Selasa, 17 Mei 2011

Chapter Eleven

Pintu rumah bagian depan yang terbuat dari kayu yang hanya dilapisi cat dasar kayu itu dipenuhi bunyi ketuk berkali-kali, membangunkan Zora dari tidur sekaligus mengingatkannya bahwa ayahnya akan pulang pada malam itu. Tidak hanya pintunya yang diketuk membangunkan Zora, tapi juga telepon genggamnya yang terus berbunyi dan bergetar-getar di samping kepalanya. Mobil milik ayahnya yang belakangan ini tidak menyala kini menyala di  dalam garasi yang ada di depan kamarnya. Suara mesin mobil ayahnya itu juga membuatnya cepat tersadar dari tidurnya dengan perasaan sedikit terkejut dan membuatnya agak merasa mual.
Zora bangkit dari kasurnya sambil merapikan jilbab yang sengaja digunakannya untuk membuat hangat telinganya, kemudian berjalan cepat untuk segera keluar kamar dan membukakan pintu untuk ayahnya yang terus mengetuk-ngetuk pintu. Semakin lama Zora berjalan untuk membukakan pintu, para tetangga di samping rumahnya mulai terganggu dengan suara ketukan pintu yang sangat keras yang dilakukan oleh ayahnya. Zora tidak perlu mengintip melalui jendela panjang di sisi kiri – jika berdiri menghadap pintu dari bagian dalam rumah – untuk melihat siapa yang mengetukkan pintu dengan keras dan mengganggu tetangga, karena Zora yakin bahwa itu adalah ayahnya yang dikabarkan akan pulang tengah malam oleh ibunya.
Zora memutar kunci dan menarik selot di atas dan di bawah gagang pintu. Zora menarik pintu itu sambil berkata, “Selamat datang, Ay…” Zora tidak melanjutkan kalimatnya ketika yang dilihatnya bukanlah ayahnya seorang diri. Ayahnya Zora berdiri dengan leher tertahan oleh sebuah tangan yang melingkar dan hampir mencekik ayahnya, serta pelipis kanannya tertodong bibir hitam senjata api yang sudah siap untuk ditarik pelatuk kecilnya.
“Zora, cepat pergi dan selamatkan dirimu,” kata ayahnya dengan sedikit berbisik. Keringat yang keluar dari tubuhnya berukuran sebesar biji jagung. Pucatnya wajah ayahnya membuat Zora sadar bahwa ayahnya sudah benar-benar tidak dapat melakukan apa-apa meskipun dia seorang guru Silat yang sering diadakan latihannya di padepokan miliknya yang sengaja dibangun di depan rumah.
“Ayahmu sudah pulang, SOS,” kata laki-laki yang melakukan ancaman pada ayahnya. “Tapi, tidak akan aku biarkan kamu bersenang-senang lebih lama bersama ayahmu. Aku akan segera membawamu untuk bertemu dengan seseorang yang nantinya akan menjadi tempat mengabdimu. Aku datang membalas dendam, sekaligus mengajakmu bergabung bersamaku di dalam Vandal, Salvator Omnium Salvatores,” kata laki-laki itu, melanjutkan kalimat sebelumnya. Dia menyengir dengan penuh rasa percaya diri yang tinggi bahwa Zora akan berhasil dibujuknya.
Laki-laki berkumis yang melakukan pengancaman pada ayahnya adalah laki-laki berkumis yang mengancam nyawanya dan Bayu ketika Zora dan Bayu bertemu untuk pertama kalinya. Laki-laki pemilik Necrokinesisi itu datang untuk membalaskan dendam atas apa yang telah Zora perbuat padanya. Perbuatan Zora itu membuat laki-laki berkumis itu sadar apa yang ada di dalam tubuhnya. Laki-laki berkumis itu sudah mengatakan pertemuannya dengan SOS di Taman Mini Indonesia Indah pada hari Minggu, dua hari yang lalu – jam sudah lewat dari jam 12 malam – pada pemimpin Vandal atau Penghancur. Kini, dia datang tidak hanya untuk membalaskan dendam, tapi juga untuk mengajak Zora dengan memaksanya bergabung bersama Vandal.
Zora benar-benar tidak menyangka apa yang dilihatnya itu. Berita pada hari Minggu siang yang didengarnya di rumah sakit membuatnya merasa lega dan tenang karena laki-laki berkumis yang memaksa Bayu untuk ikut dengannya berhasil ditangkap kepolisian khusus. Tapi, apa yang ada di hadapannya atau lebih tepatnya di belakang ayahnya adalah laki-laki berkumis itu. Zora tidak tahu bagaimana caranya laki-laki berkumis itu bisa pergi, sementara Zora yakin bahwa penjara khusus itu pasti menggunakan teknologi canggih untuk menahan penggunaan kekuatan oleh Manusia Super-Manusia Super jahat yang menjadi penghuni penjara khusus itu.
Zora melangkah mundur dengan sedikit merasa takut. Dia mengalami sedikit trauma pada pengguna Necrokinesis setelah apa yang dialaminya sejak dirinya diserang oleh laki-laki berkumis pengguna Necrokinesis itu. Zora berhenti melangkah ketika meja tamu di belakangnya sudah tersentuh oleh kaki bagian belakangnya. Zora terduduk lemas di atas meja itu – di atas tumpukan berkas-berkas ayahnya – menatap ayahnya yang terlihat ketakutan oleh laki-laki berkumis yang memegang senjata. Tapi, ekspresi takut yang ditunjukkan ayahnya bukanlah ekspresi takut pada senjata api, melainkan takut tersiksa. Zora menduga bahwa ayahnya telah mendapatkan siksaan dari laki-laki berkumis itu ketika berusaha mengatakan bahwa rumah itu bukanlah rumah Zora sang SOS yang dicarinya.
“Zora, cepat panggil bantuan. Walaupun Ayah tidak mengerti apa yang kalian bicarakan, tapi Ayah tidak mau tersiksa seperti sebelumnya. Ayah butuh bantuan yang lebih besar. Cepat panggil bantuan, ‘Nak,” kata ayahnya sekali lagi, berusaha membuat Zora untuk pergi menyelamatkan diri sekaligus mencari bantuan untuk menyelamatkan dirinya dan Zora.
Tubuh Zora gemetaran, wajahnya memerah perlahan-lahan, dan merahnya wajahnya membuat dia tidak dapat lagi menahan rasa sakit yang belakangan ini dialaminya sejak jantung dan otaknya diserang dengan Necrokinesis berlevel cukup tinggi yang dilakukan laki-laki berkumis itu dua hari lalu. Zora tersungkur lemas di atas lantai sambil membungkuk menahan rasa sakit pada dada kirinya dan kepalanya. Meski Zora tahu laki-laki itu tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya, tapi rasa takut akan pengguna Necrokinesis memacu rasa sakit pada dua organ tubuhnya yang diserang oleh laki-laki berkumis itu.
“Wah, wah,” kata laki-laki itu terkagum-kagum sambil melangkah masuk ke dalam rumah bersama sanderanya, membuat dirinya berada lebih dekat dengan Zora, serta membuat pintu rumah tertutup. “Sepertinya aku berhasil membuatmu trauma dengan Necrokinesis. Aku tidak menyangka aku berhasil membuat SOS trauma dan menderita seperti saat ini. Tapi, mungkin juga kamu trauma karena kamu masih kecil. Kenapa Tuhan menganugerahkan kekuatan besar dalam tubuh bocah sepertimu? Kenapa tidak padaku saja? Tuhan terlalu pilih kasih, ya,” kata laki-laki itu menurunkan senjata apinya ke sisi tubuhnya, membuat ayah Zora berhasil lepas darinya dan segera membantu Zora untuk menahan rasa sakit yang Zora alami dengan memberinya semangat.
Ayah Zora duduk bersimpuh di depan Zora yang bersimpuh membungkuk dengan lemas. Ayahnya memegangi tangan kiri Zora yang sengaja tidak digunakannya untuk memijat kepalanya yang terasa sangat sakit. Zora terus mengerang-erang kecil, melampiaskan rasa sakitnya yang sudah tidak lagi dapat ditahannya, sementara Ayahnya berkata, “Zora, bertahanlah. Kalau kita sudah selamat dari orang ini, Ayah akan segera membawamu ke rumah sakit. Ayah tidak tahu kamu kenapa, tapi sepertinya kamu merasakan sakit yang sama seperti yang Ayah rasakan ketika berusaha mengelabui laki-laki itu,” katanya dengan berbisik, membuat laki-laki berkumis yang berdiri di belakangnya bingung dengan percakapa ayah dengan anaknya itu.
Sambil menahan rasa sakit sampai membuat wajahnya memerah dan membuat tubuhnya basah oleh keringat, Zora mengangkat kepalanya yang terasa sangat sakit dan berat. Dia menatap ayahnya yang menatapnya dengan khawatir dengan sebelah mata. Zora menggeleng lemas. “Tidak, Ayah. Rasa sakit ini tidak bisa disembuhkan atau diredakan oleh pengobatan biasa. Hanya orang khusus yang dapat melakukannya,” kata Zora dengan suara pelan, diiringi napas tersengal-sengal yang membuat setiap kata yang diucapkannya mengandung banyak huruf ‘h’.
Rasa sakit yang Zora alami terasa semakin parah. Erangan yang keluar dari mulut Zora terdengar semakin jelas, dan itu membuat laki-laki berkumis itu mulai kesal dengan pembicaraan ayah-anak itu yang tidak dapat didengarnya. “Sudah cukup pembicaraan kalian. Sekarang, ikut denganku dan aku akan membiarkan ayahmu selamat. Jika kamu menurut, tidak hanya ayahmu yang selamat, baik selamat nyawanya dan sakit yang dia terima dariku, tapi kamu juga akan aku selamatkan dari rasa sakit yang kamu rasakan akibat trauma pada kekuatan sepertiku. Bagaimana?” tanya laki-laki berkumis itu dengan senyum licik.
Zora mengangkat kepalanya dengan sangat berat. Dia menatap ke atas, menatap laki-laki berkumis yang tersenyum licik di belakang ayahnya yang masih menatapnya dengan khawatir. Dengan menatap sebelah mata, Zora menyengir memperlihatkan barisan gigi-giginya, “Ayahku akan selamat tanpa aku harus ikut denganmu. Sebaliknya, aku akan membiarkanmu bebas, jika kamu mau pergi dari hidupku. Tapi, jika kamu memaksa, aku tidak akan segan-segan berbuat jahat padamu. Laki-laki yang tidak tahu diri sepertimu, pantas mendapatkan hukuman,” kata Zora dengan penuh percaya diri.
Suasana tegang yang terasa di rumah itu terasa semakin tegang ketika asap berwarna pelangi keluar dari tubuh Zora. Laki-laki berkumis dengan kekuatan Necrokinesis itu mengeluarkan asap berwarna hitam, membuat warna hitam itu menambahkan warna pelangi yang indah yang keluar dari tubuh Zora dan membuat pelangi itu menjadi tidaklah indah.
Tangan kiri Zora perlahan-lahan terlepas dari tangan ayahnya. Zora menguatkan dirinya dan membangkitkan semangatnya agar dirinya dan ayahnya selamat dari laki-laki itu. Zora berdiri dengan lutut yang masih gemetar dan mata kiri yang masih tertutup, bahkan tangan kanannya masih melingkar di depan tubuhnya ke sisi kirinya. “Asap hitam. Warna itu pantas keluar dari tubuhmu yang penuh dosa itu,” kata Zora berusaha mengulur-ulur waktu untuk mengembalikan tenaganya yang sedikit terkuras karena harus menahan rasa sakit.
Zora menyengir dan terus mengajak laki-laki itu berbicara dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu diucapkannya dalam sebuah pertarungan dua orang. Zora tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tapi dia berusaha untuk memikirkan cara sekaligus berkonsentrasi agar dia bisa mengendalikan kekuatannya yang sempat lepas kendali kemarin sore. Zora berkonsentrasi agar laki-laki berkumis itu tidak dapat menggunakan kekuatannya, yaitu dengan cara mengambil kekuatannya. Dia teringat bahwa Dokter Aji pernah mengatakan padanya bahwa dengan kekuatannya, dia dapat mengambil sebuah kekuatan, dan dia mencoba melakukan hal yang sepertinya terlalu sulit untuk Zora lakukan sebagai pemula.
Asap berwarna pelangi yang keluar dari tubuh Zora terlihat semakin pekat. Sementara itu, asap hitam yang menyelubungi tubuh laki-laki berkumis itu semakin memudar dan akhirnya menghilang terhisap asap pelangi milik Zora. Namun, laki-laki itu tidak sadar apa yang telah Zora lakukan. Zora merasa dirinya lebih berat dengan Necrokinesis milik laki-laki itu yang berhasil diambilnya, tapi Zora tidak tahu bagaimana cara menggunakan kekuatan itu, bahkan Zora tidak tahu apa yang harus diperbuatnya setelah itu.
Asap berwarna pelangi yang keluar dari tubuh Zora kini bercampur dengan asap hitam, tapi tetap asap berwarna pelangi yang lebih dominan. Laki-laki itu terkejut melihat apa yang terjadi. Dia menatap seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah untuk menemukan asap hitam yang seharusnya menyelubungi tubuhnya. Hingga akhirnya dia sadar bahwa Zora telah berhasil mengambil kekuatannya dengan cepat dan tanpa disadari.
“Sial,” kata laki-laki itu sambil tetap tersenyum di depan Zora, berusaha membuat Zora menganggapnya tenang mengetahui kekuatannya telah direbut oleh seorang SOS berumur 16 tahun. “Tidak aku sangka kamu berkembang cukup pesat. Padahal, kekuatanmu baru saja terbangun dua hari yang lalu. Memang, seorang SOS tidak dapat diremehkan. Tapi,” kata laki-laki itu, berhenti tiba-tiba sambil mengangkat senjata api di tangan kanannya dan menodongnya di depan wajah Zora. “Tapi, kamu tidak akan bisa menghindari ini. Apa kamu tidak tahu, bahwa yang kamu lakukan membuat tenagamu terkuras banyak dan membuatmu tidak dapat menggunakan kekuatanmu yang sebenarnya? Kekuatanku yang telah kamu ambil mungkin saja akan memperalatmu dan membahayakan dirimu sendiri. Bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Bagaimana kalau kamu menyerah?” lanjut laki-laki berkumis itu dengan senyum penuh kemenanangan.
Asap berwarna pelangi yang pekat perlahan-lahan memudar dan keadaannya menjadi seimbang dengan asap hitam. Zora menyadari bahwa perlahan-lahan Necrokinesis yang sebenarnya tidak cocok untuk tubuhnya karena beban Necrokinesis hampir menyamai beban Biokinesis dalam tubuhnya, membuat tubuhnya lebih terbebani. Zora juga sadar bahwa dia tidak dapat lagi bergerak untuk menghindar ketika nantinya laki-laki berkumis itu menarik pelatuknya.
Sementara perseteruan antara Zora dan laki-laki berkumis itu menegang, Ayah Zora hanya berdiri dengan penuh rasa khawatir serta rasa takut akan merasakan sakit yang sebelumnya dia rasakan. Dia tidak tahu harus berbuat apa, dan yang ada di dalam pikirannya hanyalah bagaimana cara menolong Zora dari senjata api laki-laki berkumis itu. Meski dia tidak mengerti apa yang Zora dan laki-laki berkumis itu bicarakan, tapi dia merasa bangga dengan keberanian yang muncul pada diri Zora yang merupakan sifat bawaan yang Zora terima darinya. Dia merasa sangat bangga karena kini sifat keberaniaannya ada yang meneruskannya, dan itulah Zora.
Ayah Zora bergerak perlahan-lahan untuk bersiap-siap berdiri ketika laki-laki yang telah menyakitinya dan anaknya itu menarik pelatuk senjata apinya. Memang tindakan yang dipikirkannya sangat berbahaya, tapi dia tidak bisa membiarkan Zora yang seorang perempuan berumur 16 yang masih memiliki hidup yang panjang harus berakhir dengan tertembak dan mati mengenaskan di depan matanya. Dia ingin segera membuat laki-laki berkumis itu terjatuh dan melepaskan senjata api di tangannya, tapi kedua kakinya yang masih lemas ketakutan itu tidak dapat bergerak dengan mudah.
"Zora, tubuhmu mengeluarkan asap. Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan kamu bisa mengeluarkan asap seperti itu, ‘Nak?” tanya ayahnya dengan suara gemetar dan terbata-bata. Dia bergerak perlahan-lahan untuk bangun, tapi dia tidak berani mendekati Zora.
Zora melirik pada ayahnya dengan mata kanannya saja. Iris matanya yang kini memiliki dua warna, merah dan hitam, membuat ayahnya takut. Dia tahu kenapa ayahnya tidak mendekatinya, dan dia sadar bahwa dirinya sudah membuat ayahnya takut sampai berwajah aneh seperti yang dilihatnnya pada ayahnya.
Zora menatap kembali laki-laki berkumis di hadapannya tanpa memberikan sebuah jawaban pada ayahnya yang masih berdiri ketakutan terhadap dirinya. Memang menyakitkan menjadi seseorang yang ditakuti, tapi Zora merasa membuat ayahnya takut adalah jalan terbaik untuk memudahkannya pergi mencari Soil Elementa dan Ignis Elementa. Tapi, dia tidak yakin bahwa setelah kejadian ini apakah ayahnya akan tetap takut terhadapnya, atau bahkan lebih menyayanginya. Dia berharap ayahnya tetap menyayanginya, meski dia bukanlah Zora yang sebelumnya dikenal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar