Jaket hijau gelap kebesaran miliknya berkibar-kibar ke belakang tubuhnya karena tertiup angin. Motor matiknya melaju dengan kecepatan 90 kilometer per jam, lebih cepat dari biasanya. Di hari libur seperti saat itu membuat jalan menjadi lebih sepi, tapi membuat kecelakaan sering terjadi. Banyak pengendara yang menganggap remeh jalan sepi sebagai tempat untuk bisa saling kebut-kebutan, karena hal itulah sering sekali terjadi kecelakaan yang bisa menyebabkan kematian.
Zora menyalakan lampu sen ke kanan ketika dia sampai di depan supermarket yang menjadi tempat terbaik untuk membeli keperluan rumah tangga bagi keluarganya. Dia berhenti di depan mesin otomatis tiket masuk supermarket. Dia menunggu tiket itu keluar dari sebuah lubang tipis sepanjang 15 senti. Setelah mengambil tiket masuk, Zora melajukan motornya dengan kecepatan rendah untuk pergi ke bagian belakang gedung supermarket yang menjadi tempat parkir bagi motor-motor.
Zora menitipkan helmnya pada penitipan helm, lalu berjalan kaki dari tempat parkirnya sampai ke pintu masuk supermarket yang sebenarnya ada tepat 20 meter di depan pengambilan tiket. Berjalan kaki selama kurang dari 2 menit sudah membuatnya merasa sedikit lelah, tapi dia masih bisa bertahan dengan rasa lelahnya itu. Maka, Zora menaiki satu tangga eskalator dan menunggu sampai eskalator itu mengantarnya ke lantai dua gedung supermarket. Di lantai itu, adalah awal perjalanan belanja bagi orang-orang. Zora mengambil sebuah kereta dorong belanjaan dan menjelajah di lantai dua untuk mencari barang-barang serta bahan-bahan utama di lantai dua.
Dia mengawali belanjanya dengan mengunjungi rak yang menyediakan berbagai macam jenis dan merk mie. Dia membeli mie instan goreng sebanyak 10 buah, mie instan rebus sebanyak 10 buah, dan mie instan dalam gelas berbahan sejenis staerofoam sebanyak 5 buah. Dia menumpuknya dengan rapi di sisi keranjang bagian dalam agar muat untuk memasukkan berbagai macam belanjaan lainnya.
Dari sana, dia berpindah ke lemari yang menempel langsung pada dinding dalam supermarket itu. Rak itu menempel berjajar menjualkan sabun-sabun pencuci pakaian, pewangi pakaian, sabun cuci piring, pewangi lemari, kamper, sabun pembersih lantai, sampai tisu. Dia mengambil setiap jenis sabun yang terjual di rak itu, tentunya dengan merk kepercayaan keluarganya. Kemudian, Zora juga mengambil satu kantong tisu gulung untuk di dalam kamar mandi, satu botol berisi cairan pembersih lantai rumah, serta tiga buah pewangi lemari.
Zora melanjutkan menuju rak yang menyediakan keperluan pembersih badan. Dia mengambil tiga kotak pasta gigi, satu buah sikat gigi untuk mengganti sikat giginya yang sudah hampir tiga bulan digunakannya, mengambil satu botol sampo berukuran besar, satu botol sabun pembersih kemaluan, serta lima buah sabun batangan dengan wangi bunga-bunga aromaterapi. Tidak hanya itu, dia juga membeli sabun pembersih muka dengan ukuran tempat yang cukup besar, serta satu buah kantong pembalut.
Tidak jauh dari rak keperluan kebersihan badan, terdapat sebuah meja dua meja kaca yang membatasi pembeli dengan dua perempuan berpakaian seragam hitam dengan garis merah muda di tepiannya. Di sana, mereka menjual obat-obatan umum. Jarang sekali ada pembeli supermarket itu datang membeli obat di sana, tapi tidak untuk Zora. Setiap kali Zora datang berbelanja – hampir setiap bulan – Zora pasti membeli obat-obatan umum, seperti obat pusing, penurun demam, batuk dan flu, salep untuk pegal-pegal, salep pelega pernapasan, minyak kayu putih, minyak telon, serta lima buah kotak kecil berisi plester penutup luka. Bahkan, penjual yang melayani di sana sampai hapal benar keperluan Zora dan selalu menyediakannya setiap bulan khusus untuknya.
“Mbak, maaf, seperti biasanya,” kata Zora mengejutkan pelayan apotik itu yang sedang membelakanginya sambil menebalkan dandanannya.
“Oh, Adik. Sebentar, ya,” kata pelayan itu sambil menaruh perlatan dandannya di dalam lemari obat yang masih menyisakan sedikit tempat. Pelayan itu mengambil sebuah kantong plastic transparan berisi obat-obatan yang biasa Zora beli di tempat itu. Dia sudah menghitung total harganya, dan di apotik itu Zora langsung membayar belanjaannya. “Adik sendirian saja. Mana ibunya dan adiknya?” tanya pelayan itu sambil memperlihatkan semua pesanan Zora.
“Ibu sedang menemani adik saya di rumah sakit. Kebetulan, adik saya terkena Demam Berdarah sekitar 5 hari yang lalu,” kata Zora sambil mengangguk-angguk terus ketika obat-obat yang biasa dibelinya di perlihatkan. “Terima kasih, Mbak. Mari,” kata Zora ketika pelayan itu telah selesai menunjukkan pesanannya. Zora menaruh belanjaannya itu di dalam keranjang dengan sangat rapi, lalu membawanya menuju eskalator untuk turun ke lantai satu, membeli bahan-bahan masakan, mulai dari beras, kecap, sayu-sayuran, buah-buahan, sampai daging sapi.
Setelah turun dari eskalator, kebiasaan Zora adalah berbelok ke kanan dan membeli beras dan kecap lebih dulu. Dia mengambil sebuah beras seberat 10 kilogram, mengangkatnya dengan mudah, dan menaruhnya di bagian ujung keranjang dorong belanjaan yang sengaja diberinya celah. Setelah itu, Zora berjalan mengikuti arus mengambil satu kantong gula, kecap, bumbu dapur instan, dan kornet. Di akhir jalur yang Zora lewati, terdapat sebuah rak yang menyediakan makanan hewan. Karena Zora memelihara 5 ekor kucing di dalam rumah, dan satu kolam ikan hias di teras belakang rumahnya, maka Zora mengambil sebanyak 10 saset kecil makanan kucing dan tiga saset panjang makanan ikan.
Zora berjalan lurus melewati kasir-kasir yang sudah terisi antrean pembeli. Tapi, Zora tidak ingin membayar belanjaannya lebih dulu, karena dia belum membeli bahan sayuran, bumbu dapur seperti bawang dan cabai, serta daging. Maka, dia mendorong keranjang dorong belanjaannya menuju meja-meja berdinding es untuk mendinginkan daging-daging segar.
Zora memilih daging sapi cincang yang terlihat baik. Zora menyendoknya dengan sendok besi dan panjang dan memiliki cekungan yang besar, lalu memasukkannya ke dalam satu kantong plastic. Setelah itu, dia meminta pada pelayan di belakang meja itu untuk menimbangnya. Dia selalu percaya diri dalam hal takar-menakar bahan, dan untuk kali ini takarannya tepat dan sesuai dengan kebutuhannya selama ibunya berada di rumah sakit menemani adiknya dan ayahnya masih ada di luar kota untuk mencari nafkah untuk keluarganya.
Setelah membeli daging sapi, Zora beralih ke daging ayam dan sayuran. Dia memilih daging ayam yang sudah dipotong yang masih terlihat bekas darah yang mulai membeku. Zora mengambil sekitar 6 potong dan memasukkannya ke dalam kantong plastic, lalu meminta pelayan daging yang sama untuk menimbang belanjaannya. Selama menunggu timbangan – cukup mengantre meski hanya untuk menimbang – Zora berjalan mencari daun kangkung dan daun bayam, lalu membelinya sebanyak dua ikat untuk masing-masing sayuran. Dia memasukkannya ke dalam keranjang, kemudian mengambil daging ayam yang suda di timbang.
Zora melihat jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 2 siang. Dia tidak ingin pergi lebih lama lagi dari rumah, maka Zora bergegas membeli satu kantong bawang bombay, bawang merah, dan bawang putih, serta setengah kilogram cabai merah keriting. Segera setelah itu, Zora memilih kasir dengan antrean paling sedikit dengan segera.
Selesai membayar belanjaan di kasir dengan kartu kredit pinjaman ibunya selama ibunya pergi merawat adiknya di rumah sakit, Zora membawa belanjaan yang cukup banyak itu menuju parkiran motor di belakang gedung. Memang cukup melelahkan bagi Zora yang dalam kondisi tubuh kurang baik, tapi Zora mampu membawanya dan menaruhnya dengan rapi di atas pijakan kaki motor matiknya dengan mudah, sementara dia terpaksa menaruh beras yang dibelinya di belakang dirinya dengan mengikatnya menggunakan tali rafia yang selalu siap di dalam kotak di balik jok.
Zora segera memarkirkan motornya keluar dari parkiran, lalu melaju dengan kecepatan sedang menuju tempat pembayaran tiket. Setelah membayat tiket, Zora berbelok ke kiri dan terus mengikuti jalan yang ramai sampai akhirnya dia tiba di rumah, merapikan semua belanjaan sendirian selama sekitar 1 jam, lalu duduk melepas lelah di ayunan yang terdapat di teras belakang rumah bersama kelima hewan peliharaannya yang masih tertidur di hari siang yang panas hari itu.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore. Azan ashar berkumandang keras sampai ke rumahnya. Kalau Zora tidak ingat kewajibannya untuk melaksanakan salat, dia masih berleha-leha di ayunan yang bergerak dan membuatnya mengantuk. Tubuhnya terasa remuk, mungkin seperti telur yang terlindas tubuhnya yang besar. Dia jalan sempoyongan, bahkan dia harus merayap di dinding ketika dia merasa tubuhnya benar-benar remuk.
Zora membuka pintu kamarnya dan terdiam dengan wajah terkejut ketika melihat Dokter Aji dan Suster Sandra sedang mempersiapkan alat-alat kedokteran di atas kasur. Selama Zora terdiam di depan pintu yang terbuka dan tidak bergerak, Dokter Aji dan Suster Sandra bekerja sangat kompak untuk membagi tugas pemeriksaan pada dirinya.
Dokter Aji memutar badannya untuk bergerak hendak keluar kamar untuk memanggil Zora yang dikiranya masih merapikan belanjaan. Dia terdiam sambil mengantongkan kedua tangannya ke dalam saku di kedua sisi jas putihnya. “Oh, kau sudah selesai merapikan belanjaanmu, ya? Sekarang, saatnya untuk istirahat,” katanya sambil bergerak cepat merangkul lengan kiri Zora dan menuntunnya untuk masuk ke dalam kamar, bahkan sampai membantu Zora untuk berbaring di atas kasurnya.
“Dokter tidak sopan. Siapa yang mengijinkan Dokter untuk masuk ke dalam kamar seorang perempuan tanpa seijin pemilik kamar? Saya tidak suka Dokter berbuat lancang seperti ini. Untuk kali ini, saya akan ampuni Dokter. Tapi, kalau lain kali Dokter berbuat hal yang sama, saya tidak akan segan-segan memasukkan virus dari jas dokter Anda ke dalam tubuh Anda, lalu mempercepat pertumbuhan virus itu. Sebagai seorang dokter, Dokter pasti tahu apa akibatnya, bukan?” kata Zora sambil menuruti kemauan Suster Sandra yang meminta lengan kirinya untuk diukur tekanan darahnya, sementara Dokter Aji meminta maaf karena akan memeriksa detak jantung Zora dengan menggunakan stetoskop.
Suster Sandra bergerak cepat mencari nadi pada lipatan tangan Zora, dan mendapatkannya dengan sangat mudah. Dia menaruh stetoskop di atasnya, lalu bersiap untuk memompa. “Menyeramkan. Meski kamu berbicara seperti itu, Dokter Aji tidak akan pernah masuk ke kamar ini lagi. Lagi pula, kamu juga tidak mungkin melakukan hal sekejam itu pada orang yang telah membantumu untuk sembuh dari serangan Necrokinesis yang hampir merusak fungsi jantung dan otakmu,” kata Suster Sandra sambil tetap memeriksa tekanan darah Zora, dan terlihat sangat pandai menggunakan tensimeter itu. Dia sama sekali tidak tergubris ketika dia berbicara, padahal denyut nadi pada lipatan tangan itu sulit ditemukan dan dirasakan.
Dokter Aji mengeluarkan kepala stetoskopnya dari bawah baju Zora. Dia melepas sumbatan kuping dan menggantungnya di lehernya. Dia menulis hasil pemeriksaannya di atas kertas. “Ya, kamu tenang saja, aku tidak akan masuk seenaknya ke kamarmu. Lagi pula, ini adalah pemeriksaan terakhir dariku. Selanjutnya, aku menunggu laporanmu setiap hari. Karena, mulai besok kamu sudah tidak ada di rumah ini lagi,” kata Dokter Aji sambil terus menulis hasil pemeriksaan Zora mengenai tekanan darahnya setelah Suster Sandra memberitahunya.
Zora menatap Dokter Aji yang tidak menatapnya. “Maksudnya? Secepat itukah aku, Novi, dan Bayu harus pergi mencari Phyrokinesis dan Geokinesis? Memang, apa yang telah terjadi sampai kami harus pergi mencari secepat itu? Aku juga belum memberitahu Ketua Arfan untuk bergabung atau tidak,” kata Zora sambil bergerak untuk membangkitkan tubuhnya agar memudahkannya berbicara.
Tiba-tiba, jantungnya berdetak keras, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Otaknya kembali terasa berdenyut-denyut dengan keras, membuatnya merasa sangat mual hingga harus memuntahkan isi perutnya yang mulai hancur dan sudah hampir masuk ke dalam usus halus. Zora terbatuk-batuk memuntahkannya, membuat jantungnya berdebar-debar semakin keras, membuat dadanya terasa sakit. Dalam posisi duduk, tangan kanan Zora menyentuh sisi kiri badannya, sedangkan tangan kanannya dia gunakan untuk memijit kepalanya yang terasa sangat sakit.
“Zora? Bertahanlah! Sandra, kita lakukan bersama-sama. Karena levelmu belum cukup tinggi, kita gunakan selama 2 menit saja. Aku rasa, itu sudah cukup untuk menenangkannya,” kata Dokter Aji sambil menggunlung lengan bajunya dan bersiap untuk memberikan kekuatan Penyembuh pada Zora, sementara Suster Sandra membantu Zora beraring kembali.
Kedua tangan Dotker Aji dan Suster Sandra melayang di atas tubuh Zora. Bersama-sama, mereka mengeluarkan kekuatan mereka dan memperlihatkan asap putih kebiruan. Asap itu menyelubungi tubuh Zora selama sekitar 2 menit. Zora merasa sangat nyaman, dan dia merasa kondisinya membaik perlahan-lahan, tapi dia tetap saja masih merasa sakit dan menahannya sampai wajahnya kembali berwarna merah pucat, bahkan terlihat garis hitam di kelopak bawah matanya. Hal itu membuat Zora lepas kendali dan mengeluarkan asap berwarna pelangi yang begitu benderang. Tidak hanya asap berwarna pelangi, tapi iris matanya pun berwarna cokelat pucat. Dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal itu, bahkan tidak ada seorang pun yang dapat mengatasinya.
Ketegangan semakin terasa di dalam kamar itu, apalagi ketika asap pelangi keluar semakin meninggi dan semakin terlihat pekat, bahkan sedikit menyakitkan mata Dokter Aji dan Suster Sandra yang sedang ternganga ketakutan melihat asap pelangi yang meluap-luap. Dinginnya ruangan itu karena pendingin ruangan tidak lagi terasa dingin. Asap pelangi yang keluar dari tubuh Zora membuatnya tidak lagi dapat berfungsi, membuat Dokter Aji dan Suster Sandra menghasilkan banyak keringat. Bahkan, tubuh Zora basah oleh keringatnya sendiri.
Tanpa sengaja, tangan kanan Suster Sandra menyentuh tangan kiri Zora ketika dia berusaha menjauh dari tubuh Zora yang mengeluarkan asap pelangi yang terasa semakin panas karena terangnya asap itu. Suster Sandra menarik tangan kanannya dan memeganginya dengan sedikit mengaduh kesakitan. Dia merasa permukaan kulitnya bergetar-getar kecil dan perlahan-lahan menumbuhkan sebuah benjolan seperti daging dengan warna gelap. Benjolan itu terasa sakit, dan Suster Sandra menggunakan sisa tenaganya yang sudah terpakai untuk memulihkan Zora. Tapi, tidak ada hasil karena benjolan itu tumbuh karena pengaruh kekuatan Zora yang lepas kendali. Benjolan itu akan hilang jika Zora mampu menenangkan diri.
“Dokter, tubuh Zora dengan sendirinya mengeluarkan kekuatan. Tangan saya tersentuh dan tumbuh daging berwarna gelap. Kita harus hati-hati, ‘Dok,” kata Suster Sandra sambil menutupi daging tumbuh di tangan kanannya itu. Menahan rasa sakit yang tidak sesakit apa yang Zora rasakan, tapi dia sudah mulai mengeluarkan air mata. Rasa di permukaan kulitnya tidak hanya sakit, tapi juga ada rasa panas dan perih yang menyengat sampai ke ubun-ubunnya.
Wajah dingin Dokter Aji berubah. Dia terlihat begitu terkejut, khawatir, bercampur takut dengan situasi menegangkan di kamar itu sekaligus takut akan tersentuh tubuh Zora yang menegang. “Suster, cepat segera menjauh dari Zora. Aku akan menahan kekuatannya dengan kekuatanku. Mungkin saja berhasil memperkecil akibat lepas kendali kekuatannya,” kata Dokter Aji sambil bergerak menaruh kedua tangannya tiga puluh sentimeter di samping tubuh Zora. Dia memejamkan mata ketika Suster Sandra bergerak perlahan-lahan untuk pergi ke sisinya. Dia mengeluarkan asap biru keputihan, lalu asap itu menyatu dengan asap biru keputihan milik Suster Sandra. Dokter Aji memang terkejut dengan apa yang suster yang dia sukai itu lakukan, tapi dia merasa bangga dengan perempuan yang disukainya itu karena mau membantunya menenangkan Zora sang Salvator Omnium Salvatores yang lepas kendali dan sudah melukai kulitnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar