Senin, 18 April 2011

Chapter Four

Mengetuk pintu kamar yang terbuat dari kayu dengan tulang jari. Pintu terbuka dari dalam, dan yang Zora lihat hampir membuatnya menjatuhkan pesanan adiknya dan ibunya. Lututnya terasa lemas, dan hampir membuatnya jatuh di atas lantai. Tapi, dia berusaha untuk tenang dengan apa yang dilihatnya. Dia bejalan masuk, menaruh belanjaannya di atas meja lemari besi di sisi kanan kasur adiknya. Setelah itu, dia segera menghampiri satu persatu dari paman dan bibinya yang datang untuk membesuk adiknya yang mulai terlihat sehat, karena kebetulan dia masuk rumah sakit tiga hari setelah ujian akhir semester satu berlangsung.
Setelah itu, Zora duduk di sofa tunggal yang empuk sambil berusaha untuk tidak menatap siapa pun dan berusaha untuk tidak ditatap siapa pun. Dia tidak ingin keterkejutannya akan kehadiran paman dan bibinya membuat kekuatannya di luar kendalinya, karena itu dia berusaha untuk diam dan berpura-pura menonton televise dengan acara berita terkini yang sedikit membuatnya tertarik untuk memahami isi berita itu dengan baik-baik.
Setelah berita yang Zora dengar setengahnya mengenai demo di Bundaran HI, Zora merasakan hawa panas di sekitarnya, membuat Zora semakin lemas dan semakin berusaha untuk menutupi ketidakberdayaannya dalam mengendalikan kekuatannya. Laki-laki yang hendak menangkap Bayu yang ditemui Zora dan Bayu di depan Museum Keprajuritan 4 jam yang lalu ditahan di kantor polisi khusus di daerah terpencil. Polisi itu mengaku bahwa laki-laki berkumis itu telah membunuh lebih dari 20 orang dalam waktu kurang dari satu jam. Dan polisi itu menyatakan bahwa perkembangan Manusia Super di Indonesia sudah semakin pesat, dan diperkirakan akan menduduki setengah pulau Bali jika Manusia Super dari Indoensia itu dikumpulkan.
“Benar-benar menyebalkan mendengar Manusia Super semakin sering menjadi bahan pembicaraan hampir setiap berita yang disiarkan di televise, bahkan koran dan radio juga membahas hal yang sama,” kata Bibi Widya dengan wajah yang terlihat kesal. “Kenapa Manusia Super itu harus ada di dunia ini? Mereka tidak ada gunanya. Hanya membuat warga resah dan takut untuk berteman dengan Manusia Super. Bagaimana perasaan kelaurga mereka yang memiliki anak seorang Manusia Super, ya? Pasti kerepotan,” katanya menambahkan dengan penuh rasa dongkol. Dari wajahnya, dia terlihat sangat tidak menyukai Manusia Super, dan itu membuat Zora semakin takut bahwa dirinya juga seorang Manusia Super yang nantinya akan diketahui keluarganya.
“Memang mereka membuat kita resah, Mbak. Tapi, mereka juga manusia. Hanya saja mereka manusia yang memiliki kelebihan yang berlebihan. Tidak baik berkata seperti itu. Allah menciptakan mereka pasti ada tujuannya. Mungkin saja ada sebagian dari mereka yang baik dan berusaha menyelamatkan dunia. Jika ada tokoh baik, pasti ada tokoh jahat. Dan saat ini, yang sering dibicarakan adalah tokoh yang jahat,” kata Ibu Zora sambil tersenyum. Dia berusaha untuk tidak terlihat seperti membantah perkataan kakaknya, tapi berusaha untuk mengingatkan, karena itu dia berusaha untuk tetap tersenyum.
Bibi berbadan besar dan berkerudung yang berwarna hijau, sementara baju yang dipakainya adalah berwarna biru gelap itu hanya menganggukkan kepalanya, menyadari kesalahannya. “Tapi, kita harus tetap berhati-hati. Bisa bahaya kalau yang kita temui adalah yang jahat,” katanya menambahkan. “Zora, kamu harus hati-hati di rumah. Jangan biarkan sembarang orang untuk masuk, Selalu mengunci pintu dan jendela,” katanya pada Zora, mengingatkan keponakannya yang kini tinggal sendirian di rumah.
Zora menanggapi perkataan bibinya hanya dengan menganggukkan kepalanya sambil menatap televise, berusaha menutupi rasa khawatirnya.
 Untuk menghilangkan sedikit rasa khawatirnya, Zora bergerak untuk bangkit dari sofa. Berjalan menuju adiknya yang terbaring di atas kasur dengan wajah pucat kemerahan. Zora memang tidak begitu bisa menunjukkan rasa sayangnya pada adiknya, tapi sebenarnya dia sangat sayang pada adiknya, dia hanya tidak tahu bagaimana cara menunjukkannya. Zora duduk di kursi yang terdapat di samping kasur adiknya. “Bagaimana? Sudah lebih baik?” tanyanya pada adiknya sambil memandangi tangan kanan adiknya yang kurus dan berkulit bercak merah.
Adiknya yang bernama Hanan Mutiara menjawabnya sambil memajukan kedua bibirnya dan mengerutkan kening. Dia mengangkat tangan kirinya yang terpasang dua selang infuse, infuse untuk menambah kadar air dalam tubuh serta menambah darah karena Hana juga mengalami anemia yang sudah diidapnya sejak dulu. “Aku tidak baik. Kepalaku sakit, dan aku merasa mual. Kakak enak karena Kakak selalu mendapatkan kondisi baik, sedangkan aku tidak,” katanya mengeluhkan.
Zora hanya tersenyum membalas tanggapan adiknya. Sejak lahir, adiknya sudah sering keluar-masuk rumah sakit, entah terkena demam parah, tifus, operasi usus buntu, sampai terkena Demam Berdarah dan harus menjalani perawatan sampai kondisinya benar-benar pulih. Kondisi tubuhnya memang tidak beruntung untuk umur aktifnya. Sedangkan Zora tidak pernah masuk rumah sakit, dan kalaupun sakit Zora hanya membutuhkan tidur selama semalam dan besoknya sudah kembali sehat. Hal ini menjadi sebab kenapa Zora tidak bisa menunjukkan rasa sayangnya pada adiknya. Zora tidak bisa mendengar keluhan-keluhan dari adiknya, karena dia sudah berusaha untuk memberikan saran pada adiknya, tapi adiknya tidak pernah menjalankan sarannya. Meski begitu, Zora adalah kakak yang paling rajin menjenguk adiknya ketika dirawat meski dirinya sendiri sedang berkondisi tidak baik. Terutama seperti saat itu, karena dia baru saja mendapatkan serangan jantung dan otak dari seorang Necrokinesis atau Pembunuh Organisme.
“Tapi, Kak,” kata Hana menghapus senyum di wajah Zora. “Wajah Kakak terlihat lebih pucat dari biasanya. Kakak juga berkeringat, padahal di ruangan ini dilengkapi pendingin ruangan yang selalu menyala, dan semuanya kedinginan kecuali Kakak. Kakak tidak apa-apa?” tanyanya dengan suara keras, mengalihkan perhatian para orang dewasa yang sedang menonton.
Zora sedikit tersentak. Dia menyentuh pipinya dengan tangan kanannya, dan dia memang merasa panas tubuhnya lebih tinggi dari biasanya, tapi Zora tidak bisa mengatakannya pada orang-orang di ruangan itu, karena Zora tidak suka diperhatikan berlebihan meski dia mau lebih diperhatikan. Sebenarnya, Zora iri pada adiknya yang selalu diperhatikan ibunya karena memiliki kondisi tubuh yang buruk, sedangkan dia sering dibiarkan sendirian di rumah karena ibunya harus menjaga adiknya ketika dirawat. Tidak hanya itu, adiknya selalu diperhatikan oleh anggota keluarga besar, sementara dirinya dibiarkan duduk mendengarkan pertanyaan-pertanyaan khawatir dari orang-orang pada adiknya, dan adiknya lebih terkenal dibanding dirinya. Bahkan, terkadang Zora dilupakan. Memang Zora merasa sedih akan hal itu, tapi dia merasa dirinya adalah orang paling beruntung sedunia, karena dia mendapatkan anugerah dari Allah Subhanahu Wa Ta’ala berupa kekuatan besar yang akan dijadikan perebutan seluruh negara, dan dia akan lebih dikenal dengan itu. Namun, jika dirinya terkenal sampai ke luar wilayah Indonesia, maka keluarganya berada dalam bahaya. Dan hal itu membuat Zora bingung harus bersikap sepeti apa, senang atau sedih.
Zora menggelengkan kepalanya untuk memberitahukan hasil suhu tubuhnya pada adiknya yang menyadari wajah pucatnya. “Aku baik-baik saja. Mungkin aku hanya kelelahan. Kalau begitu, aku pamit pulang sekarang. Kalau aku beristirahat di sini, aku bisa tertular berbagai macam virus di dalam rumah sakit,” kata Zora sambil tersenyum pada adiknya yang mengkhawatirkannya. Zora berjalan menuju sofa untuk mengambil tas yang dibawanya, lalu bergegas berpamitan pada bibi dan pamannya yang datang menjenguk adiknya serta ibunya yang menemani adiknya. Setelah itu, Zora berjalan menuju pintu kamar dan bergerak cepat-cepat untuk keluar dari kamar adiknya.
Zora berjalan cepat menuju elevator. Sambil berpegangan pada pagar besi di sisi kirinya, dia memegangi kepalanya yang terasa sangat sakit, tapi tidak sesakit ketika laki-laki berkumis menyerang otaknya tadi pagi. Tidak hanya kepalanya yang terasa sakit, tapi dada kirinya pun ikut terasa sakit. Dalam pikirannya, dia merasa bahwa itulah dampak dari serangan Necrokinesis, tapi dia tidak menyangka bahwa dampaknya akan sangat membuatnya menderita.
Dia berdiri di depan elevator, menunggu pintu elevator yang terbuat dari besi perak yang berlapis-lapis. Sambil menunggu, dia berusaha menahan rasa sakitnya akibat serangan Necrokinesis. Namun, karena pintu elevator tidak juga terbuka meski sudah menunggu selama satu menit, napasnya mulai tersengal-sengal dan dia merasa bahwa kesadarannya akan hilang. Tapi, dia berusaha sekuat tenaga untuk membuat dirinya tetap terjaga.
Elevator sudah tiba di lantai 3 rumah sakit 5 lantai itu. Ketika itu, keadaannya semakin buruk. Tepat ketika Zora hampir saja ambruk di depan pintu elevator yang akan segera terbuka, seorang dokter berjas putih yang memiliki tubuh tinggi dan cukup sempurna untuk seorang laki-laki lewat di belakangnya dan segera menahan tubuhnya. Zora yang hampir kehilangan kesadaran kini kesadarannya kembali dan dia berusaha untuk kembali berdiri dan bergegas masuk ke dalam elevator kosong. Tapi, dokter itu segera menahannya untuk tidak pergi dengan menggenggam pergelangan tangannya.
“Terima kasih, Dokter sudah membantu saya. Tapi, saya harus pergi sekarang,” kata Zora sambil berusaha melepaskan tangannya dari cengkeraman tangan dokter yang terdapat nama di jas putihnya. Dokter itu bernama Aji Ansari. Tapi, Zora berusaha sekuat apapun dengan tubuhnya yang sedang lemah itu, tetap saja dokter itu tidak melepaskan tangannya.
“Ikut saya,” kata dokter itu menarik tangan Zora dan membawanya sambil merangkul tubuh Zora dengan kuat. Dia berjalan cepat, dan Zora harus menyesuaikan langkahnya. Dokter itu membawanya ke sebuah ruang kerja yang dipintunya terdapat tulisan nama dokter itu dan spesialis dokter itu, yaitu Dokter Umum serta Dokter Bedah Dada & Jantung untuk rumah sakit itu. Ruangan itu terdapat di lantai yang sama dengan rawat inap pasien umum, tapi berbeda arah dengan ruang perawatan adiknya. Mereka harus melewati meja resepsionis yang tinggi dan terbuat dari kayu untuk bisa sampai ke ruang kerja itu. Ada seorang perawat yang melihatnya, tapi perawat itu tidak mencurigai gerak-gerik dokter itu, karena dokter itu menunjukkan senyum lebar seakan-akan dia baru saja bertemu teman lama dan hendak mengajaknya masuk ke dalam ruang kerjanya untuk bernostalgia.
Dokter itu membuka pintu kayu ruang kerjanya, mempersilakan Zora untuk masuk lebih dulu dengan tetap dicengkeramnya lengan Zora. Dokter itu menutup pintunya dan menyuruh Zora untuk berbaring di atas kasur periksa, tapi Zora berusaha menolaknya karena dia tidak senang diperiksa, karena diperiksa dan hasilnya akan ketahuan apa yang terjadi padanya saat itu. Dia selalu takut hasil yang didapatnya adalah hasil yang buruk. Namun, dokter itu malah mengangkat tubuh Zora dan segera membaringkannya di atas kasur periksa. “Suster Sandra, tolong segera siapkan karte baru untuk anak ini,” katanya pada suster berkerudung yang dengan cepat memahami kalimatnya, dan susuter itu segera bergerak ke ruangan di belakang kasur periksa yang hanya tertutup oleh sebuah tirai.
“Dokter tidak sopan. Saya tidak apa-apa. Saya harus pulang,” kata Zora sambil berusaha untuk bangun, namun dokter itu menahan kedua tangannya sehingga dia tidak bisa bergerak untuk bangkit. Zora terus memberontak menolak pemeriksaan, tapi akhirnya kondisinya semakin memburuk dan dia hampir kehilangan kesadarannya. Dia terpaksa berbaring di atas kasur periksa dengan mata yang terbuka setengah dengan napas tersengal-sengal.
“Suster, siapkan juga oksigen untuk anak ini. Dia mulai kekurangan oksigen,” kata dokter itu sambil mempersiapkan stetoskop dan tensimeter untuk memeriksa suara di dalam tubuhnya dan memeriksa tekanan darahnya. Dia membalikkan badan dan memasangkan tensimeter pada lengan kanan Zora, lalu menaruh kepala stetoskop pada lipatan tangannya. Dia mengunci lubang di dalam kain yang melingkat, lalu mulai memompa hingga terdengar detak jantung pertama dan mulai mengendurkannya perlahan-lahan sampai detak jantungnya tidak terdengar. Dia melepaskan dua benda bulat di telinganya dan menggantungkannya pada lehernya. Dia melepas tensimeter dari lengan Zora, merapikannya dan kembali menatap Zora dengan wajah tenang, tapi terasa sangat serius.
“Saya tidak apa-apa, bukan? Saya harus segera pulang,” kata Zora dengan suara yang terdengar lemah. Dia kembal berusaha untuk bangkit, tapi suster yang bernama Sandra itu segera menahan tubuhnya dan memasukkan dua selang hijau berukuran pendek pada kedua lubang hidungnya, melingkarkan selang panjang pada bagian belakang kepalanya, dan mengeratkannya, membentuk kerutan pada jilbab putih yang dikenakannya. “Saya tidak butuh oksigen ini. Saya baik-baik saja,” katanya kembali, berusaha membiarkan dokter itu untuk membiarkannya pulang.
Dokter itu menggeleng dengan pelan. “Tidak, kamu masih harus menjalani beberapa pemeriksaan. Aku menduga kamu terkena sebuah penyakit. Mungkin kamu harus segera menjalani perawatan beberapa hari untuk melihat perkembanganmu. Tekanan darahmu rendah, 90 per 70. Detak jantungmu juga kecil dan lemah. Karena itu, jalani perawatan di sini. Kami akan menghubungi keluargamu,” kata dokter itu sambil menuliskan hasil pemeriksaan sementaranya terhadap Zora di atas kertas yang cukup tebal.
Zora tersentak kaget. Dia tidak ingin keluarganya tahu mengenai kondisinya, terutama ketika adiknya sedang berada dalam perawatan yang membutuhkan banyak biaya, dan dia tidak ingin menambahkan biaya itu dengan dirinya yang juga itu dirawat. “Tidak bisa. Saya tidak bisa menjalani perawatan untuk saat ini. Dokter cukup memberikan resep obatnya padaku, dan aku akan beristirahat di rumah sebanyak mungkin. Saya yakin saya akan baik-baik saja tanpa harus menjalani perawatan,” kata Zora sambil bergerak untuk bangkit dengan perlahan-lahan, dia merasa tubuhnya seperti kembali kuat, dan dia tahu itu bisa terjadi karena kekuatannya yang berada di luar kendalinya. Zora bergerak menurunkan kedua kakinya di atas pijakan berbentuk tangga, lalu melepaskan selang oksigen dari hidungnya. Meski Suster Sandra berusaha menghentikannya, tapi suster itu tidak kuat menahan tubuh Zora yang lebih besar darinya.
Zora menarik kursi lipat di depan meja dokter itu, lalu memperhatikan dokter itu menuliskan hasil pemeriksaannya dan sebuah resep di atas secarik kertas putih tipis. “Aku tahu kamu akan berkata begitu. Kamu anak yang baik. Aku mengerti bahwa kamu tidak ingin orang tuamu mengeluarkan lebih banyak uang lagi untukmu, sementara adikmu juga membutuhkan perawatan dokter dan suster di rumah sakit. Karena itu, setiap pagi dan sore mulai besok, aku akan datang ke rumahmu untuk melakukan beberapa pemeriksaan padamu. Ini yang bisa aku lakukan, karena aku yakin kamu tidak akan datang jika besok aku menyuruhmu untuk kembali. Benar, ‘kan?” katanya sambil menyerahkan kertas putih panjang yang berisi tulisan sambung bertinta hitam yang tidak dimengertinya.
“Sepertinya dokter melihat saya ketika keluar dari kamar rawat adik saya. Syukurlah karena dokter bisa mengerti perasaan saya. Saya tunggu kedatangan dokter besok pagi jam 8. Dokter boleh mengajak suster, tapi jangan harap dokter memberitahukan ibu saya yang menjaga adik saya. Kalau sampai saya lihat dokter datang bersama ibu saya, saya tidak akan segan-segan untuk mengusir dokter dari rumah saya dengan tanpa rasa hormat. Terima kasih. Permisi,” kata Zora sambil mendorong kursi lipat yang terbuat dari besi itu, lalu berdiri dan berjalan penuh tenaga menuju pintu ruang pemeriksaan yang tertutup. Dia membukanya, lalu menutupnya kembali dengan sedikit membanting.
Suster di dalam ruang pemeriksaan itu menggeleng, “Baru kali ini saya melihat ada anak semandiri dan sekuat itu. Mungkin besok Dokter akan mendapatkan sedikit masalah dari anak itu. Sepertinya dia tidak ingin ada orang yang mengkhawatirkan dirinya,” kata suster itu sambil tersenyum kagum. “Oh iya, Dokter Aji. Bagaimana dengan nama anak itu? Bagaimana biaya pemeriksaannya?” tanya suster itu sambil menunjukkan papan kayu yang terdapat kertas tebal berisi hasil catatan pemeriksaan Zora.
Dokter itu sempat terdiam sejenak. “Aku akan bertanya pada dokter yang menangani adiknya. Aku akan meminta kerja samanya. Dan tentu saja dengan tidak membawa-bawa hasil pemeriksaannya. Masalah biaya pemeriksaannya, bisa kita urus nanti, setelah dia mau mengakui kondisi tubuhnya. Dari tatapannya, dia terlihat serius memberi ancaman padaku,” kata dokter itu sambil meluruskan kedua kakinya di kolong meja kerjanya. “Besok, temani saya untuk memeriksanya. Setelah pemeriksaan rutin pada pasien di ruang rawat Dada & Jantung, saya akan pergi secara diam-diam,” tambahnya.
Suster itu mengangguk.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar