bahwa hari itu dia tidak bisa melakukan hal-hal berat, tapi dia harus tetap mengisi lemari makanan dan mempersiapkan makanan untuk dirinya sendiri. Bahkan, kucing-kucing peliharaannya pun kelaparan karena sehari sebelumnya Zora tidak sempat memberi mereka makan karena kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan untuk melakukannya.

Selasa, 19 April 2011

Chapter Seven

Kaki dingin yang berjalan di atas lantai dingin menghasilkan suara seperti lendir jatuh dari langit-langit. Tidak hanya itu, langkah berat juga memberi sedikit getaran pada lantai hingga menghasilkan suara langkah. Hal itu membangunkan Novi yang tengah tertidur lelap di samping Zora. Dia membuka matanya perlahan-lahan, lalu berkedip berkali-kali untuk melihat siapa yang melangkah dan yang mengganggu tidurnya. Dia bergerak untuk bangun. Ketika tangannya mencari tumpuan ke sisi kiri tubuhnya, dia terkejut karena di sisi kirinya tidak ada tubuh seseorang yang seharusnya terbaring di sampingnya. Novi segera sadar bahwa langkah itu adalah milik Zora. Dia bergerak turun dari kasur dan berjalan cepat menuju pintu yang terbuka kecil. Dia menarik pintu itu dan mendapati Zora sedang menampung air di bawah lubang keran di kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari pintu kamar Zora. Novi menghela napas penuh kelegaan.
Ketika Zora mengambil air wudhu, dia tidak menyadari kehadiran Novi di depan kamar mandi. Ketika Zora membalikkan badan untuk keluar dari kamar mandi dengan pintu yang tidak ditutup, Zora hampir saja jatuh terpeleset di kamar mandi karena terkejut melihat kehadiran Novi di depan kamar mandi. Gerakan refleks Novi berhasil mengendalikan sisa-sisa air wudhu Zora yang membasahi lantai kamar mandi. Novi berhasil mengendalikan air itu menjadi sebuah penahan berbentuk jari-jari kurus dan tumpul sebanyak sepuluh buah. Jika lebih dibayangkan, air-air itu membentuk seperti tentakel gurita berukuran besar.
Zora menegakkan punggungnya dan keluar dari tangkapan air yang dikendalikan Novi, dan tidak basah sedikit pun kecuali pada ujung-ujung celana dan baju yang dikenakannya, celana berbahan lemas berwarna merah gelap serta kaos hitam lengan panjang. Zora menghela napas dengan lega. Dia berjalan keluar kamar mandi, lalu berkata, “Untung kamu bisa bergerak cepat. Terima kasih, karena sudah menolongku berkali-kali.” Zora menyengir menatap wajah Novi yang terlihat terkejut bercampur khawatir.
“Kamu tidak apa-apa, ‘kan? Maafkan aku karena sudah membuatmu terkejut,” kata Novi yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi yang terbuka. Dia mencengkeram kedua pergelangan tangan Zora, dan secara diam-diam dia merasakan detak jantung Zora. “Syukurlah detak jantungmu masih normal. Aku khawatir seperti semalam,” katanya dengan sebuah senyum kelegaan.
Zora menyengir. Dia bergerak melangkah masuk kembali ke kamarnya. Dia mempersiapkan peralatan salat miliknya dan Novi. Dia mengenakan mukena, dan berdiri bersandar pada dinding sambil membaca pesan di telepon genggamnya yang dikirim dari ibunya di rumah sakit. Pesan itu berbunyi:

Zora, hari ini ibu akan pulang untuk mengambil baju milik Ibu. Ibu juga sekalian ingin pergi ke bank untuk mengambil uang. Kamu ada di rumah, ‘kan, hari ini? Ada yang ingin Ibu sampaikan padamu.

Zora menatap layar telepon genggamnya yang masih menunjukkan pesan yang dikirim oleh ibunya. Zora menghela napas berat, lalu menggerakkan jemarinya untuk segera membalas pesan ibunya yang baru saja dikirim ibunya di hari libur sepagi itu. Pesan balasan Zora berbunyi:

Ya, Zora ada di rumah, tapi jam 9 Zora akan pergi ke rumah Novi. Jadi, kalau Ibu ingin bicara pada Zora, datang jam 6 atau 7 pagi.

Zora hendak mengirim, lalu melihat Novi masuk ke kamar dan hendak mengenakan mukena yang terlipat rapi di atas alas salat. “Novi, ibuku akan pulang pagi ini. Bagaimana?” tanya Zora meminta usulan dari sahabatnya.
Novi menatap Zora yang berwajah bingung. Dia melihat di layar telepon genggam sahabatnya yang masih ragu untuk mengirimkan jawaban dari pesan yang dikirim oleh ibunya. “Aduh, kenapa di saat seperti ini? Kalau ternyata urusan ibumu lebih lama dari jam 9, dan Ketua serta Dokter Aji sudah datang, ibumu pasti tahu keadaanmu,” kata Novi, ikut bingung seperti Zora. Dia memasukkan kepalanya ke dalam atasan mukena, lalu memasukkan kedua kakinya secara bergantian ke dalam bawahan mukenanya, dan siap untuk melaksanakan salat subuh yang sudah terlambat satu jam. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi.
“Tunggu. Bagaimana kamu tahu bahwa dokter yang akan datang bernama Aji? Kamu mengenalnya? Jangan bilang, Dokter Aji juga termasuk dalam Salvator Indonesia?” kata Zora dengan wajah yang terlihat khawatir bahwa akan lebih banyak lagi orang yang akan mengetahui kekuatan dalam dirinya.
Novi terdiam sejenak, lalu dia terlihat seperti teringat sesuatu. “Tadi malam, Bayu meneleponku ketika kamu sudah tertidur sehabis salat isya’. Dia memberitahuku bahwa hari ini Ketua akan datang bersama Si Penyembuh, dan Si Penyembuh yang aku sarankan itulah Dokter Aji. Kemarin sore, Dokter Aji datang ke Gedung Pertemuan Batavia untuk mengobati Ketua, dan ketua berhasil membaca pikiran Dokter Aji mengenai pasien barunya, yaitu kamu. Maka, Ketua segera mengajukan banyak pertanyaan, dan juga memberitahukan Dokter Aji bahwa kamu adalah seorang SOS,” kata Novi memberitahukan Zora, seperti permintaan Bayu padanya semalam.
Zora menatap sahabatnya dengan tercengang. Dia terdiam sesaat, lalu menutup wajahnya dan mengusapkan wajahnya dengan kedua tangannya sambil menghela napas. Zora memperlihatkan wajahnya, lalu tersenyum pada Novi. “Kalau sudah seperti ini, mau diapakan lagi? Aku akan menjalaninya. Lagi pula, aku meminta ibuku untuk datang jam 6 atau jam 7, jadi dia punya banyak waktu untuk berbicara denganku. Aku bilang pada ibuku bahwa jam 9 aku akan pergi ke rumahmu. Bagaimana jika aku membalas seperti itu?” tanya Zora sambil bersiap-siap untuk mengirimkan balasannya.
Novi mengangguk dengan pasrah, maka Zora segera mengirimkan pesan itu dan terproses dengan cepat. Laporan pengiriman sudah diterimanya, dan dia tinggal menunggu balasan kembali dari ibunya sambil melaksanakan salat subuh dua rakaat dengan Novi sebagai imam.
Selesai melaksanakan salat dan berdoa beberapa saat, Zora segera merapikan alat salatnya dan menaruhnya di atas meja belajarnya. Zora mengambil telepon genggamnya, dan sudah mendapatkan balasan dari ibunya. Ibunya sedang dalam perjalanan pulang, dan sudah sampai di mall terdekat dengan rumahnya. Zora segera memberitahukan Novi. Novi hanya tersenyum dan segera berpamitan pada Zora untuk pulang agar dia bisa membersihkan badannya dan akan kembali lagi jam 9, bertemu Ketua sekaligus menemani Zora menjalani pemeriksaan langsung dari seorang Penyembuh, Dokter Aji.
Kini, Zora berbaring di atas kasur, menunggu ibunya pulang untuk segera disambut hangat olehnya. Namun, kondisinya setelah Novi pulang tidaklah baik. Kepalanya terasa sakit, meski tidak sesakit semalam, dan dia masih bisa menahannya dan menipu penglihatan ibunya dengan sedikit berbohong. Dia tahu berbohong bukanlah perbuatan yang baik, tapi hal itu kadang bisa membawa sebuah kebahagiaan, meski diakhiri dengan kesedihan.
Terdengar suara kunci selot besi gerbang terbuka. Zora mengangkat badannya untuk bangkit secara perlahan-lahan agar tidak memperburuk keadaannya. Dia masuk ke kamar mandi untuk melihat wajahnya pada cermin berbentuk oval di kamar mandi, dan wajahnya terlihat sedikit merah pucat, tapi Zora tahu hal itu tidak akan membuat ibunya curiga.
Zora berjalan ke pintu rumah bagian depan untuk membukakan pintu untuk ibunya. Dia membuka kunci pintu itu, lalu menariknya hingga dia melihat ibunya datang dengan membawa sebuah tas jinjing berukuran cukup besar dengan berwajah masam. Ibunya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju depan televise. Dia menaruh tasnya di atas lantai, melepas sepatu yang dipakainya di samping meja, lalu duduk di atas kursi lipat yang terbuat dari besi. Dia menghela napas dengan berat, membuat Zora merasa sedih melihat keadaan ibunya yang terlihat seperti sedang memikirkan hal yang berat.
Zora berjalan menuju meja makan, mengambil sebuah gelas berkuping, mengisinya dengan air dari termos air di atas meja penyimpan piring, membawanya ke depan televise, dan memberikannya pada ibunya. Zora menarik sebuah kursi lipat lainnya, membukanya di sisi meja lainnya, lalu duduk menunggu ibunya merasa lebih baik dan dapat segera berbicara dengannya.
Rumah terasa sangat sepi. Hanya ada suara napas ibu yang terus menghela dengan berat berkali-kali. Kicau burung di pagi hari memang terdengar dari arah teras belakang rumah, tapi tidak cukup untuk menghilangkan kesunyian di dalam rumah itu. Kucing-kucing liar peliharaan Zora belum ada yang terbangun, mereka masih tidur mendengkur pelan di tempat mereka biasa tertidur, dan kalaupun mereka sudah bangun tetap tidak bisa menghilangkan kesunyian di dalam rumah.
“Zora, sejak kamu pulang kemarin, Hana selalu membicarakan masalah wajah pucatmu. Karena setiap kali Hana membicarakan hal itu, ibu khawatir padamu. Ibu sudah mengatakan pada Hana bahwa kamu akan baik-baik saja, tapi Hana tidak percaya pada perkataan ibu dan keras kepala bahwa keadaanmu tidak baik. Untuk memuaskan perasaan Hana, Ibu pulang sekalian mengambil baju bersih. Jadi, kamu tidak apa-apa, ‘kan? Ibu dan Hana khawatir memikirkanmu,” kata ibunya sambil menatap Zora dengan wajah cemas, tapi tidak terasa bahwa ibunya benar-benar mengkhawatirkan dirinya, seakan-akan ibunya berwajah seperti itu atas dasar keinginan adiknya.
Zora menatap ibunya dengan dada yang terasa sangat perih, seperti seseorang yang menahan tangisnya untuk tidak keluar. Zora tidak ingin membuat ibunya khawatir, dan tidak ingin merepotkan ibunya untuk saat seperti itu. Zora akhirnya tersenyum sambil mengangguk. “Zora baik-baik saja. Kalau Zora merasa tidak baik, Zora akan memberitahu Ibu. Sekarang, biar Zora cucikan pakaian kotor milik Ibu dan Hana, sementara Ibu merapikan pakaian bersih untuk dibawa ke rumah sakit. Ibu tidak mungkin berlama-lama di rumah dan meninggalkan Hana sendirian di ruang rawat VIP, bukan?” kata Zora dengan tenang. Zora beranjak dari bangkunya, berjalan menghampiri tas jinjing yang dibawa ibunya, mengeluarkan kantong plastic hitam berisi pakaian kotor. Zora membawa kantong itu ke dapur untuk segera dimasukkan ke dalam mesin cuci.
Selama sekitar 15 menit Zora mengurusi pakaian kotor yang dibawa ibunya dari rumah sakit. Sudah sekitar 5 hari adiknya menjalani perawatan, dan selama 5 hari itu pakaian kotor terus menumpuk di dalam lemari rumah sakit. Memang pakaian itu tidak terlihat kotor ataupun bau, tapi pakaian itu tidak sehat untuk digunakan lebih dari dua kali. Secara tidak langsung, pakaian itu sudah terkontaminasi oleh virus-virus yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tapi, hal itu memang benar adanya, karena Zora dapat merasakan kehadiran virus-virus dipakaian kotor milik ibunya dan adiknya. Dengan kekuatan yang baru saja terbangun di dalam tubuhnya, secara tidak sadar, Zora bisa merasakan virus, bakteri, serta mikroorganisme kecil lainnya di mana-mana, merasakan detak jantung sendiri dan orang lain, sampai merasakan aliran darah dalam tubuhnya maupun tubuh orang lain. Bahkan, Zora mengetahui bahwa sebuah tanaman sedang mengalami pertumbuhan. Memang hal itu awalnya membuatnya merasa sedikit terganggu, tapi setelah menjalaninya selama sehari kemarin, Zora mulai terbiasa dengan hal seperti itu.
Zora kembali ke ruang keluarga untuk membantu ibunya. Dia melihat ibunya telah selesai merapikan pakaian, dan sedang mengenakan kaos kakinya dan sepatunya. Jam belum menunjukkan pukul 8 pagi, tapi ibunya sudah bersiap-siap untuk kembali. Merupakan sebuah keberuntungan bagi Zora, tapi Zora merasa sedih karena harus ditinggal lagi oleh ibunya yang menemani adiknya dirawat di rumah sakit. Zora sudah tidak lagi dapat merasakan kesepian tanpa hadirnya kedua orang tuanya di sisnya, tapi dia merasa bahwa dia ingin duduk di samping ibunya dan ayahnya. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukannya saat itu. Dia teringat, terakhir kali dia bisa duduk bertiga bersama ayah dan ibunya adalah setahun yang lalu, saat adiknya pergi menjalani kemah di Bumi Perkemahan Cibubur selama semalam dan kakaknya yang tinggal di kontrakannya di dekat kampusnya.
Zora mengantar ibunya sampai depan rumah. Dia menunggu ibunya sampai benar-benar pergi dari rumah dengan mengendarai mobil merah gelap milik ibunya. Ibunya memarkirkan mobilnya untuk memutar arah dari depan gerbang rumah tempat ibunya memarkirkan mobilnya, lalu hendak meninggalkan rumah. Namun, sebelum ibunya benar-benar pergi, ibunya membuka jendela mobil di sampingnya dan memanggil Zora untuk mendekatinya. “Zora, baik-baiklah di rumah. Kalau ternyata kondisimu tidak baik, telepon Ibu. Ibu akan mengaktifkan telepon genggam 24 jam. Tidak perlu takut akan merepotkan Ibu. Ibu tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu, tapi Ibu harap itu hanya masalah kecil. Jaga diri baik-baik,” kata Ibunya sambil memberikan Zora sebuah senyum khawatir.
Zora menganggukkan kepala sambil tersenyum penuh percaya diri. “Ibu tenang saja. Sekarang, sebaiknya Ibu segera pergi. Zora yakin, Hana sedang menunggu Ibu di kamarnya. Kalau Ibu membutuhkan sesuatu, akan Zora antarkan. Hati-hati di jalan. Sampaikan salamku untuk Hana, karena hari ini aku tidak bisa datang menjenguknya,” kata Zora, terus menebar senyum seakan-akan dia benar-benar dalam keadaan baik dan tidak ada masalah. Dan dia merasa dadanya terasa sakit karena harus menahan perasaannya.
Ibunya tersenyum dan mengagguk. Lalu, ibunya segera pergi dengan mobilnya, meninggalkan Zora kembali sendirian di rumah bersama kelima kucing liar peliharaannya. Ibunya merasa berat sering meninggalkan Zora dan membiarkan Zora sendirian, tapi ibunya juga tidak bisa meninggalkan Hana, adik Zora, sendirian di rumah sakit dan melewati hari-hari menyakitkan tanpa dirinya di sisinya.
Setelah ibunya pergi, Zora menghela napas dengan lega. Dia membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia berhenti berjalan ketika melihat koran hari itu tergeletak di atas meja tamu di teras depan rumah. Zora mengambil koran itu dan membawanya masuk sambil membaca artikel utama di halaman depan koran itu. Zora membuka pintu depan, menutupnya kembali setelah dirinya masuk ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rumahnya. Dia berjalan sambil terus membaca koran. Dia duduk di atas kursi lipat dan terus membaca.
Artikel itu menarik perhatian Zora. Di katakana dalam artikel tersebut bahwa Presiden Republik Indonesia, Susena Baharuddin, membatalkan keberangkatannya ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat dengan petinggi-petinggi daerah tersebut. Wakil Presiden Republik Indonesia, Bumiputra, menggantikan Presiden Susena untuk menghadiri rapat tersebut. Juru Bicara Presiden Republik Indonesia, Jubair Parsa, mengatakan bahwa Presiden Susena memiliki urusan kenegaraan di Jakarta, dan dia tidak bisa menjelaskannya lebih detail lagi.
Zora menghela napas dan merasa perutnya berbunyi. Pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahnya hari itu tidak bisa datang karena harus mengurusi anaknya yang sakit. Pembantu rumah tangga itu sudah mengirimkan kabar itu melalui pesan telepon genggam pada Zora beberapa saat sebelum ibunya datang. Zora malah bersyukur karena ketidakhadiran pembantu rumah tangganya di rumahnya, itu berarti dia tidak perlu menyuruhnya pulang ketika Ketua Arfan dan Dokter Aji datang untuk menemuinya, karena Zora tidak ingin pembantu rumah tangganya yang banyak bicara itu mengatakan yang sebenarnya pada ibunya.
Zora menaruh korannya di atas meja di sampingnya, lalu beranjak untuk mengambil handuk kering yang sudah dijemurnya kemarin pagi. Segera Zora pergi mandi sebelum Bayu dan Novi datang lebih dulu dari Ketua Arfan dan Dokter Aji. Dia tidak bisa menunjukkan sakitnya dengan tidak mandi seperti orang-orang kebanyakan. Dia selalu ingin terlihat bersih dan sehat, meski dirinya sakit atau sangat sakit dan menderita.
Tepat ketika dia selesai mengenakan pakaian dan jilbab putih, bel rumahnya berbunyi dua kali. Zora segera membuka pintu itu. Di hadapannya, berdiri seorang laki-laki berkumis putih, berambut putih yang mendominani rambut hitam, keriput, dan warna matanya sudah memudar seperti orang tua yang terkena rabun senja. Di atas hidungnya, tergantung sebuah kaca mata kecil panjang berlensa cembung untuk membantu orang tua itu melihat jarak dekat. Tatapan mata orang tua itu seakan-akan membaca apa yang Zora pikirkan. Zora segera sadar ketika dia tahu yang berdiri di hadapannya adalah Ketua Salvator Indonesia, Arfan Amiruddin Julien, Si Pembaca Pikiran.
“Ma, maaf membuat Anda menunggu lama di depan pintu. Mari, silakan masuk,” kata Zora sambil membukakan pintu rumahnya lebar-lebar. Dia mengajak Ketua Arfan, Dokter Aji, Suster Sandra, Bayu, dan Novi duduk di ruang tamu lainnya agar tidak terganggu oleh motor matik miliknya yang di parkirkan di dalam rumah agar tidak dicuri orang. Zora mempersilakan mereka untuk duduk, sementara dia hendak membuatkan minum untuk kelima tamu spesialnya. Dia sempat terkejut karena mereka datang 15 menit lebih cepat dari waktu yang diketahuinya.
Ketika Zora hendak pergi ke dapur untuk membuatkan minum, sebuah suara parau yang terdengar gemetaran, seperti tubuhnya yang gemetaran ketika berdiri, menghentikan langkahnya menuju dapur. Zora membalikkan badan dan menatap kedua bola mata Ketua SI yang menatapnya dan mulai memasuki otaknya untuk membaca pikirannya. Zora takut pikirannya dibaca, karena dia tidak ingin rahasia-rahasia lainnya diketahui orang lain yang baru pertama kali ditemuinya, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali membalas tatapan Ketua SI itu dengan kedua matanya yang mulai berubah-ubah warna.
Ketua Arfan berkedip dan dia menghentikan membaca pikiran Zora, tapi dia masih menatap kedua mata Zora yang kini warnanya menjadi hitam di sisi kanan dan merah di sisi kiri. “Pikiranmu begitu kuat. Sulit sekali aku membacanya. Tapi, aku bisa membaca pikiranmu mengenai kejadian ketika ibumu datang. Mungkin karena kehadiran ibumu, keadaanmu sedikit memburuk. Sekarang, biarkan Dokter Aji dan Suster Sandra yang merawatmu. Novi, temani Zora,” kata laki-laki berumur hampir 50 tahun itu.
Zora membungkuk, lalu membalikkan badannya dan mengajak ketiga orang yang diusulkan Ketua SI itu untuk memeriksa keadaannya akibat serangan Necrokinesis level 5. Pemeriksaan berlangsung di kamar Zora selama sekitar satu jam, membuat Ketua Arfan dan Bayu menunggu hasil pemeriksaan dengan harap-harap cemas.

Chapter Six

Jam menunjukkan pukul 18.15 WIB. Alrm pun berbunyi, membangunkan Zora dan Novi yang tertidur bersama-sama dalam satu kasur. Azan juga berkumandang, maka mereka segera pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan salat maghrib bersama-sama di dalam kamar. Selesai melaksanakan salat, mereka tidak segera menyiapkan makan malam. Mereka duduk berhadapan dan kembali bercengkrama sambil menunggu azan isya’, tapi bahasan yang diambil dengan sendirinya oleh Novi sangat membuat Zora merasa tidak enak dengan kondisinya saat itu.
Novi duduk bersandar pada dinding kamar bercat oranye yang mulai luntur dan terlihat garis-garis di beberapa bagian akibat gempa yang terjadi dua tahun lalu, sementara Zora memilih membaringkan diri di atas alas salatnya dan menghadap ke atap putih kamarnya. “Zora, apa kamu sudah tahu apa saja yang bisa kamu lakukan dengan kekuatanmu?” tanya Novi sambil menatap Zora yang menatap tanpa isi ke atap putih kamarnya.
“Hanya sedikit yang aku tahu; Mengendalikan Darah dan Mengendalikan Kerja Otot. Hanya itu. Apa kamu tahu lebih banyak lagi?” tanya Zora tanpa membalas tatapan Novi, tetap menatap ke atap kamarnya, lebih tepatnya menatap pada corak bakar bada atapnya. Corak itu didadapatnya ketika ibunya membakar seekor ulat bulu yang berjalan merayap di langit-langit kamar. Ibunya membakar ulat itu karena dia takut pada ulat, meski hal itu tidak jadi masalah bagi Zora yang hampir tidak takut pada hewan, kecuali ikan yang berkumpul dan laba-laba berkaki panjang.
“Ada sekitar 17 pengendalian dalam kekuatanmu. Tapi, dari 17 pengendalian hanya ada 10 yang mungkin akan lebih berguna bagimu, yaitu Pengendalian Tanaman, Pengendalian Otot, Pengendalian Darah, Pengendalian Jantung, Pengendalian Mata dan Ilusi, Pengendalian Pernapasan, Pengendalian Tulang, Pengendalian Syaraf, Pengendalian Virus, dan Pengendalian Sendi dan Tendon. Sisanya, ada yang akan bekerja di luar kesadaranmu dan ada juga yang tidak akan berguna dalam menghadapi sebuah masalah. Jika Ketua Arfan ingin menemuimu, dia tidak hanya akan membicarakan hal-hal buruk yang mungkin terjadi, tapi kamu akan diberikan pelatihan khusus untuk melatih semua pengendalian kekuatanmu,” kata Novi, memberitahukan macam-macam pengendalian yang berguna bagi Zora. Namun,  wajahnya berubah dan membuat Zora menatapnya. “Aku tidak menyangka bahwa sahabatku yang memiliki kekuatan besar ini. Kekuatan ini sangat berbahaya. Jika kamu tidak bisa mengatur kesehatan tubuhmu, kekuatanmu akan berbalik menyerangmu secara perlahan-lahan. Banyak dampak negatif dari penggunaan pengendalian kekuatanmu. Tidak hanya pada kekuatanmu, tapi juga untuk orang-orang lainnya sepertiku dan kalangan tingkat tiga,” tambahnya dengan wajah sedih.
Zora menepuk-nepuk kaki Novi yang terlipat membentuk silang. Dia memberikan senyum untuk sahabatnya yang mengkhawatirkan dirinya, lebih khawatir pada dirinya ketimbang mengkhawatirkan diri sendiri. “Tidak perlu berwajah seperti itu. Semua hal yang kita lakukan, pasti memiliki satu atau dua dampaknya. Jika memang nantinya tubuhku tidak kuat untuk menahan beban kekuatan ini, aku akan terima dengan senang hati. Allah pasti punya tujuan memberikanku kekuatan ini. Mungkin, Allah menyuruhku untuk beristirahat agar aku tidak perlu lagi menggunakan kekuatanku. Mungkin juga alasan lain. Benar, bukan?” kata Zora sambil terus menebarkan senyumnya.
Tiba-tiba, kepalanya terasa sangat sakit. Awalnya Zora menahannya dalam keheningan kamarnya. Tapi, perlahan-lahan rasa sakit itu terasa lebih parah dan menyebar ke dada kirinya. Zora mengaduh-aduh kecil, tapi tetap menunjukkan senyumnya pada Novi yang semakin terlihat mengkhawatirkannya. Dia membantu Zora untuk kembali berbaring di atas kasur, sementara dia pergi keluar kamar untuk mengambilkan minum untuk Zora.
Dalam keheningan kamarnya tanpa ada Novi, Zora memiringkan badannya dan meringkuk sambil menahan rasa sakit yang dirasakannya. Jantungnya berdebar-debar menyakitkan, dan otaknya terasa berdenyut-denyut membuat pandangannya sedikit melihat cahaya berbinar-binar berwarna merah, kuning, dan hijau. Rasa sakitnya semakin menjadi ketika Novi membuka pintu dan bergerak masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas air putih di tangan kanannya.
Novi menaruh gelas itu di atas meja belajar berwarna hitam milik Zora. Novi berlutut di atas lantai dan menyentuh tubuh Zora yang gemetaran karena menahan rasa sakit sampai wajahnya berwarna merah pucat. “Zora, bertahanlah. Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Aku akan panggilkan Penyembuh terhebat, bawahan Ketua Arfan. Tunggu sebentar, ya? Bertahanlah,” kata Novi sambil bergerak mengeluarkan telepon genggamnya dari saku celananya. Dan segera menekan beberapa digit nomor pada tombol angka telepon genggamnya, namun Zora menghentikannya dengan cepat.
Zora mencengkeram tangan kiri Novi, membuat Novi yang panik terlihat bingung dan terkejut sambil menatap sahabatnya yang wajahnya terlihat semakin merah pucat. Zora menggeleng sambil tersenyum kecil dengan membuka mata kananya yang terus berubah-ubah warna, “Tidak perlu, Novi. Hal seperti ini pasti akan segera berakhir. Aku akan segera baik-baik saja. Memang sangat menyakitkan, tapi aku masih bisa menahannya. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Maaf, sudah membuatmu khawatir,” kata Zora dengan terbata-bata dan terdengar terburu-buru, sambil terus menebar senyum memaksa.
Novi melunak mendengar kata-kata Zora, tapi tetap dia merasa sangat khawatir dan ingin membantu mengurangi penderitaan Zora. Dia menurunkan telepon genggamnya dan menaruhnya di atas meja belajar hitam. Dia meraih kuping gelas dan mengangkatnya dari atas meja. Dia menaruh tangan kanannya 10 sentimeter di atas permukaan air putih, dan perlahan-lahan air itu bergelombang dan terangkat dari dalam gelas. Dia memainkan tangan kanannya seperti menarik sesuatu, lalu mengayunkannya ke depan hingga air yang dikendalikannya bergerak ke depan. Dia mengisyaratkan Zora untuk membuka mulutnya, lalu menggerakkan kembali air putih itu sampai masuk ke dalam mulut Zora. Zora menutupnya dan menelan air putih itu perlahan-lahan. “Kalau kamu tidak membiarkanku memanggil Penyembuh, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membantumu mengurangi penderitaanmu. Tapi, kalau keadaanmu memburuk lagi untuk hari ini, aku tidak akan segan-segan memanggil Penyembuh, bawahan Ketua Arfan. Mengerti?” kata Novi, terdengar kasar dan memaksa, tapi Zora tahu sahabatnya sangat mengkhawatirkannya.
Zora tersenyum sambil mengangguk. “Ya, aku mengerti. Terima kasih, untuk airnya. Gerakan tanganmu indah, dan aku tahu kamu pasti sudah sering menggunakannya, bukan?” tanya Zora dengan tenang, seakan-akan dia tidak menderita. Meski Zora berusaha membuat semua perkataannya terdengar tenang dan wajahnya terlihat tenang, tetap saja suaranya terdengar bergetar karena tubuhnya yang gemetaran karena menahan rasa sakit yang amat sangat sakit.
Novi tersenyum menanggapi pertanyaan Zora, tapi senyumnya tetap menunjukkan kekhawatirannya pada Zora. Dia menggerakkan tangan kanannya dan menyentuh tangan kanan Zora yang sedang membentuk silang dengan tangan kiri, memeluk diri sendiri untuk bisa menahan sakit. “Bertahanlah, Zora,” katanya dengan suara pelan, terdengar sedih. Matanya yang menatap sedikit ke bawah terlihat berkaca-kaca, dan air matanya mulai menggenangi kelopak matanya. Dia mengusapnya dan menghapus air matanya. Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Aku yakin kamu pasti bisa.”
Zora tersenyum dan mengangguk.
Azan isya’, azan terakhir pada hari itu, berkumandang dari masjid dekat rumah Zora. Novi melepas mukenanya yang tidak lepas dari tubuhnya sejak melaksanakan salat magrib, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dia kembali masuk, lalu melihat Zora sudah berdiri dengan bersandar pada dinding dan bersiap melaksanakan salat, dan kebetulan wudhu Zora belum batal sejak mengambilnya ketika hendak melaksanakan salat maghrib satu jam yang lalu. “Zora, kamu berbaring saja. Aku akan menjadi imam salat, dan kamu melaksanakan salat sambil berbaring saja. Jangan memaksakan diri,” katanya sambil memegangi lengan kiri Zora yang tertutup oleh mukena putihnya. Dia bergerak untuk membawa Zora kembali berbaring di atas kasur, tapi tubuh Zora tidak dapat digerakannya.
“Tidak, Novi. Aku masih kuat berdiri. Keadaanku juga sudah membaik. Tenang saja,” kata Zora sambil menggerakkan tangan kanannya untuk melepaskan tangan Novi yang melingkar di lengannya dengan lembut. Dia menegakkan dirinya, lalu bersiap untuk melaksanakan salat. “Sekarang, kita laksanakan salat. Novi, tolong jadi imamnya, ya?” kata Zora dengan suara yang terdengar melemah.
Novi menatap Zora dengan kening berkerut. Dia melihat keteguhan hati pada kedua mata Zora yang terus berganti-ganti warna. Karena sakit yang diderita Zora, kekuatannya seperti lepas kendali dan membuat warna bola matanya berubah-ubah. Novi menghela napas dan melakukannya dengan terpaksa membiarkan Zora berdiri. Dia mengucapkan kalimat pertama, dan salat isya’ sebanyak 4 rakaat pun berlangsung.
Salat berakhir dengan atahiyat akhir. Novi mengucapkan salam, dan Zora menyusul salamnya. Lalu, mengucapkan salam lagi, dan Zora menyusulnya kembali. Novi menatap Zora yang baru selesai salam ketika hendak berdoa, tapi tubuh Zora bergerak jatuh ke arahnya dengan lemas dan tidak berdaya. Novi segera menahan tubuh Zora dengan kedua tangannya, lalu menarik tubuh Zora yang lebih berat dari tubuhnya naik ke atas kasur Zora yang cukup lebar. Novi mengganjal sisi kiri Zora dengan guling, lalu memberikan sedikit celah untuknya agar bisa tidur di samping Zora.
Zora sudah terbaring di bawah selimut dengan mukena yang sudah dilepaskan oleh Novi. Novi merapikan mukena miliknya dan milik Zora, menaruhnya di atas meja belajar. Novi melihat layar telepon genggamnya menyala, terdapat sebuah panggilan atas nama Bayu Angin. Novi segera menjawabnya, “Assalamu ‘alaikum. Ada apa, 'Bay?” tanyanya setelah salamnya dijawab oleh Bayu dari ujung telepon satunya.
“Novi, tolong sampaikan pada Zora, Ketua Arfan akan datang ke rumahnya tepat ketika Dokter Aji Si Penyembuh datang,” kata Bayu menjawab pertanyaan Novi dengan tenang. Di belakang, terdengar suara bising jalan raya di malam hari, membuat Bayu harus berbicara dengan sedikit berteriak.
“Pasti Ketua menggunakan kekuatannya lagi untuk membaca pikiran Si Penyembuh itu,” komentar Novi sambil menjepit telepon genggamnya dengan pundak dan pipinya, sementara kedua tangannya bergerak cepat untuk melipat mukena dan alas salat milik Zora yang masih berantakan di atas lantai.
“Ya, kau benar. Tadi sore, ketika aku tiba di Gedung Pertemuan Batavia, Dokter Aji sedang melakukan penyembuhan pada Ketua. Sambil melakukan itu, Dokter Aji banyak bercerita mengenai pasien barunya setelah Ketua membaca pikirannya dan mengetahui pasien yang dimaksud oleh Dokter Aji. Yang membuatku terkejut adalah pasien yang akan diperiksanya itu. Pasien itu adalah Zora. Setelah Ketua memberitahukan keadaan Zora padanya setelah mendengar ceritaku mengenai Zora yang tidak bisa datang hari ini, Dokter Aji akan menyiapkan beberapa tes untuk melihat potensi kekuatan Zora, sekaligus memulihkan tubuh Zora,” kata Bayu, menceritakan yang sebenarnya terjadi pada Novi.
“Ya, nanti akan aku sampaikan pada Zora kalau dia sudah bangun. Keadaannya memburuk selesai melaksanakan salat magrib. Tadi, dia memaksakan dirinya untuk melaksanakan salat isya’ dengan berdiri, dan akhirnya dia ambruk ketika selesai salam. Mungkin, dia baru akan bangun besok subuh,” kata Novi memberitahukan keadaan Zora pada temannya itu.
“Ini semua karena aku. Seandainya saja aku tidak menolong Zora tadi pagi, pasti dia tidak akan terlibat dalam urusanku dengan Necrokinesis itu,” kata Bayu menyesali perbuatannya.
“Kamu bicara apa, Bayu? Zora tidak mungkin menyalahkanmu. Aku tahu betul siapa Zora. Sejak tadi, dia terus tersenyum dan terlihat senang karena kekuatan dalam dirinya akhirnya terbangun. Dia sangat bersyukur akan kejadian tadi pagi, meski dirinya menderita. Bersyukurlah kamu masih diselamatkan oleh SOS dari Necrokinesis itu yang memaksamu masuk ke dalam Vandal. Lagi pula, Zora akan sangat bersyukur karena bisa bertemu denganmu,” kata Novi dengan sedikit kasar pada Bayu. Sebenarnya Novi bukan orang yang bisa berbicara kasar pada seseorang, dia hanya mengungkapkan hal itu pada Bayu agar Bayu tidak menyalahkan dirinya.
Terdengar di ujung telepon hanya sebuah bisingan jalan raya, klakson dan gas yang menderu-deru. “Mungkin kamu benar. Terima kasih, ya. Assalamu ‘alaikum,” kata Bayu mengakhiri panggilan.
“Wa ‘alaikum salam. Sampai jumpa besok,” kata Novi.
Novi menarik telepon genggamnya jauh dari telinganya. Dia menaruh telepon genggamnya di atas meja belajar berkaca hitam milik Zora. Dia bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil, lalu mengambil air wudhu kembali untuk menenangkan perasaannya ketika hendak tidur. Tapi, perutnya yang berbunyi membuatnya tidak dapat tidur. Dia pergi ke dapur untuk mencari susu putih yang dipikirnya dapat mengganjal perutnya yang kelaparan. Memang di meja makan ada lauk, tapi dia tidak enak memakan lauk milik Zora yang sebenarnya lebih membutuhkan banyak makanan untuk mengembalikan kondisi tubuhnya.
Di dapur, dua kucing peliharaan Zora bermain bersama di belakang kaki Novi yang sedang berdiri menghadap meja dapur yang menempel sepanjang dinding sisi kanan dapur, hampir setengah ruangan dapur itu. Dekatnya pertemanan Novi dengan Zora membuatnya ikut mencintai dan menyayangi hewan-hewan yang dapat dengan cepat akrab dengan teman yang sudah dianggapnya sahabat itu. Awalnya Novi takut pada kucing, tapi dia mulai berani mendekati kucing dan mengubah pola pikirnya mengenai kucing berkat kebaikan hati Zora yang membuat kucing-kucing di rumahnya cepat jinak pada orang  lain.
Selesai membuat segelas susu hangat, dia pergi duduk di depan televise dan menikmati susu hangatnya sambil membaca koran hari itu yang sudah berantakan. Dia membaca artikel mengenai olah raga, terutama bola. Selama sekitar 15 menit dia duduk membaca koran sambil menikmati susu hangat yang manis. Setelah susunya habis, dia membawanya ke dapur dan segera mencucinya, lalu kembali ke kamar Zora untuk segera beristirahat lebih awal dari biasanya. Namun, ketika dia sudah berbaring dan berniat untuk memejamkan mata, tetap saja dia tidak bisa tidur satu jam lebih cepat dari jam tidurnya.
Novi membuka matanya dan menatap langit-langit kamar bercat putih. Dia terdiam dan termenung sendirian. Dia memikirkan perasaan Bayu yang merasa bahwa dirinya adalah salah satu penyebab kondisi Zora yang buruk. Memang Novi juga merasakan hal yang sama dengan Bayu, tapi dia tidak ingin laki-laki yang disukainya menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja Bayu tidak menghampiri Zora di depan museum pagi itu, nasib Zora akan berbeda dari saat ini. Tapi, jika Allah SWT. sudah menuliskan takdirnya seperti itu dan kejadiannya sudah berlalu, tidak ada yang dapat diubah, kecuali berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuh Zora yang setiap saat terlihat semakin memburuk.
Novi menghela napas dengan berat, berusaha membuang pikiran negatifnya mengenai Bayu. Dia memiringkan tubuhnya menghadap Zora yang tertidur dengan napas yang terdengar buruk. Novi menyentuh pipi Zora yang sering dicubitnya. Penderitaan Zora yang terus ditahannya membuat suhu tubuhnya meninggi serta membuatnya kesulitan bernapas. Novi sedih melihat Zora yang baru pertama kalinya dia lihat begitu menderita. Selama pertemanannya sejak SMP, Zora yang dia tahu tidak pernah menderita seperti saat ini.
Tubuh Zora sedikit terasa bergerak. Perlahan-lahan mata Zora terbuka. Zora menyadari ada sesuatu yang menyentuh pipinya. Dengan mata yang terbuka kecil, dia melirik Novi yang tengah tersenyum padanya sambil terus menyentuh pipinya, tapi kali ini Novi menyentuh pipinya dengan tangan yang dilapisi oleh air minum yang diambilnya untuk Zora beberapa saat yang lalu. Zora membalas senyum itu, lalu berkata, “Terima kasih, Novi. Ini sangat berguna. Maaf, jika aku merepotkanmu.”
Novi menggeleng dengan tetap tersenyum. “Tidak, Zora. Sejak kita berteman dulu, aku sudah sering merepotkanmu. Ini belum seberapa untuk membalas kebaikanmu sejak dulu. Sekarang, kamu pergi tidur agar kondisimu besok tidak seburuk saat ini,” kata Novi, menjalarkan air yang dikendalikannya ke kening Zora, membuat wajah Zora terlihat menikmatinya.
Zora tersenyum. Dia menutup matanya kembali, dan mulai berusaha tidur meski dengan napas yang terasa berat. Dia memaksa dirinya untuk tidur cepat agar tidak merepotkan sahabatnya lebih lama lagi.

Senin, 18 April 2011

Chapter Five

Sinar matahari begitu menyengat kepala, meskipun sudah mengenakan pelindung kepala, baik berbentuk topi maupun kerudung dan jilbab. Matahari sudah berada tepat di atas kepala. Awan-awan di langit menggumpal-gumpal tebal, tapi tidak ada angin yang menggerakkan gumpalan awan itu untuk menutupi matahari dan menyejukkan bumi. Pemanasan Global yang sekarang sedang terjadi menyebabkan panas matahari terasa sangat panas, mungkin bisa mencapai 30-34 derajat Celsius seperti musim panas di Tiongkok setiap tahunnya. Namun, di akhir tahun itu seharusnya terjadi musim hujan, dan hari itu tidak ada sedikitpun tanda-tanda akan terjadinya hujan. Dan semua kembali pada Pemanasan Global yang sedang meraja lela di seluruh penjuru Bumi.
Sepulangnya Zora dari rumah sakit setelah menjenguk adiknya sekaligus mendapatkan pemeriksaan gratis karena kondisinya yang memburuk tiba-tiba tanpa sebab, Zora tidak segera pergi pulang setelah menebus obat yang dianjurkan oleh dokter yang menemukannya hampir kehilangan kesadaran. Zora mampir di sebuah masjid yang sedang dalam proses perluasan. Zora bergegas melaksanakan salat zuhur yang hampir terlupakan olehnya. Masjid itu terletak di sisi kanan jalan ketika Zora berjalan mengendarai motor matiknya menuju rumah. Memang sebenarnya masih sempat melakukannya di rumah, tapi dia merasa hari itu dia tidak bisa mengundur-undur waktu. Pikirannya mengenai keadaannya terus membuatnya tidak tenang, tapi dia berusaha untuk tenang dan berkonsentrasi melaksanakan salatnya.
Selesai melaksanakan salat, Zora tidak segera pergi dari masjid itu. Dia berdoa selama sekitar 15 menit. Dia terus memohon ampun pada Allah Subhanahu Wa Ta’ala. Dia terus memohon diberikan petunjuk oleh-Nya, petunjuk untuk menjalankan semua cobaan-cobaan yang nantinya akan dia terima sejak bangunnya Biokinesis dalam tubuhnya. Dia juga memohon perlindungan untuk semua orang yang disayanginya, dicintainya, dan dikasihinya. Tidak lupa dia juga memohon perlindungan pada dirinya sendiri, baik saat itu maupun kedepannya. Dia meminta diberikan kesabaran untuk menempuh semua cobaan dalam hidupnya.
Setelah berdoa sehabis melaksanakan salat, Zora pergi keluar masjid, sambil mengenakan kembali jaketnya dan menggantungkan tas ransel kecil dan tipis di punggungnya. Dia memasukkan kunci motor matiknya ke dalam lubangnya, memutarnya ke kanan sambil menekan tombol berwarna kuning serta sedikit  menarik rem untuk membuat motor matiknya menyala. Dia bergerak naik ke atas jok motor, lalu mengenakan helmnya untuk melindungi kepalanya. Segera setelah itu, Zora menjalankan kembali motor matiknya untuk masuk kembali ke jalan raya.
Ketika dalam perjalanan, dia teringat bahwa dia belum menyiapkan makan siang dan makan malam untuk dirinya. Saat itu pun seharusnya Zora sudah menikmati makan siangnya, tapi karena terlalu memikirkan kondisi tubuhnya, dia terlupa. Zora memutuskan untuk mampir di sebuah rumah makan. Dengan uang saku yang tidak sedikit pemberian dari ibunya dan ayahnya, dia membeli semua keperluannya selama kedua orang tuanya tidak ada di rumah. Setelah dia membeli makan siangnya dan makan malamnya, segera dia pulang ke rumahnya yang kosong.
Setibanya di rumah, setelah Zora menutup dan mengunci gerbang dan pintu rumahnya, Zora segera pergi ke dapur untuk menempati lauk dan nasi yang dibelinya di rumah makan. Setelah itu, dia menaruh semua lauknya berserta nasinya di atas meja makan dan menutupnya dengan tudung yang terbuat dari plastik. Karena dia tidak ingin dirinya sakit, maka dia segera mengambil satu centong nasi beserta cumi kuah pedas dan paru sapi goreng yang ditaruhnya di atas piring. Dia juga menyiapkan minumnya, lalu menikmati makan siang di depan televise sambil menonton siaran televise berupa kartun.
Selama menikmati makan, barulah saat itu dia merasa bahwa dirinya berada dalam bahaya. Dia tidak bisa melakukan sesuatu dengan perlahan-lahan dan menunda-nunda. Dia terlalu takut akan terjadi sesuatu yang berbahaya di dekatnya, baik pada dirinya maupun pada orang-orang di sekitarnya. Nafsu makannya berkurang, tapi dia harus tetap menghabiskan makan siangnya agar bisa dimasukkan obat yang diresepkan dokter yang menemukannya ketika hampir jatuh pingsan. Meski dia harus menghabiskan banyak waktu untuk menghabiskan makan siangnya, tapi porsi makanan yang diambilnya habis bersih. Dia segera meminum sekitar tiga jenis obat dengan bantuan air putih. Setelah itu, dia pergi ke kamarnya yang berada di sisi bagian depan rumahnya yang cukup besar.
Jam dinding di kamarnya menunjukkan pukul 2 siang lebih 15 menit. Dia tidak segera mengganti pakaiannya. Dia menjatuhkan tubuhnya di atas kasurnya, menyetel alrm pada telepon genggamnya, lalu memejamkan mata dan memaksakan dirinya untuk beristirahat lebih awal. Dia memang merasa dirinya lelah, tapi dia tidak ingin tidur karena takut tidak akan terbangun ketika sesuaut terjadi. Namun, ketika dia memejamkan matanya, tidak lama setelah itu dia benar-benar tertidur lelap.

Mmm

Alarm telepon genggamnya berbunyi dengan suara yang keras dan membangunkan Zora dari tidur lelapnya. Tepat ketika alarmnya berbunyi, azan salat ashar berkumandang. Zora tidak menunda-nunda melaksanakan salat ashar. Dia segera bangun dari tidurnya, pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, lalu segera melaksanakan salat ashar di kamarnya sebanyak 4 rakaat. Selesai melaksanakan salat, Zora kembali berdoa, mengucapkan doa yang sama seperti doa yang diucapkannya ketika salat zuhur di masji yang ada di tepi jalan. Setelah itu, Zora kembali berbaring di atas kasur untuk merenungkan semua yang terjadi pada hari itu dimulai ketika dia pergi lari pagi.
Karena pertemuannya dengan Bayu Si Anak Angin dan laki-laki berkumis Si Pembunuh Organisme di Taman Mini Indonesia Indah, kekuatan tersembunyi dalam tubuhnya terbangun dan hampir lepas kendali. Negara-negara akan pergi mencarinya sebagai satu-satunya pemilik kekuatan Pengendali Makhluk Hidup di dunia. Mereka akan membujuknya dengan cara yang berbeda-beda agar Zora mau menjadi ketua asosiasi atau organisasi Manusia Super yang dibentuk. Karena alasan itu, ada kemungkinan dirinya, keluarganya, serta teman-temannya akan dalam bahaya. Karena itu, Zora memutuskan untuk merahasiakannya dari siapapun, kecuali dari Novi dan Bayu.
Karena kesalahpahaman, laki-laki berkumis Si Pembunuh Organisme melakukan serangan terhadap otak dan jantungnya. Karena hal itu, saat ini Zora mengalami penderitaan. Dia sering merasa sakit kepala dan sakit pada dada kirinya sakit. Meski dia bisa menahannya hingga rasa sakit itu menghilang dengan sendirinya, tapi dia merasa bahwa dirinya tidak akan bisa bertahan lama jika terus menerima penderitaan itu. Dengan terpaksa, dia menerima permintaan dokter yang menemukannya hampir jatuh pingsan di depan elevator untuk melakukan pemeriksaan di rumahnya besok pagi dan sore harinya. Meski dia tahu bahwa besok dia tidak bisa lari pagi seperti biasanya karena harus menjalani pemeriksaan, tapi dia sudah berniat dalam hatinya bahwa dia akan terus melakukan lari pagi untuk menyehatkan tubuhnya. Biasanya, orang yang menerima waktu libur yang panjang, berat badan akan bertambah karena tidak ada yang membakar lemak dari makanan-makanan yang dimakan. Karena, pada umumnya, orang-orang itu akan bermalas-malasan di rumah, dan pekerjaannya hanya bangun, makan, ibadah, tidur, dan seterusnya.
Tiba-tiba, terdengar suara sesuatu yang keras mengantuk kaca kamarnya. Zora segera membangkitkan tubuhnya dan bergerak menuju jendela kamarnya. Dia membuka tirai kamarnya perlahan-lahan, lalu mengintip sebelah mata ke luar kamarnya untuk melihat benda apa yang mengantuk pada kaca jendelanya, serta mencari tahu siapa yang melakukannya. Tidak ada siapa-siapa di depan kamarnya, dan juga tidak ada apa-apa di depan gerbang rumahnya. Namun, sebuah batu melayang dengan sendirinya dengan cepat dan mengantuk kaca jendela dengan lebih keras dari sebelumnya, hampir membuat jantungnya berhenti berdetak. Namun, Zora segera sadar siapa yang telah melakukannya.
Zora membalikkan badan sambil tersenyum lebar, lalu berlari keluar kamar menuju pintu depan rumahnya. Dia membuka kunci pintu rumahnya, berlari menuju gerbang, membuka gembok gerbang, lalu menarik pintu kecil yang muat untuk satu orang. Zora tersenyum sambil berkata, “Hai,” pada Bayu Si Anak Angin yang beridiri di hadapannya di samping Novi yang membalas sapaan Zora dengan senyumnya.
Zora mempersilahkan mereka untuk masuk rumahnya. Zora mengunci gerbang kembali, lalu menyusul Novi dan Bayu yang sedang berjalan menuju teras depan rumahnya. Mereka berdua duduk di atas bangku kayu berbentuk bundar berlengan dan berpunggung, menyisakan satu bangku untuk Zora, bangku yang menghadap ke arah taman yang rapi di depan teras rumahnya. “Ada apa datang ke rumahku? Bukankah tadi aku sudah bertemu dengan Bayu pagi-pagi, dan bertemu dengan Novi siangnya? Apa ada yang ingin kalian bicarakan? Ada apa dengan wajah kalian?” tanya Zora dengan tetap mengumbar senyumnya meski kedua teman di hadpaannya berwajah sedih dan khawatir sambil melirik ke pangkuan mereka.
Untuk sesaat suasana terasa begitu sepi dan menegangkan. Namun, akhirnya Novi angkat bicara untuk memberitahukan Zora mengenai tujuan mereka mendatangi Zora. “Ketua Arfan berhasil membaca pikiran kami tadi siang ketika kami dipanggil untuk menghadapnya. Dia memaksakan dirinya untuk membaca pikiran-pikiran orang-orang yang terlihat sedang menyimpan sesuatu, tapi dia akan diam jika yang disimpan itu adalah masalah pribadi seseorang. Tapi, yang dia baca dari kami bukanlah hal pribadi. Dia segera mengarahkan pembicaraannya menjadi mengenai dirimu. Kami mohon maaf yang sebesar-besarnya, Zora,” kata Novi sambil menundukkan kepala dengan wajah yang terlihat penuh penyesalan.
“Kami mohon maaf. Sekarang, Ketua Arfan ingin bertemu denganmu. Karena kondisinya tidak baik karena memaksakan diri, dia memintamu untuk datang menemuinya di Gedung Pertemuan Batavia di Kota Tua. Bawahan Ketua Arfan datang bersama kami untuk menjemputmu, jadi kamu tidak bisa menolak. Kami mohon maaf,” kata Bayu, ikut terlihat sedih dan menyesali perbuatannya.
Zora menatap kedua temannya yang berwajah sedih, khawatir, dan bercampur penyesalan. Zora tahu hal seperti itu akan datang lebih cepat dari yang diharapkannya, dan dia berusaha untuk siap menghadapi segala sesuatu yang terjadi di depannya. Zora hanya tertawa menanggapi ucapan kedua temannya, membuat Novi dan Bayu mengangkat kepala dan menatap Zora dengan penuh rasa heran. “Tidak masalah jika orang yang kalian panggil dengan sebutan ‘ketua’ itu mengetahuinya. Cepat atau lambat, berita ini akan tersebar sampi ke seluruh penjuru dunia. Hanya saja, aku tidak bisa pergi untuk saat ini. Mungkin, karena serangan Necrokinesis padaku tadi pagi, saat ini tubuhku tidak bisa melakukan hal yang melelahkan. Tadi siang, setelah aku pergi menjenguk adikku, aku hampir saja jatuh pingsan. Tapi, ada dokter yang menemukanku dan membawaku ke ruang kerjanya untuk memeriksaku. Awalnya, dia menyuruhku untuk dirawat, tapi aku tidak mau karena tidak ingin membebankan kedua orang tuaku. Karena itu, dengan segala hormat, tolong sampaikan maafku pada Ketua Arfan karena aku tidak bisa menemuinya hari ini dan besok. Mungkin, lusa aku baru bisa pergi-pergi jauh,” kata Zora menceritakan yang sebenarnya mengenai dirinya. Dia tidak ingin merahasiakan yang dirasakannya pada dua orang terpercaya itu. Namun, hal itu membuatnya mendapatkan pandangan khawatir yang sebenarnya tidak dia sukai.
“Astaghfirullah,” seru Novi dan Bayu secara serempak sambil bergerak mendekatkan bangku mereka dengan bangku Zora. Mereka segera memeriksa panas tubuh Zora dan denyut nadi di pergelangan tangannya. Dan mereka menyadari kondisi tubuh Zora yang tidak baik. “Aku tidak menyangka bahwa serangan Necrokinesis bisa menyebabkanmu seperti ini. Karena kamu sendirian di rumah, aku akan menemanimu saampai besok pagi, biar Bayu yang pergi menemui Ketua dan menjelaskan keadaanmu. Aku yakin, Ketua pasti mengerti,” kata Novi sambil bergerak untuk berdiri dan berjalan menghampiri Zora untuk memeriksa tubuh Zora lebih seksama.
Bayu menganggukkan kepalanya dengan semangat. “Aku setuju dengan ide Novi. Aku akan pergi menemui Ketua dan menjelaskan keadaanmu padanya. Kalau kessehatan Ketua telah kembali, mungkin dia yang akan menemuimu besok. Bagaimana?” tanya Bayu sambil bergerak bangun untuk bergegas pergi dari rumah Zora.
Zora menganggukkan kepalanya. “Tentu saja tidak masalah. Tapi, tolong sampaikan padanya bahwa dia harus datang di atas jam 1 siang, karena dari pukul 9 sampai 12 siang, akan ada dokter yang datang untuk memeriksa kondisi tubuhku atas kemauannya. Sampaikan salamku untuknya,” kata Zora menambahkan ketika Bayu berlari pelan untuk keluar dari gerbang yang dibukanya, lalu dikuncikan oleh Novi.
Novi segera kembali mendekati Zora, lalu berjalan bersama Zora untuk masuk ke dalam rumah. Novi mengantarkan Zora ke kamarnya, lalu menyuruh Zora untuk membaringkan badan, sementara Novi akan menelepon keluarganya mengenai acara menginap di rumah Zora sampai besok pagi dengan telepon rumah Zora yang sengaja Zora pinjamkan untuknya.
Zora menuruti perkataan temannya, karena hal itulah yang dia butuhkan. Dia berbaring, tapi tidak bisa tertidur. Dia malah mengajak Novi untuk berbicara untuk membuatnya lebih lelah lagi dan membuatnya mengantuk dan tertidur dengan cepat. “Bagaimana bisa kamu tahu bahwa kamu adalah seorang Pengendali Air? Bagaimana perasaanmu ketika kamu tahu kamu adalah seorang Quatuor Elementa Salvator?” tanya Zora, memulai pembicaraan lebih dulu, berusaha membuat dirinya lelah.
Novi menatap langit-langit dengan wajah yang terlihat seperti sedang berpikir. “Kejadiannya seminggu yang lalu,” katanya memulai. “Saat itu hari Senin sepulang sekolah, tepatnya jam 5 sore. Aku bertemu dengan Ketua Arfan yang datang dengan mobil BMW hitamnya untuk menjemput Bayu. Kami berpapasan dan tanpa sengaja kami bersentuhan ketika aku hampir terjatuh karena tersandung cekungan pada jalan di lapangan. Saat itu, tanpa sengaja Ketua Arfan membaca pikiranku. Dia bilang, sekilas dia melihat gelombang air dalam pikiranku. Dia menarikku dan mengajakku untuk masuk ke dalam mobilnya bersama Bayu. Memang cukup menakutkan, tapi hal itu membuatku merasa sangat barsyukur.
“Ketua Arfan membawaku dan Bayu ke Gedung Pertemuan Batavia. Dia menyuruhku yang masih awam ini untuk melihat latihan Bayu di ruangan khusus yang ada di halaman belakang Gedung Pertemuan Batavia. Melihat hal itu, kekuatanku terbangun. Tubuhku mengeluarkan asap biru laut yang menggumpal-gumpal ke udara seperti ombak. Air putih yang disuguhkan pelayan bergetar dan mulai terlihat seperti permukaan laut yang tertiup angin. Aku sendiri tidak tahu apa yang terjadi saat itu, karena setelah itu aku kehilangan kesadaran karena lepas kendali. Ketika terbangun, aku sudah berada di rumah sakit khusus untuk Manusia Super. Ketua Arfan dan Bayu datang menjengukku dan memberitahuku yang sebenarnya.
“Aku harus tinggal di rumah sakit selama semalaman, dan keluargaku terus menghubungiku, tapi aku tidak mengangkatnya,” katanya sambil menyengir. “Aku takut harus berkata bohong pada keluargaku, makanya aku sengaja tidak mengangkatnya. Ketika besok paginya aku diizinkan pulang, aku menceritakan semuanya pada keluargaku. Memang awalnya mereka tidak menerimaku yang saat ini, tapi akhirnya mereka mengerti ketika Ketua Arfan menjelaskannya pada mereka. Mereka juga mengijinkanku untuk tinggal di asrama khusus di gedung yang sedikit jauh dari Gedung Pertemuan Batavia. Tapi, mereka juga mengijinkanku untuk pulang ke rumah dan melihat keadaan mereka setiap sepulang sekolah. Tidak menarik, ya, ceritaku?” tanya Novi sambil memiringkan kepala untuk melihat Zora, tapi dia tersenyum ketika melihatnya.
Mata Zora sudah terpejam. Meski dia terlihat kesulitan bernapas, tapi Novi senang melihat Zora dapat tertidur mendengarkan cerita membosankannya. Dia memang tidak pandai bercerita, tapi karena ketidakpandaiannya itu, dia bisa membuat Zora tertidur karena bosan mendengarkan cerita yang tidak ada aura menegangkannya.