Selasa, 19 April 2011

Chapter Seven

Kaki dingin yang berjalan di atas lantai dingin menghasilkan suara seperti lendir jatuh dari langit-langit. Tidak hanya itu, langkah berat juga memberi sedikit getaran pada lantai hingga menghasilkan suara langkah. Hal itu membangunkan Novi yang tengah tertidur lelap di samping Zora. Dia membuka matanya perlahan-lahan, lalu berkedip berkali-kali untuk melihat siapa yang melangkah dan yang mengganggu tidurnya. Dia bergerak untuk bangun. Ketika tangannya mencari tumpuan ke sisi kiri tubuhnya, dia terkejut karena di sisi kirinya tidak ada tubuh seseorang yang seharusnya terbaring di sampingnya. Novi segera sadar bahwa langkah itu adalah milik Zora. Dia bergerak turun dari kasur dan berjalan cepat menuju pintu yang terbuka kecil. Dia menarik pintu itu dan mendapati Zora sedang menampung air di bawah lubang keran di kamar mandi yang letaknya tidak jauh dari pintu kamar Zora. Novi menghela napas penuh kelegaan.
Ketika Zora mengambil air wudhu, dia tidak menyadari kehadiran Novi di depan kamar mandi. Ketika Zora membalikkan badan untuk keluar dari kamar mandi dengan pintu yang tidak ditutup, Zora hampir saja jatuh terpeleset di kamar mandi karena terkejut melihat kehadiran Novi di depan kamar mandi. Gerakan refleks Novi berhasil mengendalikan sisa-sisa air wudhu Zora yang membasahi lantai kamar mandi. Novi berhasil mengendalikan air itu menjadi sebuah penahan berbentuk jari-jari kurus dan tumpul sebanyak sepuluh buah. Jika lebih dibayangkan, air-air itu membentuk seperti tentakel gurita berukuran besar.
Zora menegakkan punggungnya dan keluar dari tangkapan air yang dikendalikan Novi, dan tidak basah sedikit pun kecuali pada ujung-ujung celana dan baju yang dikenakannya, celana berbahan lemas berwarna merah gelap serta kaos hitam lengan panjang. Zora menghela napas dengan lega. Dia berjalan keluar kamar mandi, lalu berkata, “Untung kamu bisa bergerak cepat. Terima kasih, karena sudah menolongku berkali-kali.” Zora menyengir menatap wajah Novi yang terlihat terkejut bercampur khawatir.
“Kamu tidak apa-apa, ‘kan? Maafkan aku karena sudah membuatmu terkejut,” kata Novi yang masih berdiri di depan pintu kamar mandi yang terbuka. Dia mencengkeram kedua pergelangan tangan Zora, dan secara diam-diam dia merasakan detak jantung Zora. “Syukurlah detak jantungmu masih normal. Aku khawatir seperti semalam,” katanya dengan sebuah senyum kelegaan.
Zora menyengir. Dia bergerak melangkah masuk kembali ke kamarnya. Dia mempersiapkan peralatan salat miliknya dan Novi. Dia mengenakan mukena, dan berdiri bersandar pada dinding sambil membaca pesan di telepon genggamnya yang dikirim dari ibunya di rumah sakit. Pesan itu berbunyi:

Zora, hari ini ibu akan pulang untuk mengambil baju milik Ibu. Ibu juga sekalian ingin pergi ke bank untuk mengambil uang. Kamu ada di rumah, ‘kan, hari ini? Ada yang ingin Ibu sampaikan padamu.

Zora menatap layar telepon genggamnya yang masih menunjukkan pesan yang dikirim oleh ibunya. Zora menghela napas berat, lalu menggerakkan jemarinya untuk segera membalas pesan ibunya yang baru saja dikirim ibunya di hari libur sepagi itu. Pesan balasan Zora berbunyi:

Ya, Zora ada di rumah, tapi jam 9 Zora akan pergi ke rumah Novi. Jadi, kalau Ibu ingin bicara pada Zora, datang jam 6 atau 7 pagi.

Zora hendak mengirim, lalu melihat Novi masuk ke kamar dan hendak mengenakan mukena yang terlipat rapi di atas alas salat. “Novi, ibuku akan pulang pagi ini. Bagaimana?” tanya Zora meminta usulan dari sahabatnya.
Novi menatap Zora yang berwajah bingung. Dia melihat di layar telepon genggam sahabatnya yang masih ragu untuk mengirimkan jawaban dari pesan yang dikirim oleh ibunya. “Aduh, kenapa di saat seperti ini? Kalau ternyata urusan ibumu lebih lama dari jam 9, dan Ketua serta Dokter Aji sudah datang, ibumu pasti tahu keadaanmu,” kata Novi, ikut bingung seperti Zora. Dia memasukkan kepalanya ke dalam atasan mukena, lalu memasukkan kedua kakinya secara bergantian ke dalam bawahan mukenanya, dan siap untuk melaksanakan salat subuh yang sudah terlambat satu jam. Saat itu, jam sudah menunjukkan pukul setengah 6 pagi.
“Tunggu. Bagaimana kamu tahu bahwa dokter yang akan datang bernama Aji? Kamu mengenalnya? Jangan bilang, Dokter Aji juga termasuk dalam Salvator Indonesia?” kata Zora dengan wajah yang terlihat khawatir bahwa akan lebih banyak lagi orang yang akan mengetahui kekuatan dalam dirinya.
Novi terdiam sejenak, lalu dia terlihat seperti teringat sesuatu. “Tadi malam, Bayu meneleponku ketika kamu sudah tertidur sehabis salat isya’. Dia memberitahuku bahwa hari ini Ketua akan datang bersama Si Penyembuh, dan Si Penyembuh yang aku sarankan itulah Dokter Aji. Kemarin sore, Dokter Aji datang ke Gedung Pertemuan Batavia untuk mengobati Ketua, dan ketua berhasil membaca pikiran Dokter Aji mengenai pasien barunya, yaitu kamu. Maka, Ketua segera mengajukan banyak pertanyaan, dan juga memberitahukan Dokter Aji bahwa kamu adalah seorang SOS,” kata Novi memberitahukan Zora, seperti permintaan Bayu padanya semalam.
Zora menatap sahabatnya dengan tercengang. Dia terdiam sesaat, lalu menutup wajahnya dan mengusapkan wajahnya dengan kedua tangannya sambil menghela napas. Zora memperlihatkan wajahnya, lalu tersenyum pada Novi. “Kalau sudah seperti ini, mau diapakan lagi? Aku akan menjalaninya. Lagi pula, aku meminta ibuku untuk datang jam 6 atau jam 7, jadi dia punya banyak waktu untuk berbicara denganku. Aku bilang pada ibuku bahwa jam 9 aku akan pergi ke rumahmu. Bagaimana jika aku membalas seperti itu?” tanya Zora sambil bersiap-siap untuk mengirimkan balasannya.
Novi mengangguk dengan pasrah, maka Zora segera mengirimkan pesan itu dan terproses dengan cepat. Laporan pengiriman sudah diterimanya, dan dia tinggal menunggu balasan kembali dari ibunya sambil melaksanakan salat subuh dua rakaat dengan Novi sebagai imam.
Selesai melaksanakan salat dan berdoa beberapa saat, Zora segera merapikan alat salatnya dan menaruhnya di atas meja belajarnya. Zora mengambil telepon genggamnya, dan sudah mendapatkan balasan dari ibunya. Ibunya sedang dalam perjalanan pulang, dan sudah sampai di mall terdekat dengan rumahnya. Zora segera memberitahukan Novi. Novi hanya tersenyum dan segera berpamitan pada Zora untuk pulang agar dia bisa membersihkan badannya dan akan kembali lagi jam 9, bertemu Ketua sekaligus menemani Zora menjalani pemeriksaan langsung dari seorang Penyembuh, Dokter Aji.
Kini, Zora berbaring di atas kasur, menunggu ibunya pulang untuk segera disambut hangat olehnya. Namun, kondisinya setelah Novi pulang tidaklah baik. Kepalanya terasa sakit, meski tidak sesakit semalam, dan dia masih bisa menahannya dan menipu penglihatan ibunya dengan sedikit berbohong. Dia tahu berbohong bukanlah perbuatan yang baik, tapi hal itu kadang bisa membawa sebuah kebahagiaan, meski diakhiri dengan kesedihan.
Terdengar suara kunci selot besi gerbang terbuka. Zora mengangkat badannya untuk bangkit secara perlahan-lahan agar tidak memperburuk keadaannya. Dia masuk ke kamar mandi untuk melihat wajahnya pada cermin berbentuk oval di kamar mandi, dan wajahnya terlihat sedikit merah pucat, tapi Zora tahu hal itu tidak akan membuat ibunya curiga.
Zora berjalan ke pintu rumah bagian depan untuk membukakan pintu untuk ibunya. Dia membuka kunci pintu itu, lalu menariknya hingga dia melihat ibunya datang dengan membawa sebuah tas jinjing berukuran cukup besar dengan berwajah masam. Ibunya masuk ke dalam rumah dan berjalan menuju depan televise. Dia menaruh tasnya di atas lantai, melepas sepatu yang dipakainya di samping meja, lalu duduk di atas kursi lipat yang terbuat dari besi. Dia menghela napas dengan berat, membuat Zora merasa sedih melihat keadaan ibunya yang terlihat seperti sedang memikirkan hal yang berat.
Zora berjalan menuju meja makan, mengambil sebuah gelas berkuping, mengisinya dengan air dari termos air di atas meja penyimpan piring, membawanya ke depan televise, dan memberikannya pada ibunya. Zora menarik sebuah kursi lipat lainnya, membukanya di sisi meja lainnya, lalu duduk menunggu ibunya merasa lebih baik dan dapat segera berbicara dengannya.
Rumah terasa sangat sepi. Hanya ada suara napas ibu yang terus menghela dengan berat berkali-kali. Kicau burung di pagi hari memang terdengar dari arah teras belakang rumah, tapi tidak cukup untuk menghilangkan kesunyian di dalam rumah itu. Kucing-kucing liar peliharaan Zora belum ada yang terbangun, mereka masih tidur mendengkur pelan di tempat mereka biasa tertidur, dan kalaupun mereka sudah bangun tetap tidak bisa menghilangkan kesunyian di dalam rumah.
“Zora, sejak kamu pulang kemarin, Hana selalu membicarakan masalah wajah pucatmu. Karena setiap kali Hana membicarakan hal itu, ibu khawatir padamu. Ibu sudah mengatakan pada Hana bahwa kamu akan baik-baik saja, tapi Hana tidak percaya pada perkataan ibu dan keras kepala bahwa keadaanmu tidak baik. Untuk memuaskan perasaan Hana, Ibu pulang sekalian mengambil baju bersih. Jadi, kamu tidak apa-apa, ‘kan? Ibu dan Hana khawatir memikirkanmu,” kata ibunya sambil menatap Zora dengan wajah cemas, tapi tidak terasa bahwa ibunya benar-benar mengkhawatirkan dirinya, seakan-akan ibunya berwajah seperti itu atas dasar keinginan adiknya.
Zora menatap ibunya dengan dada yang terasa sangat perih, seperti seseorang yang menahan tangisnya untuk tidak keluar. Zora tidak ingin membuat ibunya khawatir, dan tidak ingin merepotkan ibunya untuk saat seperti itu. Zora akhirnya tersenyum sambil mengangguk. “Zora baik-baik saja. Kalau Zora merasa tidak baik, Zora akan memberitahu Ibu. Sekarang, biar Zora cucikan pakaian kotor milik Ibu dan Hana, sementara Ibu merapikan pakaian bersih untuk dibawa ke rumah sakit. Ibu tidak mungkin berlama-lama di rumah dan meninggalkan Hana sendirian di ruang rawat VIP, bukan?” kata Zora dengan tenang. Zora beranjak dari bangkunya, berjalan menghampiri tas jinjing yang dibawa ibunya, mengeluarkan kantong plastic hitam berisi pakaian kotor. Zora membawa kantong itu ke dapur untuk segera dimasukkan ke dalam mesin cuci.
Selama sekitar 15 menit Zora mengurusi pakaian kotor yang dibawa ibunya dari rumah sakit. Sudah sekitar 5 hari adiknya menjalani perawatan, dan selama 5 hari itu pakaian kotor terus menumpuk di dalam lemari rumah sakit. Memang pakaian itu tidak terlihat kotor ataupun bau, tapi pakaian itu tidak sehat untuk digunakan lebih dari dua kali. Secara tidak langsung, pakaian itu sudah terkontaminasi oleh virus-virus yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tapi, hal itu memang benar adanya, karena Zora dapat merasakan kehadiran virus-virus dipakaian kotor milik ibunya dan adiknya. Dengan kekuatan yang baru saja terbangun di dalam tubuhnya, secara tidak sadar, Zora bisa merasakan virus, bakteri, serta mikroorganisme kecil lainnya di mana-mana, merasakan detak jantung sendiri dan orang lain, sampai merasakan aliran darah dalam tubuhnya maupun tubuh orang lain. Bahkan, Zora mengetahui bahwa sebuah tanaman sedang mengalami pertumbuhan. Memang hal itu awalnya membuatnya merasa sedikit terganggu, tapi setelah menjalaninya selama sehari kemarin, Zora mulai terbiasa dengan hal seperti itu.
Zora kembali ke ruang keluarga untuk membantu ibunya. Dia melihat ibunya telah selesai merapikan pakaian, dan sedang mengenakan kaos kakinya dan sepatunya. Jam belum menunjukkan pukul 8 pagi, tapi ibunya sudah bersiap-siap untuk kembali. Merupakan sebuah keberuntungan bagi Zora, tapi Zora merasa sedih karena harus ditinggal lagi oleh ibunya yang menemani adiknya dirawat di rumah sakit. Zora sudah tidak lagi dapat merasakan kesepian tanpa hadirnya kedua orang tuanya di sisnya, tapi dia merasa bahwa dia ingin duduk di samping ibunya dan ayahnya. Namun, hal itu tidak mungkin dilakukannya saat itu. Dia teringat, terakhir kali dia bisa duduk bertiga bersama ayah dan ibunya adalah setahun yang lalu, saat adiknya pergi menjalani kemah di Bumi Perkemahan Cibubur selama semalam dan kakaknya yang tinggal di kontrakannya di dekat kampusnya.
Zora mengantar ibunya sampai depan rumah. Dia menunggu ibunya sampai benar-benar pergi dari rumah dengan mengendarai mobil merah gelap milik ibunya. Ibunya memarkirkan mobilnya untuk memutar arah dari depan gerbang rumah tempat ibunya memarkirkan mobilnya, lalu hendak meninggalkan rumah. Namun, sebelum ibunya benar-benar pergi, ibunya membuka jendela mobil di sampingnya dan memanggil Zora untuk mendekatinya. “Zora, baik-baiklah di rumah. Kalau ternyata kondisimu tidak baik, telepon Ibu. Ibu akan mengaktifkan telepon genggam 24 jam. Tidak perlu takut akan merepotkan Ibu. Ibu tahu kamu sedang menyembunyikan sesuatu, tapi Ibu harap itu hanya masalah kecil. Jaga diri baik-baik,” kata Ibunya sambil memberikan Zora sebuah senyum khawatir.
Zora menganggukkan kepala sambil tersenyum penuh percaya diri. “Ibu tenang saja. Sekarang, sebaiknya Ibu segera pergi. Zora yakin, Hana sedang menunggu Ibu di kamarnya. Kalau Ibu membutuhkan sesuatu, akan Zora antarkan. Hati-hati di jalan. Sampaikan salamku untuk Hana, karena hari ini aku tidak bisa datang menjenguknya,” kata Zora, terus menebar senyum seakan-akan dia benar-benar dalam keadaan baik dan tidak ada masalah. Dan dia merasa dadanya terasa sakit karena harus menahan perasaannya.
Ibunya tersenyum dan mengagguk. Lalu, ibunya segera pergi dengan mobilnya, meninggalkan Zora kembali sendirian di rumah bersama kelima kucing liar peliharaannya. Ibunya merasa berat sering meninggalkan Zora dan membiarkan Zora sendirian, tapi ibunya juga tidak bisa meninggalkan Hana, adik Zora, sendirian di rumah sakit dan melewati hari-hari menyakitkan tanpa dirinya di sisinya.
Setelah ibunya pergi, Zora menghela napas dengan lega. Dia membalikkan badan dan berjalan masuk ke dalam rumah. Dia berhenti berjalan ketika melihat koran hari itu tergeletak di atas meja tamu di teras depan rumah. Zora mengambil koran itu dan membawanya masuk sambil membaca artikel utama di halaman depan koran itu. Zora membuka pintu depan, menutupnya kembali setelah dirinya masuk ke dalam rumah, lalu mengunci pintu rumahnya. Dia berjalan sambil terus membaca koran. Dia duduk di atas kursi lipat dan terus membaca.
Artikel itu menarik perhatian Zora. Di katakana dalam artikel tersebut bahwa Presiden Republik Indonesia, Susena Baharuddin, membatalkan keberangkatannya ke Yogyakarta untuk menghadiri rapat dengan petinggi-petinggi daerah tersebut. Wakil Presiden Republik Indonesia, Bumiputra, menggantikan Presiden Susena untuk menghadiri rapat tersebut. Juru Bicara Presiden Republik Indonesia, Jubair Parsa, mengatakan bahwa Presiden Susena memiliki urusan kenegaraan di Jakarta, dan dia tidak bisa menjelaskannya lebih detail lagi.
Zora menghela napas dan merasa perutnya berbunyi. Pembantu rumah tangga yang bekerja di rumahnya hari itu tidak bisa datang karena harus mengurusi anaknya yang sakit. Pembantu rumah tangga itu sudah mengirimkan kabar itu melalui pesan telepon genggam pada Zora beberapa saat sebelum ibunya datang. Zora malah bersyukur karena ketidakhadiran pembantu rumah tangganya di rumahnya, itu berarti dia tidak perlu menyuruhnya pulang ketika Ketua Arfan dan Dokter Aji datang untuk menemuinya, karena Zora tidak ingin pembantu rumah tangganya yang banyak bicara itu mengatakan yang sebenarnya pada ibunya.
Zora menaruh korannya di atas meja di sampingnya, lalu beranjak untuk mengambil handuk kering yang sudah dijemurnya kemarin pagi. Segera Zora pergi mandi sebelum Bayu dan Novi datang lebih dulu dari Ketua Arfan dan Dokter Aji. Dia tidak bisa menunjukkan sakitnya dengan tidak mandi seperti orang-orang kebanyakan. Dia selalu ingin terlihat bersih dan sehat, meski dirinya sakit atau sangat sakit dan menderita.
Tepat ketika dia selesai mengenakan pakaian dan jilbab putih, bel rumahnya berbunyi dua kali. Zora segera membuka pintu itu. Di hadapannya, berdiri seorang laki-laki berkumis putih, berambut putih yang mendominani rambut hitam, keriput, dan warna matanya sudah memudar seperti orang tua yang terkena rabun senja. Di atas hidungnya, tergantung sebuah kaca mata kecil panjang berlensa cembung untuk membantu orang tua itu melihat jarak dekat. Tatapan mata orang tua itu seakan-akan membaca apa yang Zora pikirkan. Zora segera sadar ketika dia tahu yang berdiri di hadapannya adalah Ketua Salvator Indonesia, Arfan Amiruddin Julien, Si Pembaca Pikiran.
“Ma, maaf membuat Anda menunggu lama di depan pintu. Mari, silakan masuk,” kata Zora sambil membukakan pintu rumahnya lebar-lebar. Dia mengajak Ketua Arfan, Dokter Aji, Suster Sandra, Bayu, dan Novi duduk di ruang tamu lainnya agar tidak terganggu oleh motor matik miliknya yang di parkirkan di dalam rumah agar tidak dicuri orang. Zora mempersilakan mereka untuk duduk, sementara dia hendak membuatkan minum untuk kelima tamu spesialnya. Dia sempat terkejut karena mereka datang 15 menit lebih cepat dari waktu yang diketahuinya.
Ketika Zora hendak pergi ke dapur untuk membuatkan minum, sebuah suara parau yang terdengar gemetaran, seperti tubuhnya yang gemetaran ketika berdiri, menghentikan langkahnya menuju dapur. Zora membalikkan badan dan menatap kedua bola mata Ketua SI yang menatapnya dan mulai memasuki otaknya untuk membaca pikirannya. Zora takut pikirannya dibaca, karena dia tidak ingin rahasia-rahasia lainnya diketahui orang lain yang baru pertama kali ditemuinya, tapi tidak ada yang bisa dilakukannya kecuali membalas tatapan Ketua SI itu dengan kedua matanya yang mulai berubah-ubah warna.
Ketua Arfan berkedip dan dia menghentikan membaca pikiran Zora, tapi dia masih menatap kedua mata Zora yang kini warnanya menjadi hitam di sisi kanan dan merah di sisi kiri. “Pikiranmu begitu kuat. Sulit sekali aku membacanya. Tapi, aku bisa membaca pikiranmu mengenai kejadian ketika ibumu datang. Mungkin karena kehadiran ibumu, keadaanmu sedikit memburuk. Sekarang, biarkan Dokter Aji dan Suster Sandra yang merawatmu. Novi, temani Zora,” kata laki-laki berumur hampir 50 tahun itu.
Zora membungkuk, lalu membalikkan badannya dan mengajak ketiga orang yang diusulkan Ketua SI itu untuk memeriksa keadaannya akibat serangan Necrokinesis level 5. Pemeriksaan berlangsung di kamar Zora selama sekitar satu jam, membuat Ketua Arfan dan Bayu menunggu hasil pemeriksaan dengan harap-harap cemas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar