Aisyah Zora, itulah nama panjang dari perempuan berkerudung yang memiliki ukuran tubuh yang besar, pundak yang lebar dan lapang, serta wajah penuh bekas jerawat. Perempuan kelahiran 13 September 1994 ini baru saja pergi lari pagi di Taman Mini Indonesia Indah di hari pertama libur semester satu. Sebelum berangkat, Zora meninggalkan rumahnya yang besar dalam keadaan kosong dan terkunci. Ibunya sedang menemani adiknya yang dirawat di rumah sakit akibat terserang Demam Berdarah. Kakaknya tinggal di kontrakannya yang terletak cukup dekat dengan kampusnya. Sedangkan ayahnya sedang pergi ke luar kota karena urusan pekerjaan. Memang ada pengurus rumah, tapi di hari Minggu orang itu tidak masuk bekerja karena harus bekerja di tempat lain.
Setibanya di Taman Mini Indonesia Indah (TMII) dengan mengendarai angkutan umum dari rumahnya selama sekitar setengah jam, Zora segera masuk tanpa harus membayar karena pejalan kaki akan mendapatkan hari gratis masuk pada hari Minggu. Zora mulai berjalan-jalan sendirian di jalan yang tidak begitu ramai di antara Terminal A Skylift dan Keong Emas. Meski sendirian, Zora selalu merasa ada yang menemaninya dan tidak pernah merasa takut akan hal-hal yang mungkin terjadi jika dia sendirian, entah ada orang yang mengganggunya ataupun ada yang menculiknya.
Zora mulai berjalan cepat dan berakhir dengan berlari-lari pelan sepanjang jalan. Dia terus berlari pelan menyusuri jalan, melewati Masjid Pangeran Diponegoro, Gereja Katholik Santa Catharina, Gereja Kristen Haleluya, Pura Hindu Dharma Penataran Agung Kertabumi, dan terus berlari pelan sampai akhirnya dia berhenti di depan gerbang masuk Museum Keprajuritan dengan napas sedikit tersengal-sengal. Dia kembali melanjutkan perjalanannya dengan berjalan kaki sambil mengatur kembali napasnya.
Namun, belum jauh dia pergi dari jalan di depan Museum Keprajuritan, dia berhenti tiba-tiba. Dia menoleh ke dalam kawasan museum, menatap pintu kayu setinggi tiga atau empat meter yang memiliki dua daun pintu yang salah satunya terbuka ke arah dalam gedung museum. Zora diam dan terus berpikir dalam hati mengenai keanehan pada museum yang terkenal selalu sepi pengunjung dan sedikit menyeramkan itu.
Zora memutuskan untuk melihat lebih dekat. Dia berjalan menyeberang jalan selebar dua meter, lalu berjalan menuju bangunan seluas satu setengah kali satu setengah meter, tempat penjualan tiket masuk Museum Keprajuritan. Zora berdiri di depan kaca bangunan itu dan mengintip ke dalam bangunan, tapi tidak ada tanda-tanda kehidupan, bahkan tidak ada barang satu pun di dalam ruangan itu dan pintunya juga masih terkunci ketika Zora memeriksanya dari bagian sisi kanan bangunan itu.
Zora bergerak untuk menghampiri gerbang besi yang sudah karatan. Dia meraba-raba untuk memeriksa kondisi kunci selot gerbang itu, dan masih dalam keadaan digembok. Zora berpikir sekali lagi untuk tetap diam di tempat itu dan tidak melakukan apa-apa, atau melanjutkan lari paginya yang sedikit terhambat.
Untuk beberapa menit, Zora masih diam di dekat gerabang besi itu dan tidak melakukan apa-apa. Hingga dia melihat seorang laki-laki seumurannya keluar dari dalam museum sambil menggaruk-garuk kulit kepalanya yang tertutup rambut hitam yang berantakan. Laki-laki itu berhenti di depan pintu yang bergerak tertutup perlahan-lahan dengan sendirinya. Laki-laki itu melihat Zora yang sedang melihatnya, maka laki-laki itu berjalan dengan lemas dan tidak bersemangat melewati jalan yang sedikit menurun, melewati jembatan kayu di samping dua kapal yang menjadi salah satu bagian dari benda-benda yang ditunjukkan di museum itu, dan berjalan menuju gerbang.
Zora sedikit terkejut ketika merlihat laki-laki berpakaian kaos merah berkerah dan celana jins yang cukup besar itu berjalan semakin dekat menghampirinya. Zora bergerak untuk menjauh dari gerbang perlahan-lahan dengan melangkah mundur. Zora terjatuh ke belakang ke atas tanah berdebu parkiran museum ketika ujung belakang sepatunya mengantuk batu bata. Zora semakin terkejut dan bergerak mundur dengan cepat berusaha menjauhi laki-laki seumurannya yang terlihat melompat tinggi melewati gerbang besi berkarat setinggi satu meter dan bergerak terus menghampirinya.
“Jangan mendekat,” kata Zora dengan terbata-bata dan sedikit merasa takut, tapi laki-laki itu terus berjalan ke arahnya. Ketika Zora sudah merasa benar-benar lemas dan tidak dapat bergerak lagi, laki-laki itu berhenti satu meter di depannya, mengulurkan tangan kanannya pada Zora, dan membuatnya bingung. “Kenapa?” kata Zora, bertanya pada laki-laki itu, kenapa laki-laki itu berhenti mendekatinya.
Keempat jemari panjang laki-laki itu bergerak-gerak ke arah telapak tangan, menunjukkan bahwa dia menawarkan tangannya untuk membantu Zora berdiri. “Kamu aneh. Kenapa kamu bertanya ‘kenapa’ padaku? Aku ingin membantumu berdiri. Tidak butuh bantuan?” katanya. Suaranya terdengar begitu gagah namun terasa seperti mendengarkan angin sepoi-sepoi, pelan tapi tetap terdengar.
Zora menerima bantuan laki-laki yang awalnya ditakutinya. Laki-laki itu menarik tubuh Zora dengan ringan, tapi Zora merasa seperti ada yang membantunya mendorong dari belakang untuk bisa berdiri. Zora mengkibas-kibaskan bagian belakang celana olah raganya agar bersih dari debu merah. “Terima kasih, sudah membantu,” kata Zora sambil mengangkat kepalannya untuk melihat laki-laki aneh yang keluar dari dalam museum dengan rambut acak-acakkan di dekatnya itu.
Hembusan angin yang cukup kencang menerpa wajahnya, tepat ketika laki-laki yang membantunya berdiri itu menjatuhkan tubuhnya ke arahnya dengan perlahan-lahan seperti akan terjatuh cepat, tapi anehnya terasa seperti ada yang berusaha menahan tubuhnya dari bawah agar tidak terjatuh dan membentur tanah dengan keras. Dengan cepat, tangan Zora bergerak menahan tubuh laki-laki itu. Zora mengira bahwa dia akan terjatuh juga karena menahan tubuh laki-laki di hadapannya yang kini dalam keadaan tidak sadarkan diri, tapi diluar perkiraannya dia mampu menahan tubuh laki-laki itu tanpa merasakan berat sedikitpun.
Zora bergegas mengalungkan lengan kiri laki-laki itu di lehernya, lalu membuat tubuhnya yang tidak berdaya terseret-seret ketika dia hendak membawanya ke bangunan kecil tempat pembelian tiket masuk museum. Zora menyandarkan punggung laki-laki itu pada dinding bangunan, lalu berjongkok dengan kedua kakinya di hadapan laki-laki berwajah pucat itu. “Bertahanlah, aku akan mencari bantuan,” kata Zora sambil bergerak untuk berdiri dan hendak membalikkan badan, namun tiba-tiba saja tubuhnya tidak dapat digerakkan. Dia merasa kepalanya begitu sakit dan berdenyut-denyut keras. Dia bersimpuh membelakangi laki-laki yang telah menolongnya, lalu membungkuk sambil memegangi kepalanya dengan kedua tangannya dan mengerang-erang kesakitan. Namun, tidak ada seorang pun yang lewat di jalan itu, semua sedang bersenam bersama di halaman Tugu Api Pancasila.
Di tengah-tengah penderitaannya, dia mendengar sebuah langkah kaki dari depannya. Dia berusaha mengangkat kepalanya dan membuka matanya untuk melihat siapa yang datang. Tapi, dia tidak kuat menahan rasa sakit pada kepalanya. Rasanya, seperti otak yang terjepit di antara dua dinding beton yang sangat tebal. Sampai Zora merasa mual dan memuntahkan isi asam lambung dan air berwarna kekuningan dari perutnya yang belum tersentuh makanan.
“Di jalan ini tidak ada siapa-siapa, jadi kamu tidak bisa mencari bantuan,” kata seorang laki-laki yang baru saja datang dan berdiri di depan kepala Zora yang masih membungkuk sambil mengerang-erang kesakitan. “Kamu tidak akan bisa pergi dari tempat ini untuk mencari bantuan, karena kamu dan Anak Angin itu akan segera mati di tanganku,” kata laki-laki itu, disusul gelak tawa yang menggelegar, membuat kepala Zora terasa semakin sakit.
“Siapa kamu? Siapa Anak Angin? Aku tidak mengerti,” kata Zora dengan terbata-bata sambil menahan rasa sakit di kepalanya yang mulai bisa diterimanya. Zora mengangkat kepalanya perlahan-lahan, dan menatap laki-laki berkumis lebat yang mengenakan topi dan jaket kulit berwarna hitam. Tangan laki-laki itu terlihat menggenggam, seperti sedang meremas sesuatu.
Laki-laki berperawakan 35 tahun itu tertawa keras, membuat kepala Zora terasa kembali sakit, bahkan lebih sakit dari sebelumnya. “Jangan berpura-pura tidak tahu, Bocah. Anak laki-laki yang kamu tolong itulah Si Anak Angin. Jangan harap kamu bisa menolongnya dariku,” kata laki-laki bersuara keras dan terdengan berlogat daerah Sumatera Barat itu.
Zora terbatuk-batuk, lalu memuntahkan kembali isi perutnya yang hanya berbentuk air berwarna kuning. Zora mengatur napasnya, mengangkat kepalanya kembali, lalu menatap sebelah mata pada laki-laki di depannya. Zora tersenyum dan berkata, “Jangan libatkan aku dalam urusan kalian. Aku tidak kenal laki-laki itu. Biarkan aku bebas.” Zora kembali terbatuk dan memuntahkan air dari dalam perutnya.
“Jangan harap kamu bisa bebas setelah mengetahui apa yang terjadi. Kamu akan aku bebaskan, tapi ke Neraka,” kata laki-laki itu.
Tiba-tiba, jantung Zora terasa seperti diremas. Zora kembali mengerang keras. Tidak hanya kepalanya yang sakit, tapi kini dada kirinya juga sakit. Di tengah-tengah penderitaannya, laki-laki itu tertawa dengan puas. Namun, tawa itu segera hilang ketika laki-laki itu bergerak melayang ke belakang dan jatuh ke atas tanah dengan debuman keras. Saat itu, rasa sakit pada kepala dan jantung Zora perlahan-lahan menghilang dan kembali mereda, meski masih terasa sedikit sakit.
“Dia tidak ada urusannya dengan masalah kita, Pak Pembunuh,” kata laki-laki yang dipanggil dengan nama Anak Angin. Laki-laki itu berdiri di belakang Zora, lalu dia berjalan ke depan Zora. Punggungnya terlihat begitu kuat dan tegar, meski Zora tahu keadaan anak itu tidaklah baik. “Kamu, maafkan aku sudah melibatkanmu. Apa kamu baik-baik saja? Bisa kamu pergi menjauh dari tempat ini?” kata anak itu kembali sambil memutar kepalanya ke belakang, menatap Zora, dan menebarkan senyum lebar dengan bibirnya yang pucat.
“Aku sudah tidak apa-apa. Tapi, kamu sedang sakit. Sebaiknya, kita pergi dari tempat ini bersama-sama. Kamu tidak mungkin bisa mengalahkan orang itu dalam kondisi tubuhmu yang tidak baik itu,” kata Zora setelah menjawab pertanyaan dari anak laki-laki terbaik dan tergagah yang baru pertama kali dilihatnya seumur hidupnya setelah ayahnya.
“Terima kasih sudah mengkhawatirkanku, tapi aku tidak akan apa-apa. Lagi pula, aku melakukan ini sebagai ucapan maafku karena telah melibatkanmu dalam urusan berbahaya seperti saat ini,” katanya kembali sambil memasang kuda-kuda pada kedua kakinya, lalu kedua tangannya bersiap-siap melakukan sesuatu di kedua sisi tubuhnya.
Terasa hembusan angin yang kuat dan terasa begitu menegangkan menerpa tubuh Zora dari depan, seakan-akan anak laki-laki itu yang menghembuskan angin itu. Zora bergerak untuk mundur meski harus menyeret tubuhnya, lalu duduk mengatur napasnya dan rasa takutnya akan rasa sakit yang tadi dirasakannya. Kini, Zora berada dua meter di belakang anak laki-laki yang berdiri penuh dengan ketegaran dan kegagahan yang terpancar dari punggung dan pundaknya.
Orang berkumis lebat itu bergerak untuk bangkit perlahan-lahan. Dari celah antara kedua kaki Anak Angin itu, Zora melihat bahwa laki-laki berkumis lebat itu tersenyum, seakna-akan dia menikmati apa yang telah terjadi padanya. “Ternyata kamu cepat siuman juga, Anak Angin. Aku kira, dampak kekuatanmu yang keluar banyak kemarin membuatmu koma, atau bahkan kematian,” kata laki-laki berkumis itu.
“Tentu saja, karena aku akan segera melakukan sesuatu padamu. Akan aku balas perbuatanmu pada orang awam. Aku tidak bisa membiarkanmu mencampuri orang lain dalam urusan kita,” kata Anak Angin itu setelah menghela napas berat, seperti mengeluarkan semua rasa lelah di tubuhnya. Angin yang terhembus dari mulutnya ketika menghela napas terlihat sedikit asap putih, dan hembusan napas itu membuat debu di bawah kakinya bergulung-gulung seperti tersapu angin.
Laki-laki berkumis itu tersenyum dengan penuh kelicikan. “Awalnya aku tidak ingin mencampuri anak itu dengan urusan kita. Tapi, sepertinya anak itu memiliki sesuatu yang lebih menakjubkan dari dirimu. Tidak aku sangka, anak itu masih bisa bertahan setelah mendapatkan siksaan, tidak seperti dirimu.” Laki-laki itu kembali tertawa, dan tawanya itu membuat Anak Angin itu merasakan sedikit pusing, dan wajahnya, bahkan sampai kakinya, terlihat pucat.
Anak Angin? Kekuatan? Apa yang sebenarnya mereka bicarakan? Kata Zora dalam hati. Dia benar-benar tidak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi di hadapannya. Dia juga tidak mengerti apa yang harus dilakukannya. Dia juga tidak mengerti siapa kedua laki-laki yang berdiri saling berhadapan di depannya. Aura yang terpancar dari kedua laki-laki itu terasa menegangkan dan menakutkan, bahkan sampai membuat bulu kuduk Zora berdiri untuk hampir 15 detik.
Ketegangan di sekitar Zora membuat Zora merasa merasa bahwa dirinya akan mendapatkan sebuah cerita yang tidak akan pernah dia lupakan seumur hidup. Zora juga merasa, bahwa saat itu adalah saat paling menegangkan yang pernah dia rasakan. Sampai Zora merasa bahwa saat itu adalah saat-saat terakhirnya untuk bisa melihat anak laki-laki tergagah dalam hidupnya selama 16 tahun.
Dia sadar bahwa Anak Angin itu berada dalam kondisi tidak baik, bahkan dia tahu kakinya dan tangannya pucat. Tapi, Zora tidak tahu harus berkata apa untuk memperingatkan Anak Angin itu agar tidak melawan laki-laki berkumis yang terlihat menyeramkan di matanya. Dia ingin menarik Anak Angin itu untuk pergi dari tempat itu, tapi keadaannya setelah kepalanya dan dada kirinya sakit, membuatnya tidak dapat lari dari tempat itu, bahkan untuk berdiri pun sulit sekali dia lakukan.
Pembicaraan dua laki-laki di depan Zora itu terhenti. Sebuah asap putih yang hampir tidak terlihat di hari yang cerah itu keluar dari tubuh Anak Angin, membuat Zora ternganga dan terkagum-kagum melihatnya. Tapi, tidak untuk laki-laki berkumis di hadapan Anak Angin itu. Laki-laki berkumis itu mengeluarkan asap hitam yang terlihat sangat jelas, seperti asap bakar sampah. Zora malah merasa jijik melihat asap hitam keluar dari tubuh laki-laki berkumis itu. Bahkan, hampir membuatnya kembali memuntahkan isi perutnya yang hanya berupa air.
Seiring dengan keluarnya asap putih dari tubuh Anak Angin itu, permukaan kulit Anak Angin itu terlihat sangat pucat, bahkan lebih pucat dari telapak tangan seseorang yang kedinginan di Kutub Utara. Zora membuka mulutnya untuk memperingatkan Anak Angin itu, tapi hembusan angin yang keluar di sekitar Anak Angin itu membuat Zora terkagum-kagum dan hampir berhenti untuk memperingatkan Anak Angin itu mengenai kondisi tubuhnya.
“Hei, sudahlah,” kata Zora sambil bergerak untuk berdiri, tapi kembali terjatuh karena kedua kakinya tidak kuat menahan tubuhnya yang berat untuk berdiri. “Hei, Anak-Yang-Dipanggil-Anak-Angin, bukankah kamu sadar bahwa keadaanmu tidak baik saat ini? Bukankah lebih baik jika kamu tidak mengeluarkan asap putih yang seperti cakra dalam kartun itu lebih lama? Semakin lama kamu mengeluarkan asap putih itu, kamu terlihat semakin pucat,” kata Zora dengan napas yang sedikit tersengal-sengal karena syok akan dirinya yang tidak dapat berdiri.
Zora melihat tubuh Anak Angin itu seperti terhuyung-huyung, tapi tidak lama keadaan itu berlangsung. Asap putih dan hembusan angin yang keluar dari tubuh Anak Angin itu seakan-akan membuat tubuhnya kembali berdiri tegap dan penuh kegagahan. “Omonganmu terdengan lucu. Tapi, tidak aku sangka kamu cepat tanggap mengenai hal-hal kecil,” kata Anak Angin itu dengan suara yang terdengar sepoi-sepoi. “Kamu tenang saja. Selama pucatnya kulitku tidak seputih asap yang keluar dari tubuhku ini, aku masih akan tetap berusaha melindungimu. Lagi pula, kalau kita lari sekarang, Laki-laki Pembunuh di depanku pasti akan terus berusaha menghentikan kita untuk tidak pergi darinya. Nah, diamlah di tempatmu, dan jangan terkejut melihat apa yang terjadi setelah ini,” kata Anak Angin itu menambahkan, membuat perasaan Zora seperti menyukai laki-laki itu, tapi Zora berusaha membuangnya karena hal itu tidak penting di saat seperti itu.
Zora duduk lemas di belakang tubuh Anak Angin yang berasap putih itu. Zora juga melihat asap hitam yang keluar dari tubuh laki-laki berkumis dengan jaket kulit hitamnya yang membuat asap itu terlihat hampir sama pekatnya dengan hitamnya jaket kulit itu. Zora merasa dirinya lebih takut dari apapun, bahkan dia hampir lupa pada Tuhannya, Allah Subhanahu Wa Ta’ala, yang seharusnya lebih dia takuti dari apapun. Zora berdoa dalam hati untuk Anak Angin itu, agar Allah S.W.T. memberinya kekuatan dan ketabahan. Dia juga berdoa untuk dirinya, agar dirinya masih dapat terjaga sampai kejadian yang mungkin akan membuatnya terkejut ketika melihatnya, seperti yang dikatakan Anak Angin itu, berakhir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar