Pemeriksaan terhadap Zora selesai, tapi karena pemeriksaan itu juga dilakukan cukup melelahkan bagi Zora. Zora dilarang untuk pergi keluar kamar menemui Ketua Arfan dan Bayu. Dia terpaksa berbaring di kasur ditemani Novi yang terlihat sangat mengkhawatirkannya. Wajahnya terlihat sangat mendung dan keningnya berkerut, sementara Zora menanggapi keadaannya dengan biasa saja dan tetap mau tersenyum dan tertawa. Namun, dalam hatinya berkata lain. Zora tidak benar-benar menganggap keadaannya dengan biasa saja. Dia sangat mengkhawatirkan keadaannya, karena suatu hari nanti keadaannya akan semakin memburuk dan segera diketahui oleh keluarganya.
Dokter Aji masih di dalam kamar bersama Suster Sandra dan Novi. Dia dan Suster Sandra masih merapikan barang-barang yang digunakan ketika pemeriksaan, mulai dari thermometer sampai tensimeter. Di luar sepengetahuan Zora, Dokter Aji dan Suster Sandra – kebetulan sama-sama Penyembuh, hanya saja Dokter Aji berlevel lebih tinggi tiga tingkat dari Suster Sandra – memeriksa tingkat kekuatan Zora dengan alat yang diciptakan oleh teknisi yang bekerja di Gedung Pertemuan Batavia. Dia cukup terkesan melihat hasilnya. Dia meminta Suster Sandra untuk keluar lebih dulu dan memberitahukan hasil pemeriksaan sekaligus hasil tingkat kekuatan yang baru terbangun dalam tubuh Zora.
Setelah Suster Sandra keluar kamar, Dokter Aji baru mau angkat bicara mengenai keadaan Zora. Memang terlihat sikapnya dingin, tapi sebenarnya dia begitu peduli pada Zora yang ternyata seorang SOS yang akan menjadi penyelamat dari para penyelamat sekaligus penyelamat dunia ini dari kehancuran. “Zora, keadaanmu cukup buruk untuk saat ini. Akibat serangan Necrokinesis yang kamu alami cukup lama dan mengenai dua organ terpenting, ada kemungkinan kamu akan mengalami kondisi seperti ini selama seminggu atau dua minggu. Jika itu berlangsung lebih lama lagi, maka nyawamu ada dalam bahaya. Tidak hanya bahaya karena orang-orang akan mencarimu, tapi juga bahaya bagi kesehatan tubuhmu dan kehidupanmu. Sebagai dokter, sekaligus seorang Penyembuh, selama seminggu kamu tidak boleh pergi dari rumah terlalu jauh, apalagi ke rumah sakit dengan rutin untuk menjenguk adikmu. Rumah sakit itu penuh dengan virus. Jika keadaanmu menurun, maka virus akan masuk ke tubuhmu. Meskipun kekuatanmu bisa menolak virus itu menyerang tubuhmu, jika kamu dalam keadaan lemah tetap saja kamu terserang virus itu. Mengerti?” kata Dokter Aji sambil duduk bersimpuh di atas lantai sehingga dia berada sejajar dengan Zora yang memiliki kasur lebar yang langsung menyentuh lantai.
“Separah itukah keadaan Zora, sampai dia tidak boleh bepergian selama seminggu?” tanya Novi dengan wajah khawatir pada Dokter Aji yang sepertinya sudah akrab dengan Novi.
“Ya, begitulah keadaannya sekarang,” kata Dokter Aji dengan wajah dingin, menjawab pertanyaan Novi.
Zora meringis kesakitan sambil memeluk tubuhnya sendiri di bawah selimut sebagai caranya untuk menahan rasa sakit yang saat itu dirasakannya akibat terlalu lelah melakukan pemeriksaan selama satu jam lebih. “Aku mengerti. Tapi, aku masih harus tetap pergi ke rumah sakit jika ibuku membutuhkan sesuatu. Kalau aku terus-menerus tidak menjenguk adikku, ibuku akan khawatir memikirkanku. Dia tidak tahu mengenai keadaanku. Aku tidak ingin merepotkannya,” kata Zora dengan suara yang terdengar bergabung dengan napas yang tersengal-sengal dan terdengar gemetaran karena menahan rasa sakit pada kepala dan dada kirinya.
Dokter Aji terlihat sedikit dongkol karena Zora selalu berusaha untuk tetap terlihat tenang meski sedang menderita. Dia menggulung lengan baju kemejanya, lalu menaruh kedua tangannya di atas tubuh Zora – tidak menyentuh. Sebuah kabut berwarna putih kebiruan keluar dari telapak tangannya dan menyelubungi tubuh Zora. “Tidak aku sangka kamu begitu keras kepala. Kamu memang sering berbicara jujur mengenai keadaanmu pada orang-orang selain keluargamu, tapi kamu tidak bisa menahan sakitmu sendirian sampai wajahmu merah pucat dan tubuhmu gemetaran. Kalau di saat genting kamu masih bersikap seperti ini, tidak akan ada yang sadar kalau kamu ambruk,” kata Dokter Aji sambil melakukan penyembuhan dengan kekuatan Penyembuh miliknya. Dia terlihat tidak lelah meski menggunakannya lebih dari dua kali pada Zora.
Zora merasakan kenyamanan pada tubuhnya. Rasa sakit di kepala dan dada kirinya memang berkurang karena kekuatan Penyembuh milik Dokter Aji, tapi tidak benar-benar memberikan kesembuhan baginya. “Kalau tidak seperti itu, itu bukan aku,” kata Zora sambil tersenyum dengan mata kanan terbuka dan mata kiri tertutup sebagai bentuk menahan rasa sakit. Dia juga masih memeluk dirinya sendiri meski rasa sakitnya mulai mereda.
Dokter Aji menghentikan penggunaan kekuatan Penyembuh. Dia bergerak untuk bangkit perlahan-lahan untuk keluar kamar. Dia mengangkat tas dokternya dan menjinjingnya keluar kamar. Tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya setelah Zora berkata seperti itu, entah karena sudah kesal mendengar jawaban Zora atau karena lelah menggunakan kekuatannya sebanyak dua kali pada tubuh Zora yang lebih cepat memburuk.
“Zora, kamu tidak perlu takut untuk bilang sakit. Aku pasti akan membantumu menghilangkan rasa sakit,” kata Novi setelah Dokter Aji keluar dari kamar.
Zora hanya tersenyum.
Pintu kamar yang tertutup kembali terbuka. Laki-laki tua yang dipanggil ‘ketua’ itu masuk bersama Bayu yang berwajah khawatir bercampur sedih. Bayu menarik kursi belajar dari kolong meja belajar Zora, mempersilahkan Ketua Arfan duduk di kursi, sementara dirinya duduk di atas lantai dingin di samping Novi.
Tatapan mata tua Ketua Arfan terasa begitu tajam dan membekukan gerakan Zora, Novi, maupun Bayu. Meski dia berkedip, tapi tetap saja tidak ada yang berani bergerak. Bernapas pun rasanya sulit. Namun, Zora tidak bisa membiarkan tubuhnya dalam ketegangan, karena dia selalu merasa keadaannya cepat memburuk ketika dia merasakan ketegangan, kepanikan, ataupun kesedihan dan kemarahan.
“Salvator Omnium Salvatores, Aer Elementum, Aque Elementum,” kata Ketua Arfan dengan suara bergetar dan parau, memanggil Zora sebagai Juru Selamat Bagi Juru Selamat, memanggil Bayu sebagai Pengendali Udara, dan memanggil Novi sebagai Pengendali Air. Dia berkedip, dan membuat Novi dan Bayu dapat kembali bernapas. “Keadaan dunia ini sudah semakin berbahaya, apalagi dengan berdirinya Vandal atau Perusak. Ada baiknya, kalian segera menemukan dua elemen lainnya di belahan dunia lain. Ada Pengendali Tanah di Mesir, serta Pengendali Api di Amerika. Keadaan SOS memang tidak menguntungkan untuk saat ini. Tapi, aku akan segera memerintahkan kalian untuk mencari Soil Elementum dan Ignis Elementum, meski sebenarnya sudah ada beberapa orang yang kusuruh untuk mencari. Kalian harus siap 24 jam jika aku memerintahkan kalian kapan pun. Keadaan dunia bisa berubah dalam hitungan detik. Maka, kalian harus lebih siap dari siapapun,” lanjutnya dengan penuh keseriusan dan mendatangkan ketegangan bagi sekelilingnya dan kamar itu.
Tubuh Zora yang sudah tidak begitu terlihat gemetaran kini memutar arah berbaring. Dia memiringkan badannya ke arah Ketua Arfan. Dia tersenyum pada laki-laki tua itu. “Sebelumnya, saya mohon maaf karena saya berbaring seperti ini,” kata Zora mengawali perkataannya. “Anda tidak perlu memikirkan keadaan saya. Kalau Anda ingin kami berangkat besok, maka saya akan berangkat dalam keadaan apapun. Hanya ada satu syarat dari saya untuk Anda penuhi jika Anda ingin saya pergi mencari dua orang itu,” kata Zora dengan suara pelan yang terdengar sangat lemah, tubuhnya kembali gemetaran.
Keadaan Zora kembali memburuk secara tiba-tiba. Zora melipat kedua kakinya dan menekuknya mendekati perutnya. Dia memeringkuk dan terus memeluk dirinya agar mampu menahan rasa sakit yang dirasakannya. Otaknya berdenyut-denyut kuat, dan jantungnya berdetak sangat keras dan menyakitkan. Zora belum menyelesaikan kalimatnya. Dia ingin melanjutkannya, tapi dia tidak mampu membuka mulutnya untuk mengucapkan sepatah katapun.
“Zora?” kata Novi dan Bayu secara bersamaan. Mereka mencondongkan badan mereka untuk melihat wajah Zora yang kembali memerah pucat. “Zora, bertahanlah. Akan aku panggilkan Dokter Aji untuk memberikanmu Pemulihan,” kata Bayu dengan terburu-buru. Dia hendak bangkit dan pergi keluar kamar, tapi Zora berseru dengan suara pelan untuk menghentikan langkah Bayu.
Kedua bola mata Zora yang tadinya berwarna hitam di sisi kanan dan merah di sisi kiri, kini kembali berubah-ubah warna seperti pelangi. Mata kanannya yang terbuka masih menatap Ketua Arfan yang berwajah dingin, tapi terlihat penuh tanya. “Syaratnya, Anda harus melindungi keluarga saya dari siapapun. Bagaimana pun caranya. Bagaimana?” kata Zora menyelesaikan kalimatnya dengan terbata-bata. Dia segera memejamkan mata dan memaksa dirinya untuk segera tertidur.
Ketua Arfan tertawa dengan suaranya yang parau. “Pantas saja jika Tuhan memilihmu sebagai SOS Generasi Ke-13. Kamu berani menerima tantangan dan keras kepala. Aku salut atas semangat dan antusiasmemu,” kata Ketua Arfan dengan suara parau dan gemetaran. “Aisyah Zora, tidak hanya isi otakmu yang sulit terbaca, tapi tekadmu dan perkataanmu juga tidak diduga-duga. Syaratmu akan saya penuhi, juga untuk keluarga kedua temanmu. Karena itu, beristirahatlah dan persiapkan dirimu sebaik mungkin,” katanya melanjutkan. Dia membungkuk dan menyentuh kepala Zora yang tertutup kerudung putihnya. Dia berdiri dari kursi dan berjalan menuju pintu sambil berkata, “Novi, Bayu, kita biarkan dia beristirahat di kamar ini. Kalian juga harus segera beristirahat dan mempersiapkan mental dan fisik kalian.”
Zora sadar apa yang dikatakan Ketua Arfan. Dia membiarkan mereka meninggalkan dirinya di kamar, bahkan di rumahnya yang besar sendirian. Keadaannya membuatnya tidak dapat berkata apa-apa ataupun bergerak. Dia hanya berbaring memejamkan mata, tapi telinganya masih dapat mendengar.
Sampai mereka pergi dengan dua mobil dari depan rumahnya, Zora masih sadar. Tapi, belum ada 2 menit dia terjaga sejak kepulangan tamu spesialnya, akhirnya Zora tertidur tanpa peduli dengan rumahnya yang tidak terkunci.
Mmm
Azan zuhur berkumandang dengan pengeras suara yang terdengar sampai lebih dari 2 kilometer jauhnya. Letak rumah yang dekat dengan masjid membuat Zora terbangun dari tidurnya yang sudah berlalu dengan tenang hampir 2 jam. Suara seretan langkah para jemaah masjid di depan rumahnya membuat Zora benar-benar terbangun dan terjaga. Tubuhnya masih terasa lemas, dan dia terpaksa berleha-leha di atas kasur sambil meregang-regangkan otot-otot dan tulang-tulangnya yang terasa pilu. Hingga dia merasa lebih baik, barulah dia bangkit dari kasur, pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu, kembali masuk ke dalam kamar, dan segera dia melaksanakan salat zuhur dengan gerakan lemas.
Selesai melaksanakan salat, Zora pergi melangkah lemas menuju dapur untuk memasak mie instan untuk makan siangnya. Lauk yang dibelinya semalan sudah tidak dapat dimakannya karena tidak dipanaskannya, sehingga dia terpaksa membuangnya ke tempat sampah. Ketika dia sedang menuang makanan yang sudah basi, dilihatnya pakaian kotor yang dibawa ibunya 4 jam yang lalu sudah mengering di dalam mesin cuci, tapi dia tidak bersemangat untuk menjemurnya, maka dia membiarkannya dan berjalan menuju lemari penyimpan makanan. Ketika dia membuka lemari penyimpan makanan, dilihatnya ke dalam lemari penyimpan makanan, yang tersisa hanya mie instan satu buah dan satu plastic kerupuk belum jadi. Dengan penuh rasa syukur, dia mengambil mie instan itu dari dalam lemari dan segera memasaknya.
Hampir sekitar 15 menit Zora memasaknya. Setelah selesai memasaknya, dia membawa mangkuk berisi mie instant rebus buatannya sendiri ke depan televise. Dia menaruhnya di atas meja. Ketika dia hendak menyalakan televise, sekilas dia melihat sebuah bingkisan di atas meja tamu yang digunakan kelima tamu spesialnya sekitar dua jam yang lalu. Dia membaca tulisan di atas bingkisan. Bingkisan itu ditujukan untuk dirinya atas nama Salvator Omnium Salvatores 13, Aisyah Zora. Bingkisan itu dikirim atas nama Arfan Amiruddin Julien. Dengan segera, Zora membuka bingkisan yang terbungkus hanya dengan sebuah kerdus yang dilapisi sampul cokelat. Di dalam bingkisan itu terdapat sebuah jaket bertopi berwarna hitam yang terbungkus plastic transparan. Di atas plastic jaket itu, terdapat sebuah kartu identitas dirinya sebagai ijin untuk bisa masuk ke dalam Gedung Pertemuan Batavia. Selain itu, dia juga mendapatkan sebuah surat. Surat itu berbunyi:
Ini adalah hadiah dariku untukmu sebagai ucapan selamat datang sebagai seorang Manusia Super. Memang kamu belum menyatakan bahwa kamu akan bergabung bersama kami di Gedung Pertemuan Batavia. Jika kamu memang berminat masuk, datanglah besok jam 9 pagi di Gedung Pertemuan Batavia, Kota Tua. Carilah gedung bergaya Belanda yang sudah bobrok dengan nama Gedung Pertemuan Batavia. Aku menunggu kehadiranmu.
Arfan Amiruddin Julien, Read Animos – Pembaca Pikiran
Zora membuka plastic jaket yang diberikan Ketua Arfan untuknya. Dia membentangkannya di depan wajahnya, melihat namanya tercetak dengan bordiran berwarna pelangi. Di bawah tulisan namanya, tercetak dengan brordiran berwarna putih bertuliskan Batavia, dan di bawah tulisan itu terdapat sebuah lambang berbentuk Monumen Nasional yang di ujungnya lambang apinya terdapat border persegi berwarna merah dan putih seperti Sang Saka Merah-Putih.
Zora tersenyum dan segera merapikan barang-barang pemberian Ketua Arfan ke dalam kamarnya, barulah setelah itu dia menyantap habis mie instan rebus buatannya yang mulai mendingin. Menikmati makan siang sendirian di hari libur tanpa ditemani hangatnya senyum keluarga, membuat Zora merasa sedikit kesepian, apalagi dengan kondisinya yang tidak baik. Dia bisa ingin mendapatkan perhatian seperti adik dan kakaknya ketika sedang sakit, meski sakitnya tidak parah. Namun, Zora tidak punya keberanian untuk menyatakan rasa sakitnya. Dia hanya bisa diam dan menyimpan rasa sakitnya sendirian, dan berusaha melewatinya tanpa dukungan dari orang lain. Memang ada orang yang bilang, “Seseorang akan sangat lemah tanpa adanya dukungan dari orang-orang sekitarnya. Tapi, dengan adanya dukungan, seseorang akan lebih kuat.” Namun, hal itu tidak bisa terjadi dalam diri Zora. Karena itu, selama 16 tahun hidupnya, hanya ada satu kata yang bisa membuatnya senang. Kata-kata itu terucap dari ibunya ketika pergi mengantarnya ke sekolah tiga tahun lalu. Kata-kata itu memberikan Zora sebuah semangat untuk menjalani harinya pada hari itu, meski dirinya sedang mengalami demam tinggi dan memaksa untuk tetap sekolah.
Jika Zora teringat akan hal itu, dia bisa menangis sendiri selama sekitar 10 menit. Namun, saat ini kejadian seperti itu mungkin tidak akan terjadi lagi padanya. Selesainya dia makan, dia bergegas pergi berbelanja untuk mengisi kekosongan pada lemari penyimpan makanan di rumahnya. Walaupun dia merasa bahwa hari itu dia tidak bisa melakukan hal-hal berat, tapi dia harus tetap mengisi lemari makanan dan mempersiapkan makanan untuk dirinya sendiri. Bahkan, kucing-kucing peliharaannya pun kelaparan karena sehari sebelumnya Zora tidak sempat memberi mereka makan karena kondisi tubuhnya yang tidak memungkinkan untuk melakukannya.