Selasa, 19 April 2011

Chapter Six

Jam menunjukkan pukul 18.15 WIB. Alrm pun berbunyi, membangunkan Zora dan Novi yang tertidur bersama-sama dalam satu kasur. Azan juga berkumandang, maka mereka segera pergi ke kamar mandi untuk mengambil air wudhu dan melaksanakan salat maghrib bersama-sama di dalam kamar. Selesai melaksanakan salat, mereka tidak segera menyiapkan makan malam. Mereka duduk berhadapan dan kembali bercengkrama sambil menunggu azan isya’, tapi bahasan yang diambil dengan sendirinya oleh Novi sangat membuat Zora merasa tidak enak dengan kondisinya saat itu.
Novi duduk bersandar pada dinding kamar bercat oranye yang mulai luntur dan terlihat garis-garis di beberapa bagian akibat gempa yang terjadi dua tahun lalu, sementara Zora memilih membaringkan diri di atas alas salatnya dan menghadap ke atap putih kamarnya. “Zora, apa kamu sudah tahu apa saja yang bisa kamu lakukan dengan kekuatanmu?” tanya Novi sambil menatap Zora yang menatap tanpa isi ke atap putih kamarnya.
“Hanya sedikit yang aku tahu; Mengendalikan Darah dan Mengendalikan Kerja Otot. Hanya itu. Apa kamu tahu lebih banyak lagi?” tanya Zora tanpa membalas tatapan Novi, tetap menatap ke atap kamarnya, lebih tepatnya menatap pada corak bakar bada atapnya. Corak itu didadapatnya ketika ibunya membakar seekor ulat bulu yang berjalan merayap di langit-langit kamar. Ibunya membakar ulat itu karena dia takut pada ulat, meski hal itu tidak jadi masalah bagi Zora yang hampir tidak takut pada hewan, kecuali ikan yang berkumpul dan laba-laba berkaki panjang.
“Ada sekitar 17 pengendalian dalam kekuatanmu. Tapi, dari 17 pengendalian hanya ada 10 yang mungkin akan lebih berguna bagimu, yaitu Pengendalian Tanaman, Pengendalian Otot, Pengendalian Darah, Pengendalian Jantung, Pengendalian Mata dan Ilusi, Pengendalian Pernapasan, Pengendalian Tulang, Pengendalian Syaraf, Pengendalian Virus, dan Pengendalian Sendi dan Tendon. Sisanya, ada yang akan bekerja di luar kesadaranmu dan ada juga yang tidak akan berguna dalam menghadapi sebuah masalah. Jika Ketua Arfan ingin menemuimu, dia tidak hanya akan membicarakan hal-hal buruk yang mungkin terjadi, tapi kamu akan diberikan pelatihan khusus untuk melatih semua pengendalian kekuatanmu,” kata Novi, memberitahukan macam-macam pengendalian yang berguna bagi Zora. Namun,  wajahnya berubah dan membuat Zora menatapnya. “Aku tidak menyangka bahwa sahabatku yang memiliki kekuatan besar ini. Kekuatan ini sangat berbahaya. Jika kamu tidak bisa mengatur kesehatan tubuhmu, kekuatanmu akan berbalik menyerangmu secara perlahan-lahan. Banyak dampak negatif dari penggunaan pengendalian kekuatanmu. Tidak hanya pada kekuatanmu, tapi juga untuk orang-orang lainnya sepertiku dan kalangan tingkat tiga,” tambahnya dengan wajah sedih.
Zora menepuk-nepuk kaki Novi yang terlipat membentuk silang. Dia memberikan senyum untuk sahabatnya yang mengkhawatirkan dirinya, lebih khawatir pada dirinya ketimbang mengkhawatirkan diri sendiri. “Tidak perlu berwajah seperti itu. Semua hal yang kita lakukan, pasti memiliki satu atau dua dampaknya. Jika memang nantinya tubuhku tidak kuat untuk menahan beban kekuatan ini, aku akan terima dengan senang hati. Allah pasti punya tujuan memberikanku kekuatan ini. Mungkin, Allah menyuruhku untuk beristirahat agar aku tidak perlu lagi menggunakan kekuatanku. Mungkin juga alasan lain. Benar, bukan?” kata Zora sambil terus menebarkan senyumnya.
Tiba-tiba, kepalanya terasa sangat sakit. Awalnya Zora menahannya dalam keheningan kamarnya. Tapi, perlahan-lahan rasa sakit itu terasa lebih parah dan menyebar ke dada kirinya. Zora mengaduh-aduh kecil, tapi tetap menunjukkan senyumnya pada Novi yang semakin terlihat mengkhawatirkannya. Dia membantu Zora untuk kembali berbaring di atas kasur, sementara dia pergi keluar kamar untuk mengambilkan minum untuk Zora.
Dalam keheningan kamarnya tanpa ada Novi, Zora memiringkan badannya dan meringkuk sambil menahan rasa sakit yang dirasakannya. Jantungnya berdebar-debar menyakitkan, dan otaknya terasa berdenyut-denyut membuat pandangannya sedikit melihat cahaya berbinar-binar berwarna merah, kuning, dan hijau. Rasa sakitnya semakin menjadi ketika Novi membuka pintu dan bergerak masuk ke dalam kamar sambil membawa segelas air putih di tangan kanannya.
Novi menaruh gelas itu di atas meja belajar berwarna hitam milik Zora. Novi berlutut di atas lantai dan menyentuh tubuh Zora yang gemetaran karena menahan rasa sakit sampai wajahnya berwarna merah pucat. “Zora, bertahanlah. Apa yang sebenarnya terjadi padamu? Aku akan panggilkan Penyembuh terhebat, bawahan Ketua Arfan. Tunggu sebentar, ya? Bertahanlah,” kata Novi sambil bergerak mengeluarkan telepon genggamnya dari saku celananya. Dan segera menekan beberapa digit nomor pada tombol angka telepon genggamnya, namun Zora menghentikannya dengan cepat.
Zora mencengkeram tangan kiri Novi, membuat Novi yang panik terlihat bingung dan terkejut sambil menatap sahabatnya yang wajahnya terlihat semakin merah pucat. Zora menggeleng sambil tersenyum kecil dengan membuka mata kananya yang terus berubah-ubah warna, “Tidak perlu, Novi. Hal seperti ini pasti akan segera berakhir. Aku akan segera baik-baik saja. Memang sangat menyakitkan, tapi aku masih bisa menahannya. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku. Maaf, sudah membuatmu khawatir,” kata Zora dengan terbata-bata dan terdengar terburu-buru, sambil terus menebar senyum memaksa.
Novi melunak mendengar kata-kata Zora, tapi tetap dia merasa sangat khawatir dan ingin membantu mengurangi penderitaan Zora. Dia menurunkan telepon genggamnya dan menaruhnya di atas meja belajar hitam. Dia meraih kuping gelas dan mengangkatnya dari atas meja. Dia menaruh tangan kanannya 10 sentimeter di atas permukaan air putih, dan perlahan-lahan air itu bergelombang dan terangkat dari dalam gelas. Dia memainkan tangan kanannya seperti menarik sesuatu, lalu mengayunkannya ke depan hingga air yang dikendalikannya bergerak ke depan. Dia mengisyaratkan Zora untuk membuka mulutnya, lalu menggerakkan kembali air putih itu sampai masuk ke dalam mulut Zora. Zora menutupnya dan menelan air putih itu perlahan-lahan. “Kalau kamu tidak membiarkanku memanggil Penyembuh, hanya ini yang bisa aku lakukan untuk membantumu mengurangi penderitaanmu. Tapi, kalau keadaanmu memburuk lagi untuk hari ini, aku tidak akan segan-segan memanggil Penyembuh, bawahan Ketua Arfan. Mengerti?” kata Novi, terdengar kasar dan memaksa, tapi Zora tahu sahabatnya sangat mengkhawatirkannya.
Zora tersenyum sambil mengangguk. “Ya, aku mengerti. Terima kasih, untuk airnya. Gerakan tanganmu indah, dan aku tahu kamu pasti sudah sering menggunakannya, bukan?” tanya Zora dengan tenang, seakan-akan dia tidak menderita. Meski Zora berusaha membuat semua perkataannya terdengar tenang dan wajahnya terlihat tenang, tetap saja suaranya terdengar bergetar karena tubuhnya yang gemetaran karena menahan rasa sakit yang amat sangat sakit.
Novi tersenyum menanggapi pertanyaan Zora, tapi senyumnya tetap menunjukkan kekhawatirannya pada Zora. Dia menggerakkan tangan kanannya dan menyentuh tangan kanan Zora yang sedang membentuk silang dengan tangan kiri, memeluk diri sendiri untuk bisa menahan sakit. “Bertahanlah, Zora,” katanya dengan suara pelan, terdengar sedih. Matanya yang menatap sedikit ke bawah terlihat berkaca-kaca, dan air matanya mulai menggenangi kelopak matanya. Dia mengusapnya dan menghapus air matanya. Dia tersenyum, lalu kembali berkata, “Aku yakin kamu pasti bisa.”
Zora tersenyum dan mengangguk.
Azan isya’, azan terakhir pada hari itu, berkumandang dari masjid dekat rumah Zora. Novi melepas mukenanya yang tidak lepas dari tubuhnya sejak melaksanakan salat magrib, lalu berjalan menuju kamar mandi untuk mengambil air wudhu. Dia kembali masuk, lalu melihat Zora sudah berdiri dengan bersandar pada dinding dan bersiap melaksanakan salat, dan kebetulan wudhu Zora belum batal sejak mengambilnya ketika hendak melaksanakan salat maghrib satu jam yang lalu. “Zora, kamu berbaring saja. Aku akan menjadi imam salat, dan kamu melaksanakan salat sambil berbaring saja. Jangan memaksakan diri,” katanya sambil memegangi lengan kiri Zora yang tertutup oleh mukena putihnya. Dia bergerak untuk membawa Zora kembali berbaring di atas kasur, tapi tubuh Zora tidak dapat digerakannya.
“Tidak, Novi. Aku masih kuat berdiri. Keadaanku juga sudah membaik. Tenang saja,” kata Zora sambil menggerakkan tangan kanannya untuk melepaskan tangan Novi yang melingkar di lengannya dengan lembut. Dia menegakkan dirinya, lalu bersiap untuk melaksanakan salat. “Sekarang, kita laksanakan salat. Novi, tolong jadi imamnya, ya?” kata Zora dengan suara yang terdengar melemah.
Novi menatap Zora dengan kening berkerut. Dia melihat keteguhan hati pada kedua mata Zora yang terus berganti-ganti warna. Karena sakit yang diderita Zora, kekuatannya seperti lepas kendali dan membuat warna bola matanya berubah-ubah. Novi menghela napas dan melakukannya dengan terpaksa membiarkan Zora berdiri. Dia mengucapkan kalimat pertama, dan salat isya’ sebanyak 4 rakaat pun berlangsung.
Salat berakhir dengan atahiyat akhir. Novi mengucapkan salam, dan Zora menyusul salamnya. Lalu, mengucapkan salam lagi, dan Zora menyusulnya kembali. Novi menatap Zora yang baru selesai salam ketika hendak berdoa, tapi tubuh Zora bergerak jatuh ke arahnya dengan lemas dan tidak berdaya. Novi segera menahan tubuh Zora dengan kedua tangannya, lalu menarik tubuh Zora yang lebih berat dari tubuhnya naik ke atas kasur Zora yang cukup lebar. Novi mengganjal sisi kiri Zora dengan guling, lalu memberikan sedikit celah untuknya agar bisa tidur di samping Zora.
Zora sudah terbaring di bawah selimut dengan mukena yang sudah dilepaskan oleh Novi. Novi merapikan mukena miliknya dan milik Zora, menaruhnya di atas meja belajar. Novi melihat layar telepon genggamnya menyala, terdapat sebuah panggilan atas nama Bayu Angin. Novi segera menjawabnya, “Assalamu ‘alaikum. Ada apa, 'Bay?” tanyanya setelah salamnya dijawab oleh Bayu dari ujung telepon satunya.
“Novi, tolong sampaikan pada Zora, Ketua Arfan akan datang ke rumahnya tepat ketika Dokter Aji Si Penyembuh datang,” kata Bayu menjawab pertanyaan Novi dengan tenang. Di belakang, terdengar suara bising jalan raya di malam hari, membuat Bayu harus berbicara dengan sedikit berteriak.
“Pasti Ketua menggunakan kekuatannya lagi untuk membaca pikiran Si Penyembuh itu,” komentar Novi sambil menjepit telepon genggamnya dengan pundak dan pipinya, sementara kedua tangannya bergerak cepat untuk melipat mukena dan alas salat milik Zora yang masih berantakan di atas lantai.
“Ya, kau benar. Tadi sore, ketika aku tiba di Gedung Pertemuan Batavia, Dokter Aji sedang melakukan penyembuhan pada Ketua. Sambil melakukan itu, Dokter Aji banyak bercerita mengenai pasien barunya setelah Ketua membaca pikirannya dan mengetahui pasien yang dimaksud oleh Dokter Aji. Yang membuatku terkejut adalah pasien yang akan diperiksanya itu. Pasien itu adalah Zora. Setelah Ketua memberitahukan keadaan Zora padanya setelah mendengar ceritaku mengenai Zora yang tidak bisa datang hari ini, Dokter Aji akan menyiapkan beberapa tes untuk melihat potensi kekuatan Zora, sekaligus memulihkan tubuh Zora,” kata Bayu, menceritakan yang sebenarnya terjadi pada Novi.
“Ya, nanti akan aku sampaikan pada Zora kalau dia sudah bangun. Keadaannya memburuk selesai melaksanakan salat magrib. Tadi, dia memaksakan dirinya untuk melaksanakan salat isya’ dengan berdiri, dan akhirnya dia ambruk ketika selesai salam. Mungkin, dia baru akan bangun besok subuh,” kata Novi memberitahukan keadaan Zora pada temannya itu.
“Ini semua karena aku. Seandainya saja aku tidak menolong Zora tadi pagi, pasti dia tidak akan terlibat dalam urusanku dengan Necrokinesis itu,” kata Bayu menyesali perbuatannya.
“Kamu bicara apa, Bayu? Zora tidak mungkin menyalahkanmu. Aku tahu betul siapa Zora. Sejak tadi, dia terus tersenyum dan terlihat senang karena kekuatan dalam dirinya akhirnya terbangun. Dia sangat bersyukur akan kejadian tadi pagi, meski dirinya menderita. Bersyukurlah kamu masih diselamatkan oleh SOS dari Necrokinesis itu yang memaksamu masuk ke dalam Vandal. Lagi pula, Zora akan sangat bersyukur karena bisa bertemu denganmu,” kata Novi dengan sedikit kasar pada Bayu. Sebenarnya Novi bukan orang yang bisa berbicara kasar pada seseorang, dia hanya mengungkapkan hal itu pada Bayu agar Bayu tidak menyalahkan dirinya.
Terdengar di ujung telepon hanya sebuah bisingan jalan raya, klakson dan gas yang menderu-deru. “Mungkin kamu benar. Terima kasih, ya. Assalamu ‘alaikum,” kata Bayu mengakhiri panggilan.
“Wa ‘alaikum salam. Sampai jumpa besok,” kata Novi.
Novi menarik telepon genggamnya jauh dari telinganya. Dia menaruh telepon genggamnya di atas meja belajar berkaca hitam milik Zora. Dia bergegas ke kamar mandi untuk buang air kecil, lalu mengambil air wudhu kembali untuk menenangkan perasaannya ketika hendak tidur. Tapi, perutnya yang berbunyi membuatnya tidak dapat tidur. Dia pergi ke dapur untuk mencari susu putih yang dipikirnya dapat mengganjal perutnya yang kelaparan. Memang di meja makan ada lauk, tapi dia tidak enak memakan lauk milik Zora yang sebenarnya lebih membutuhkan banyak makanan untuk mengembalikan kondisi tubuhnya.
Di dapur, dua kucing peliharaan Zora bermain bersama di belakang kaki Novi yang sedang berdiri menghadap meja dapur yang menempel sepanjang dinding sisi kanan dapur, hampir setengah ruangan dapur itu. Dekatnya pertemanan Novi dengan Zora membuatnya ikut mencintai dan menyayangi hewan-hewan yang dapat dengan cepat akrab dengan teman yang sudah dianggapnya sahabat itu. Awalnya Novi takut pada kucing, tapi dia mulai berani mendekati kucing dan mengubah pola pikirnya mengenai kucing berkat kebaikan hati Zora yang membuat kucing-kucing di rumahnya cepat jinak pada orang  lain.
Selesai membuat segelas susu hangat, dia pergi duduk di depan televise dan menikmati susu hangatnya sambil membaca koran hari itu yang sudah berantakan. Dia membaca artikel mengenai olah raga, terutama bola. Selama sekitar 15 menit dia duduk membaca koran sambil menikmati susu hangat yang manis. Setelah susunya habis, dia membawanya ke dapur dan segera mencucinya, lalu kembali ke kamar Zora untuk segera beristirahat lebih awal dari biasanya. Namun, ketika dia sudah berbaring dan berniat untuk memejamkan mata, tetap saja dia tidak bisa tidur satu jam lebih cepat dari jam tidurnya.
Novi membuka matanya dan menatap langit-langit kamar bercat putih. Dia terdiam dan termenung sendirian. Dia memikirkan perasaan Bayu yang merasa bahwa dirinya adalah salah satu penyebab kondisi Zora yang buruk. Memang Novi juga merasakan hal yang sama dengan Bayu, tapi dia tidak ingin laki-laki yang disukainya menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja Bayu tidak menghampiri Zora di depan museum pagi itu, nasib Zora akan berbeda dari saat ini. Tapi, jika Allah SWT. sudah menuliskan takdirnya seperti itu dan kejadiannya sudah berlalu, tidak ada yang dapat diubah, kecuali berusaha untuk mengembalikan kondisi tubuh Zora yang setiap saat terlihat semakin memburuk.
Novi menghela napas dengan berat, berusaha membuang pikiran negatifnya mengenai Bayu. Dia memiringkan tubuhnya menghadap Zora yang tertidur dengan napas yang terdengar buruk. Novi menyentuh pipi Zora yang sering dicubitnya. Penderitaan Zora yang terus ditahannya membuat suhu tubuhnya meninggi serta membuatnya kesulitan bernapas. Novi sedih melihat Zora yang baru pertama kalinya dia lihat begitu menderita. Selama pertemanannya sejak SMP, Zora yang dia tahu tidak pernah menderita seperti saat ini.
Tubuh Zora sedikit terasa bergerak. Perlahan-lahan mata Zora terbuka. Zora menyadari ada sesuatu yang menyentuh pipinya. Dengan mata yang terbuka kecil, dia melirik Novi yang tengah tersenyum padanya sambil terus menyentuh pipinya, tapi kali ini Novi menyentuh pipinya dengan tangan yang dilapisi oleh air minum yang diambilnya untuk Zora beberapa saat yang lalu. Zora membalas senyum itu, lalu berkata, “Terima kasih, Novi. Ini sangat berguna. Maaf, jika aku merepotkanmu.”
Novi menggeleng dengan tetap tersenyum. “Tidak, Zora. Sejak kita berteman dulu, aku sudah sering merepotkanmu. Ini belum seberapa untuk membalas kebaikanmu sejak dulu. Sekarang, kamu pergi tidur agar kondisimu besok tidak seburuk saat ini,” kata Novi, menjalarkan air yang dikendalikannya ke kening Zora, membuat wajah Zora terlihat menikmatinya.
Zora tersenyum. Dia menutup matanya kembali, dan mulai berusaha tidur meski dengan napas yang terasa berat. Dia memaksa dirinya untuk tidur cepat agar tidak merepotkan sahabatnya lebih lama lagi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar