Selasa, 17 Mei 2011

Chapter Twelve

Bibir hitam senjata api yang terlihat penuh rahasia dan menyeramkan itu membuat Zora dan ayahnya tidak dapat bergerak. Setelah ayahnya mendapatkan serangan Necrokinesis dari laki-laki berkumis di hadapannya, ayahnya mengalami trauma seperti Zora. Hanya saja, trauma yang ayahnya alami tidak membuat keadaannya sering mengalami rasa sakit pada bagian yang diserang, tapi hanya membuatnya takut bertemu dengan laki-laki berkumis yang mencurigakan. Tapi, trauma yang dialaminya tidak membuatnya memutuskan untuk mencukur habis kumisnya.
Zora masih berdiri mengeluarkan asap pelangi yang bercampur dengan asap hitam. Namun, perlahan-lahan asap hitam itu mulai menyelubungi tubuh Zora, mengalahkan asap pelangi yang sebenarnya dimiliki Zora. Tubuh Zora juga semakin melemah dan tenaganya benar-benar hampir terkuras habis. Garis melengkung berwarna hitam terlihat semakin jelas di bawah matanya. Tidak hanya garis lengkung hitam itu, tapi juga membuat wajahnya sangat pucat dan tubuhnya mengurus, membuat cekungan kecil pada pipinya.
“Zora, apa yang terjadi padamu, ‘Nak? Kamu pucat sekali, dan tubuhmu terlihat lebih kurus. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya ayahnya dengan penuh rasa khawatir. Ayahnya bergerak mendekati Zora, melingkarkan tangan kirinya pada tangan kanan Zora yang masih melingkar di depan tubuhnya. Tapi, ayahnya segera menarik kembali tangannya ketika dia merasakan kembali rasa sakit pada jantungnya. Dia jatuh di samping Zora dan mengerang kesakitan sambil memegangi dada kirinya.
Zora terkejut melihat keadaan ayahnya. Sambil menahan rasa sakit akibat trauma yang dirasakannya, dia menolehkan kepalanya pada ayahnya. Dia menganga kecil dengan kening berkerut. Dia bergerak cepat untuk duduk bersimpuh di depan ayahnya. Dia mengangkat tangan kirinya ke depan tubuh ayahnya yang memejamkan mata dan terus mengerang kesakitan. Zora berkonsentrasi penuh, dan asap pelangi kembali mendominani asap yang keluar dari tubuhnya, mengalahkan asap hitam yang keluar dari tubuhnya. Zora berkata, “Maafkan Zora, Ayah. Semua hal yang terjadi saat ini sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Maafkan Zora, karena Zora telah melibatkan Ayah ke dalam dunia Zora. Maaf, Ayah.”
Asap pelangi terus keluar dari tubuh Zora, menghilangkan asap hitam yang hampir mendominani asap yang keluar dari tubuhnya. Zora mengubah kemampuan Pengendali Jantung yang dimilikinya ditambah dengan kekuatan Pembunuh Organisme yang diambilnya untuk membuat keadaan jantung ayahnya membaik. Dia membuat dua kemampuan itu menjadi sebuah kekuatan baru, yaitu Penyembuhan Jantung. Zora sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi dia merasa bahwa Necrokinesis mulai mendukung dirinya untuk membantu ayahnya keluar dari rasa sakit yang menyiksanya.
“Sial,” kata laki-laki berkumis di sisi kiri Zora tetap berwajah tenang sambil mengamcamkan sebuah senjata api pada Zora. “Sekarang Necrokinesisi mulai menurutimu. Siapa kamu sebenarnya? Selama aku hidup dalam Vandal lebih dari 30 tahun, baru kali ini aku melihat Generasi SOS sekuat dirimu. Tidak salah jika Bos Adhi sangat menginginkanmu. Bagaimana jika kamu ikut bersamaku sekarang? Aku telah membiarkanmu mengambil kekuatanku dan menggunakannya untuk menyembuhkan ayahmu. Sebagai gantinya, kamu ikut denganku, atau ayahmu yang akan menjadi korban dalam perselisihan dunia kita, SOS?” kata laki-laki berkumis itu dengan penuh rasa kesal meski dia tetap tersenyum.
Zora masih duduk lemas di atas lantai. Dia masih sadar dan dia tahu apa yang laki-laki itu katakan. Dia hanya diam menahan perlawanan Biokinesis terhadap Necrokinesis dalam tubuhnya. Rasa sakit pada kepala dan dada kirinya terasa semakin menyakitkan, tapi Zora tidak sanggup lagi untuk menahannya, membuatnya mengeluarkan air mata yang mengalir menuruni pipi kurusnya dan menetes ke atas lantai.
Keadaan ayahnya sudah membaik. Namun, ayahnya tidak sadarkan diri karena tidak kuat menahan rasa sakit akibat trauma. Memang ayahnya seorang laki-laki dan sudah seharusnya lebih kuat dari Zora, tapi karena ayahnya merasa syok dengan apa yang terjadi pada anaknya dan laki-laki berkumis itu, rasa stress yang dialaminya membuatnya jatuh pingsan.
Laki-laki berkumis itu menggeram kesal karena tidak ada perlawanan apapun dari Zora. Dia mengarahkan lubang senjata apinya yang berwarna hitam pada ayah Zora. Dia tersenyum sambil berkata, “Sudah cukup dengan sikapmu yang membuang-buang waktuku, Bocah. Ucapkan selamat tinggal untuk ayahmu.” Laki-laki itu bersiap untuk menarik pelatuk di belakang jari telunjuk kanannya. Dia benar-benar menariknya, dan terdengar suara ledakan senjata api hingga keluar rumah.
Zora membuka matanya dengan sangat terkejut. Dia sengaja mengendalikan kekuatannya untuk dirinya sendiri. Dia membuat kekuatannya menggerakkan tubuhnya yang tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya terjatuh di atas tubuh ayahnya yang tidak sadarkan diri. Luka pada daerah tulang belikatnya segera membuatnya tidak sadarkan diri, tapi membuat ayahnya segera sadarkan diri. Ayahnya terkejut melihat dirinya terbaring di atas lantai dengan tubuh Zora di atasnya dalam keadaan mata terpejam. Ayahnya bergerak untuk mengangkat tubuh Zora yang seberat dirinya, lalu dia membaringkan Zora di atas kedua tangannya sambil menatap Zora penuh rasa sedih dan rasa bersalah.
“Sial betul nasibku. Kalau Bos Adhi tahu apa yang aku lakukan pada SOS, tamat sudah riwayatku,” kata laki-laki itu bergumam sendiri. Dia mengarahkan senjata apinya kembali pada Ayah Zora, tapi Ayah Zora mengabaikan hal itu, karena yang ada dipikirannya hanya ada Zora yang tidak sadarkan diri di depan matanya. “Hei, Pak Tua, sebaiknya Anda serahkan SOS padaku. Aku tidak ingin banyak membunuh untuk hari ini. Aku sudah bosan melihat darah. Cepat serahkan SOS,” katanya dengan penuh ketenangan dengan wajahnya yang dingin, tapi dia menyinggung sebuah senyum licik.
Ayah Zora tidak berkata apa-apa. Dia hanya tetap menunduk menangisi keadaan Zora di atas pangkuannya. Darah mulai menetes ke atas lantai, dan sudah membasahi lengan pakaiannya serta membasahi jilbab putih yang Zora kenakan. “Kamu tidak berhak memaksaku untuk menyerahkan putriku pada orang tidak jelas sepertimu. Meski aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku tetap tidak akan menyerahkan anakku pada orang sepertimu,” kata ayah Zora  dengan penuh rasa kesal. Dia mengangkat kepalanya dan menatap mata dingin laki-laki berkumis itu dengan penuh rasa kesal.
“Pantas saja SOS Generasi Ke-13 penuh rasa percaya diri dan tekad yang kuat. Ternyata dia mendapatkannya darimu, Pak Tua,” kata laki-laki berkumis itu sambil bersiap untuk menarik kembali pelatuk di belakang telunjuknya.
“Lakukan sesukamu padaku. Tapi, jangan harap kamu bisa mengambil putriku dengan sesukamu,” katanya sambil tersenyum, membuat bekas air mata yang mengering di pipinya terlihat jelas.
Laki-laki berkumis itu menarik pelatuknnya sekali lagi. Ledakan sebuah senjata api kembali terdengar, membuat ayah Zora memejamkan mata karena tidak ingin melihat dirinya sendiri terluka. Namun, dia tidak merasakan apa-apa pada dirinya. Dia membuka matanya perlahan-lahan, dan menyadari bahwa laki-laki berkumis yang berdiri di hadapannya itu berdiri dengan tubuh gemetaran dan tangan kanannya mengarahkan lubang senjata apinya ke pelipis kanannya, dan sudah membuat luka sayat yang cukup dalam pada keningnya. Dia menjatuhkan senjata apinya ke atas lantai, dan dia memegangi keningnya yang mengalami luka sobek sepanjang 10 senti dan darah yang keluar sangatlah banyak.
Ayah Zora menganga heran. Dia menatap laki-laki berkumis yang sedang duduk bersimpuh dan menunduk memegangi keningnya yang mengeluarkan banyak darah. “Apa yang sebenarnya terjadi?” kata Ayah Zora dengan heran dan sedikit terbata-bata.
Beratnya tubuh Zora di atas kedua tangannya terasa semakin ringan. Dia menunduk dan melupakan laki-laki berkumis itu. Dia semakin menganga heran ketika asap pelangi keluar dari tubuh anaknya. Meski mata anaknya terpejam, tapi tubuhnya bergerak dengan sendirinya untuk bangkit dan berdiri. Luka pada punggung bagian belikat kanannya perlahan-lahan menutup setelah peluru yang tertanam di dalamnya keluar dengan sendirinya dan jatuh di atas lantai dengan penuh darah. Luka itu tidak hanya menutup, tapi darah basah yang masih mengalir keluar dari lukanya kembali masuk ke dalam luka itu dan membuatnya tertutup, menyisakan lubang pada jilbab dan pakaiannya, serta menyisakan bekas darah yang mulai mengering pada sekitar lubang lukanya.
Mata Zora terbuka perlahan-lahan. Pipi kurus serta garis lengkung pada kelopak bawah matanya menghilang, dan wajah Zora kembali terlihat cerah dan segar, seakan-akan Zora dalam keadaan baik-baik saja. Asap pelangi yang masih keluar dari tubuh Zora bersamaan dengan asap hitam dari Necrokinesis yang diambilnya, membuat ayahnya semakin merasa heran dan syok dengan yang ada di hadapannya. Zora melangkah mendekati laki-laki berkumis yang sedang memegangi keningnya yang terluka. Zora mengarahkan telapak tangan kanannya pada laki-laki yang terlihat seperti bersujud padanya. “Sungguh perbuatan yang ceroboh. Seharusnya kamu berpikir apa yang akan terjadi denganku sebagai SOS yang baru saja terbangun. Seharusnya kamu tahu, bahwa kekuatan yang baru saja terbangun dapat lepas kendali. Tidak aku sangka, orang tua pembunuh di hadapnku ini tidak memiliki otak yang cukup professional dalam hal membunuh lawannya. Karena aku kasihan melihatmu, akan aku berikan otak yang lebih baik,” kata Zora dengan suara yang terdengar begitu menakutkan, tapi dia tetaplah Zora. Bahkan, ekspresi wajahnya yang selalu terlihat polos dan tenang itu menghilang dari wajahnya, dan dia seperti bukan Zora yang biasanya.
Asap hitam menyelubungi tubuh bagian kanannya, sementara asap pelangi menyelubungi tubuh bagian kirinya. Asap itu terlihat mulai berjalan dan menyelubungi tubuh laki-laki berkumis yang masih memegangi keningnya sambil mengerang-erang kesakitan. Dan perlahan-lahan, asap hitam itu menghilang dari tubuh Zora, tapi asap pelangi itu juga menghilang dari tubuhnya, dan membuat wajahnya kembali terlihat pucat.
Sirine ambulans dan polisi mulai terdengar jelas. Cahaya merah dan biru terlihat dari jendela di kedua sisi rumah, serta dari celah pintu bagian bawah. Derap langkah orang-orang bersepatu berat, serta roda kasur darurat terdengar mendekati rumah, bahkan ada yang mendekati pintu. Setelah itu, terasa sunyi di depan rumah, menyisakan lampu merah dan biru yang masih nyala berkedip-kedip. Namun, ketukan pintu depan rumah yang terbuat dari kayu menghilangkan kesunyian itu.
“Assalamu ‘alaikum,” kata sebuah suara laki-laki yang parau dan terdengar bergetar. Pintu rumah yang terbuat dari kayu itu terdorong ke dalam dan berhenti ketika menyentuh tubuh laki-laki berkumis yang masih mengerang-erang kesakitan sambil memegangi keningnya yang masih mengeluarkan darah. Sosok laki-laki tua yang Zora lihat kemarin membuat perasaannya lebih tenang, dan berhasil mengembalikan ekspresi wajahnya yang polos dan tenang itu, bahkan Zora berhasil kembali tersenyum. “Wah, sepertinya telah terjadi hal yang menegangkan di rumah ini. Tapi, sepertinya aku telat datang untuk menyaksikan aksimu, Zora,” kata laki-laki tua yang tidak lain adalah Ketua Arfan Amiruddin Julien, Pemimpin Salvator di Indonesia.
“Ketua, kau telah membuat keributan untuk tetanggaku. Aku tidak tahu lagi bagaimana jadinya jika orang-orang di sekitar rumahku tahu apa yang terjadi di dalam rumah ini. Dan lagi, ayahku mulai mencurigaiku,” kata Zora sambil tersenyum. Tangan kanan yang melingkar di depan tubuhnya ke sisi kiri tubuhnya kini terlepas dan terkulai lemas di sisi tubuh. Tubuh Zora bergerak ke depan dengan mata yang terpejam, tapi bibirnya tetap menyinggung sebuah senyum lega.
“Zora!” seru ayah Zora dengan tubuh yang bergerak sangat lincah dan cepat. Dia berhasil menahan tubuh Zora yang hampir menyentuh dan mengantuk lantai dingin yang keras. Dia mengangkat tubuh Zora yang terkulai lemas, dan menambahkan beban berat di kedua tangannya. Namun, dia tidak memperdulikan hal itu. Yang ada dipikirannya hanyalah bagaimana caranya agar anaknya dalam kondisi baik-baik saja.
“Sepertinya Zora sudah berjuang keras untuk melindungi Anda, Tuan Zufar. Keadaan Zora memang baik-baik saja untuk saat ini. Tapi, ada sesuatu yang sudah sepantasnya Anda ketahui sebagai seorang ayah, apalagi Anda telah melihat apa yang terjadi pada Zora,” kata laki-laki tua bersuara parau itu sambil memberi isyarat pada orang-orang dibelakangnya untuk datang membawakan kasur darurat. “Saya akan membawa Zora ke rumah sakit khusus di daerah Kota Tua. Anda bisa ikut dengan saya mengantarkan Zora dan menemaninya. Ada hal yang harus saya sampaikan pada Anda,” tambahnya sambil menatap Ayah Zora dengan tenang dan sebuah senyum yang menenangkan.
Ayah Zora bergerak berdiri, lalu dia berjalan berdampingan dengan Ketua Arfan menuju mobil ambulans yang terlihat seperti mobil ambulans pada umumnya. Ketua Arfan dan ayah Zora masuk ke dalam ambulans dan menemani Zora di dalam ambulans selama perjalanan menuju rumah sakit khusus yang dikatakan Ketua Arfan. Sebelum pintu ambulans tertutup, Ayah Zora melihat kerumunan polisi berseragam dan mengenakan sebuah aksesoris-aksesoris yang mencurigakan pada beberapa bagian tubuh mereka. Polisi-polisi itu bergerak cepat membawa laki-laki berkumis yang terluka ke dalam mobil polisi yang juga terlihat biasa-biasa saja.
Kerumunan tetangga yang melihat apa yang terjadi mulai menyingkir dari rumah. Wajah khawatir dan sedih mereka begitu terlihat ketika mereka melihat Zora terbaring dengan masker oksigen di depan wajahnya di atas kasur darurat yang didorong dan ditarik oleh dua perawat laki-laki dan dimasukkan ke dalam mobil ambulans. Mereka merasa sangat sedih dengan apa yang terjadi pada Zora yang terkenal ramah pada tetangga. Tidak hanya Zora yang dia khawatirkan, tapi juga orang-orang penghuni rumah besar itu. Keluarga Zora terkenal ramah dan dermawan, tapi mereka tidak menyangka bahwa hal buruk akan menimpa keluarga itu.
Mobil ambulans melaju perlahan-lahan, dan semakin cepat untuk menjauhi rumah Zora yang menjadi sebuah Tempat Kejadian Perkara . Jendela pada pintu ambulans di sisi kiri ayah Zora terlihat bercayaha putih untuk sesaat, membuatnya merasa terkejut dan heran apa yang terjadi di depan rumahnya. Dia menatap laki-laki yang lebih tua darinya yang duduk di hadapannya. Laki-laki itu hanya tersenyum padanya, dan senyum itu kembali membuat perasaan ayah Zora kembali tenang dan hanya mengkhawatirkan Zora yang terbaring dengan wajah pucat di atas kasur darurat.
Seorang perawat laki-laki yang duduk di sisi kanan ayah Zora mengangkat kedua tangannya dan menaruhnya di atas tubuh Zora. Dia memejamkan mata, lalu asap putih kebiruan keluar dari kedua telapak tangannya. Asap putih kebiruan itu bergerak jatuh ke atas tubuh Zora, membuat tubuh Zora terselubungi asap putih kebiruan itu. Perlahan-lahan, asap putih kebiruan itu memudar dan bercampur menjadi satu dengan asap pelangi yang keluar dari tubuh Zora. Laki-laki perawat itu sempat berhenti melakukan Pemulihan pada Zora dengan kekuatan Penyembuh miliknya. Dia menatap Ketua Arfan dan tidak berkata apa-apa karena Ketua Arfan sudah tahu apa yang akan ditanyakannya.
“Ya, dialah anak yang akan menyelamatkan dunia ini. Aisyah Zora, anak dari Muhammad Zufar dan Widyati Puspita Purwasari. Memang dia masih sangat muda dan baru berusia 16 tahun, serta belum bisa dikatakan sebagai seorang penyelamat dunia, juga untuk keempat teman-teman seperjuangannya nanti. Tapi, anak berumur 16 tahun ini sudah berhasil menerima apa yang ada di dalam dirinya. Dialah Salvator Omnium Salvatores, Penyelamat Bagi Juru Selamat,” kata Ketua Arfan dengan suara paraunya. Dia tersenyum penuh rasa bangga dan rasa senang. Tongkat berkepala seperti otak manusia dijadkannya tumpuan kedua tangannya yang sudah mulai keriput dan terlihat tidak berdaya.
Ayah Zora hanya menganga, tidak menyangka apa yang didengarnya dari laki-laki tua yang tidak dikenalnya, tapi dia merasa percaya pada kata-katanya. Dia tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya bisa menatap wajah senang dan tenang dari Ketua Arfan. Selama perjalanan menuju Kota Tua yang hanya menempuh perjalanan selama 45 menit, ayah Zora sama sekali tidak bisa angkat bicara. Dia hanya bisa diam menatap anaknya yang terbaring lemah tak berdaya dengan penuh rasa heran dan penuh pertanyaan di kepalanya. Membuat rasa lelahnya meningkat hingga dia tertidur ditengah perjalanan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar