Selasa, 17 Mei 2011

Chapter Twelve

Bibir hitam senjata api yang terlihat penuh rahasia dan menyeramkan itu membuat Zora dan ayahnya tidak dapat bergerak. Setelah ayahnya mendapatkan serangan Necrokinesis dari laki-laki berkumis di hadapannya, ayahnya mengalami trauma seperti Zora. Hanya saja, trauma yang ayahnya alami tidak membuat keadaannya sering mengalami rasa sakit pada bagian yang diserang, tapi hanya membuatnya takut bertemu dengan laki-laki berkumis yang mencurigakan. Tapi, trauma yang dialaminya tidak membuatnya memutuskan untuk mencukur habis kumisnya.
Zora masih berdiri mengeluarkan asap pelangi yang bercampur dengan asap hitam. Namun, perlahan-lahan asap hitam itu mulai menyelubungi tubuh Zora, mengalahkan asap pelangi yang sebenarnya dimiliki Zora. Tubuh Zora juga semakin melemah dan tenaganya benar-benar hampir terkuras habis. Garis melengkung berwarna hitam terlihat semakin jelas di bawah matanya. Tidak hanya garis lengkung hitam itu, tapi juga membuat wajahnya sangat pucat dan tubuhnya mengurus, membuat cekungan kecil pada pipinya.
“Zora, apa yang terjadi padamu, ‘Nak? Kamu pucat sekali, dan tubuhmu terlihat lebih kurus. Sebenarnya apa yang terjadi?” tanya ayahnya dengan penuh rasa khawatir. Ayahnya bergerak mendekati Zora, melingkarkan tangan kirinya pada tangan kanan Zora yang masih melingkar di depan tubuhnya. Tapi, ayahnya segera menarik kembali tangannya ketika dia merasakan kembali rasa sakit pada jantungnya. Dia jatuh di samping Zora dan mengerang kesakitan sambil memegangi dada kirinya.
Zora terkejut melihat keadaan ayahnya. Sambil menahan rasa sakit akibat trauma yang dirasakannya, dia menolehkan kepalanya pada ayahnya. Dia menganga kecil dengan kening berkerut. Dia bergerak cepat untuk duduk bersimpuh di depan ayahnya. Dia mengangkat tangan kirinya ke depan tubuh ayahnya yang memejamkan mata dan terus mengerang kesakitan. Zora berkonsentrasi penuh, dan asap pelangi kembali mendominani asap yang keluar dari tubuhnya, mengalahkan asap hitam yang keluar dari tubuhnya. Zora berkata, “Maafkan Zora, Ayah. Semua hal yang terjadi saat ini sebenarnya tidak ada sangkut pautnya dengan Ayah. Maafkan Zora, karena Zora telah melibatkan Ayah ke dalam dunia Zora. Maaf, Ayah.”
Asap pelangi terus keluar dari tubuh Zora, menghilangkan asap hitam yang hampir mendominani asap yang keluar dari tubuhnya. Zora mengubah kemampuan Pengendali Jantung yang dimilikinya ditambah dengan kekuatan Pembunuh Organisme yang diambilnya untuk membuat keadaan jantung ayahnya membaik. Dia membuat dua kemampuan itu menjadi sebuah kekuatan baru, yaitu Penyembuhan Jantung. Zora sendiri sebenarnya tidak tahu apa yang dilakukannya, tapi dia merasa bahwa Necrokinesis mulai mendukung dirinya untuk membantu ayahnya keluar dari rasa sakit yang menyiksanya.
“Sial,” kata laki-laki berkumis di sisi kiri Zora tetap berwajah tenang sambil mengamcamkan sebuah senjata api pada Zora. “Sekarang Necrokinesisi mulai menurutimu. Siapa kamu sebenarnya? Selama aku hidup dalam Vandal lebih dari 30 tahun, baru kali ini aku melihat Generasi SOS sekuat dirimu. Tidak salah jika Bos Adhi sangat menginginkanmu. Bagaimana jika kamu ikut bersamaku sekarang? Aku telah membiarkanmu mengambil kekuatanku dan menggunakannya untuk menyembuhkan ayahmu. Sebagai gantinya, kamu ikut denganku, atau ayahmu yang akan menjadi korban dalam perselisihan dunia kita, SOS?” kata laki-laki berkumis itu dengan penuh rasa kesal meski dia tetap tersenyum.
Zora masih duduk lemas di atas lantai. Dia masih sadar dan dia tahu apa yang laki-laki itu katakan. Dia hanya diam menahan perlawanan Biokinesis terhadap Necrokinesis dalam tubuhnya. Rasa sakit pada kepala dan dada kirinya terasa semakin menyakitkan, tapi Zora tidak sanggup lagi untuk menahannya, membuatnya mengeluarkan air mata yang mengalir menuruni pipi kurusnya dan menetes ke atas lantai.
Keadaan ayahnya sudah membaik. Namun, ayahnya tidak sadarkan diri karena tidak kuat menahan rasa sakit akibat trauma. Memang ayahnya seorang laki-laki dan sudah seharusnya lebih kuat dari Zora, tapi karena ayahnya merasa syok dengan apa yang terjadi pada anaknya dan laki-laki berkumis itu, rasa stress yang dialaminya membuatnya jatuh pingsan.
Laki-laki berkumis itu menggeram kesal karena tidak ada perlawanan apapun dari Zora. Dia mengarahkan lubang senjata apinya yang berwarna hitam pada ayah Zora. Dia tersenyum sambil berkata, “Sudah cukup dengan sikapmu yang membuang-buang waktuku, Bocah. Ucapkan selamat tinggal untuk ayahmu.” Laki-laki itu bersiap untuk menarik pelatuk di belakang jari telunjuk kanannya. Dia benar-benar menariknya, dan terdengar suara ledakan senjata api hingga keluar rumah.
Zora membuka matanya dengan sangat terkejut. Dia sengaja mengendalikan kekuatannya untuk dirinya sendiri. Dia membuat kekuatannya menggerakkan tubuhnya yang tidak dapat bergerak lagi. Tubuhnya terjatuh di atas tubuh ayahnya yang tidak sadarkan diri. Luka pada daerah tulang belikatnya segera membuatnya tidak sadarkan diri, tapi membuat ayahnya segera sadarkan diri. Ayahnya terkejut melihat dirinya terbaring di atas lantai dengan tubuh Zora di atasnya dalam keadaan mata terpejam. Ayahnya bergerak untuk mengangkat tubuh Zora yang seberat dirinya, lalu dia membaringkan Zora di atas kedua tangannya sambil menatap Zora penuh rasa sedih dan rasa bersalah.
“Sial betul nasibku. Kalau Bos Adhi tahu apa yang aku lakukan pada SOS, tamat sudah riwayatku,” kata laki-laki itu bergumam sendiri. Dia mengarahkan senjata apinya kembali pada Ayah Zora, tapi Ayah Zora mengabaikan hal itu, karena yang ada dipikirannya hanya ada Zora yang tidak sadarkan diri di depan matanya. “Hei, Pak Tua, sebaiknya Anda serahkan SOS padaku. Aku tidak ingin banyak membunuh untuk hari ini. Aku sudah bosan melihat darah. Cepat serahkan SOS,” katanya dengan penuh ketenangan dengan wajahnya yang dingin, tapi dia menyinggung sebuah senyum licik.
Ayah Zora tidak berkata apa-apa. Dia hanya tetap menunduk menangisi keadaan Zora di atas pangkuannya. Darah mulai menetes ke atas lantai, dan sudah membasahi lengan pakaiannya serta membasahi jilbab putih yang Zora kenakan. “Kamu tidak berhak memaksaku untuk menyerahkan putriku pada orang tidak jelas sepertimu. Meski aku tidak mengerti apa yang sebenarnya terjadi, tapi aku tetap tidak akan menyerahkan anakku pada orang sepertimu,” kata ayah Zora  dengan penuh rasa kesal. Dia mengangkat kepalanya dan menatap mata dingin laki-laki berkumis itu dengan penuh rasa kesal.
“Pantas saja SOS Generasi Ke-13 penuh rasa percaya diri dan tekad yang kuat. Ternyata dia mendapatkannya darimu, Pak Tua,” kata laki-laki berkumis itu sambil bersiap untuk menarik kembali pelatuk di belakang telunjuknya.
“Lakukan sesukamu padaku. Tapi, jangan harap kamu bisa mengambil putriku dengan sesukamu,” katanya sambil tersenyum, membuat bekas air mata yang mengering di pipinya terlihat jelas.
Laki-laki berkumis itu menarik pelatuknnya sekali lagi. Ledakan sebuah senjata api kembali terdengar, membuat ayah Zora memejamkan mata karena tidak ingin melihat dirinya sendiri terluka. Namun, dia tidak merasakan apa-apa pada dirinya. Dia membuka matanya perlahan-lahan, dan menyadari bahwa laki-laki berkumis yang berdiri di hadapannya itu berdiri dengan tubuh gemetaran dan tangan kanannya mengarahkan lubang senjata apinya ke pelipis kanannya, dan sudah membuat luka sayat yang cukup dalam pada keningnya. Dia menjatuhkan senjata apinya ke atas lantai, dan dia memegangi keningnya yang mengalami luka sobek sepanjang 10 senti dan darah yang keluar sangatlah banyak.
Ayah Zora menganga heran. Dia menatap laki-laki berkumis yang sedang duduk bersimpuh dan menunduk memegangi keningnya yang mengeluarkan banyak darah. “Apa yang sebenarnya terjadi?” kata Ayah Zora dengan heran dan sedikit terbata-bata.
Beratnya tubuh Zora di atas kedua tangannya terasa semakin ringan. Dia menunduk dan melupakan laki-laki berkumis itu. Dia semakin menganga heran ketika asap pelangi keluar dari tubuh anaknya. Meski mata anaknya terpejam, tapi tubuhnya bergerak dengan sendirinya untuk bangkit dan berdiri. Luka pada punggung bagian belikat kanannya perlahan-lahan menutup setelah peluru yang tertanam di dalamnya keluar dengan sendirinya dan jatuh di atas lantai dengan penuh darah. Luka itu tidak hanya menutup, tapi darah basah yang masih mengalir keluar dari lukanya kembali masuk ke dalam luka itu dan membuatnya tertutup, menyisakan lubang pada jilbab dan pakaiannya, serta menyisakan bekas darah yang mulai mengering pada sekitar lubang lukanya.
Mata Zora terbuka perlahan-lahan. Pipi kurus serta garis lengkung pada kelopak bawah matanya menghilang, dan wajah Zora kembali terlihat cerah dan segar, seakan-akan Zora dalam keadaan baik-baik saja. Asap pelangi yang masih keluar dari tubuh Zora bersamaan dengan asap hitam dari Necrokinesis yang diambilnya, membuat ayahnya semakin merasa heran dan syok dengan yang ada di hadapannya. Zora melangkah mendekati laki-laki berkumis yang sedang memegangi keningnya yang terluka. Zora mengarahkan telapak tangan kanannya pada laki-laki yang terlihat seperti bersujud padanya. “Sungguh perbuatan yang ceroboh. Seharusnya kamu berpikir apa yang akan terjadi denganku sebagai SOS yang baru saja terbangun. Seharusnya kamu tahu, bahwa kekuatan yang baru saja terbangun dapat lepas kendali. Tidak aku sangka, orang tua pembunuh di hadapnku ini tidak memiliki otak yang cukup professional dalam hal membunuh lawannya. Karena aku kasihan melihatmu, akan aku berikan otak yang lebih baik,” kata Zora dengan suara yang terdengar begitu menakutkan, tapi dia tetaplah Zora. Bahkan, ekspresi wajahnya yang selalu terlihat polos dan tenang itu menghilang dari wajahnya, dan dia seperti bukan Zora yang biasanya.
Asap hitam menyelubungi tubuh bagian kanannya, sementara asap pelangi menyelubungi tubuh bagian kirinya. Asap itu terlihat mulai berjalan dan menyelubungi tubuh laki-laki berkumis yang masih memegangi keningnya sambil mengerang-erang kesakitan. Dan perlahan-lahan, asap hitam itu menghilang dari tubuh Zora, tapi asap pelangi itu juga menghilang dari tubuhnya, dan membuat wajahnya kembali terlihat pucat.
Sirine ambulans dan polisi mulai terdengar jelas. Cahaya merah dan biru terlihat dari jendela di kedua sisi rumah, serta dari celah pintu bagian bawah. Derap langkah orang-orang bersepatu berat, serta roda kasur darurat terdengar mendekati rumah, bahkan ada yang mendekati pintu. Setelah itu, terasa sunyi di depan rumah, menyisakan lampu merah dan biru yang masih nyala berkedip-kedip. Namun, ketukan pintu depan rumah yang terbuat dari kayu menghilangkan kesunyian itu.
“Assalamu ‘alaikum,” kata sebuah suara laki-laki yang parau dan terdengar bergetar. Pintu rumah yang terbuat dari kayu itu terdorong ke dalam dan berhenti ketika menyentuh tubuh laki-laki berkumis yang masih mengerang-erang kesakitan sambil memegangi keningnya yang masih mengeluarkan darah. Sosok laki-laki tua yang Zora lihat kemarin membuat perasaannya lebih tenang, dan berhasil mengembalikan ekspresi wajahnya yang polos dan tenang itu, bahkan Zora berhasil kembali tersenyum. “Wah, sepertinya telah terjadi hal yang menegangkan di rumah ini. Tapi, sepertinya aku telat datang untuk menyaksikan aksimu, Zora,” kata laki-laki tua yang tidak lain adalah Ketua Arfan Amiruddin Julien, Pemimpin Salvator di Indonesia.
“Ketua, kau telah membuat keributan untuk tetanggaku. Aku tidak tahu lagi bagaimana jadinya jika orang-orang di sekitar rumahku tahu apa yang terjadi di dalam rumah ini. Dan lagi, ayahku mulai mencurigaiku,” kata Zora sambil tersenyum. Tangan kanan yang melingkar di depan tubuhnya ke sisi kiri tubuhnya kini terlepas dan terkulai lemas di sisi tubuh. Tubuh Zora bergerak ke depan dengan mata yang terpejam, tapi bibirnya tetap menyinggung sebuah senyum lega.
“Zora!” seru ayah Zora dengan tubuh yang bergerak sangat lincah dan cepat. Dia berhasil menahan tubuh Zora yang hampir menyentuh dan mengantuk lantai dingin yang keras. Dia mengangkat tubuh Zora yang terkulai lemas, dan menambahkan beban berat di kedua tangannya. Namun, dia tidak memperdulikan hal itu. Yang ada dipikirannya hanyalah bagaimana caranya agar anaknya dalam kondisi baik-baik saja.
“Sepertinya Zora sudah berjuang keras untuk melindungi Anda, Tuan Zufar. Keadaan Zora memang baik-baik saja untuk saat ini. Tapi, ada sesuatu yang sudah sepantasnya Anda ketahui sebagai seorang ayah, apalagi Anda telah melihat apa yang terjadi pada Zora,” kata laki-laki tua bersuara parau itu sambil memberi isyarat pada orang-orang dibelakangnya untuk datang membawakan kasur darurat. “Saya akan membawa Zora ke rumah sakit khusus di daerah Kota Tua. Anda bisa ikut dengan saya mengantarkan Zora dan menemaninya. Ada hal yang harus saya sampaikan pada Anda,” tambahnya sambil menatap Ayah Zora dengan tenang dan sebuah senyum yang menenangkan.
Ayah Zora bergerak berdiri, lalu dia berjalan berdampingan dengan Ketua Arfan menuju mobil ambulans yang terlihat seperti mobil ambulans pada umumnya. Ketua Arfan dan ayah Zora masuk ke dalam ambulans dan menemani Zora di dalam ambulans selama perjalanan menuju rumah sakit khusus yang dikatakan Ketua Arfan. Sebelum pintu ambulans tertutup, Ayah Zora melihat kerumunan polisi berseragam dan mengenakan sebuah aksesoris-aksesoris yang mencurigakan pada beberapa bagian tubuh mereka. Polisi-polisi itu bergerak cepat membawa laki-laki berkumis yang terluka ke dalam mobil polisi yang juga terlihat biasa-biasa saja.
Kerumunan tetangga yang melihat apa yang terjadi mulai menyingkir dari rumah. Wajah khawatir dan sedih mereka begitu terlihat ketika mereka melihat Zora terbaring dengan masker oksigen di depan wajahnya di atas kasur darurat yang didorong dan ditarik oleh dua perawat laki-laki dan dimasukkan ke dalam mobil ambulans. Mereka merasa sangat sedih dengan apa yang terjadi pada Zora yang terkenal ramah pada tetangga. Tidak hanya Zora yang dia khawatirkan, tapi juga orang-orang penghuni rumah besar itu. Keluarga Zora terkenal ramah dan dermawan, tapi mereka tidak menyangka bahwa hal buruk akan menimpa keluarga itu.
Mobil ambulans melaju perlahan-lahan, dan semakin cepat untuk menjauhi rumah Zora yang menjadi sebuah Tempat Kejadian Perkara . Jendela pada pintu ambulans di sisi kiri ayah Zora terlihat bercayaha putih untuk sesaat, membuatnya merasa terkejut dan heran apa yang terjadi di depan rumahnya. Dia menatap laki-laki yang lebih tua darinya yang duduk di hadapannya. Laki-laki itu hanya tersenyum padanya, dan senyum itu kembali membuat perasaan ayah Zora kembali tenang dan hanya mengkhawatirkan Zora yang terbaring dengan wajah pucat di atas kasur darurat.
Seorang perawat laki-laki yang duduk di sisi kanan ayah Zora mengangkat kedua tangannya dan menaruhnya di atas tubuh Zora. Dia memejamkan mata, lalu asap putih kebiruan keluar dari kedua telapak tangannya. Asap putih kebiruan itu bergerak jatuh ke atas tubuh Zora, membuat tubuh Zora terselubungi asap putih kebiruan itu. Perlahan-lahan, asap putih kebiruan itu memudar dan bercampur menjadi satu dengan asap pelangi yang keluar dari tubuh Zora. Laki-laki perawat itu sempat berhenti melakukan Pemulihan pada Zora dengan kekuatan Penyembuh miliknya. Dia menatap Ketua Arfan dan tidak berkata apa-apa karena Ketua Arfan sudah tahu apa yang akan ditanyakannya.
“Ya, dialah anak yang akan menyelamatkan dunia ini. Aisyah Zora, anak dari Muhammad Zufar dan Widyati Puspita Purwasari. Memang dia masih sangat muda dan baru berusia 16 tahun, serta belum bisa dikatakan sebagai seorang penyelamat dunia, juga untuk keempat teman-teman seperjuangannya nanti. Tapi, anak berumur 16 tahun ini sudah berhasil menerima apa yang ada di dalam dirinya. Dialah Salvator Omnium Salvatores, Penyelamat Bagi Juru Selamat,” kata Ketua Arfan dengan suara paraunya. Dia tersenyum penuh rasa bangga dan rasa senang. Tongkat berkepala seperti otak manusia dijadkannya tumpuan kedua tangannya yang sudah mulai keriput dan terlihat tidak berdaya.
Ayah Zora hanya menganga, tidak menyangka apa yang didengarnya dari laki-laki tua yang tidak dikenalnya, tapi dia merasa percaya pada kata-katanya. Dia tidak bisa berkata apa-apa, dia hanya bisa menatap wajah senang dan tenang dari Ketua Arfan. Selama perjalanan menuju Kota Tua yang hanya menempuh perjalanan selama 45 menit, ayah Zora sama sekali tidak bisa angkat bicara. Dia hanya bisa diam menatap anaknya yang terbaring lemah tak berdaya dengan penuh rasa heran dan penuh pertanyaan di kepalanya. Membuat rasa lelahnya meningkat hingga dia tertidur ditengah perjalanan.

Chapter Eleven

Pintu rumah bagian depan yang terbuat dari kayu yang hanya dilapisi cat dasar kayu itu dipenuhi bunyi ketuk berkali-kali, membangunkan Zora dari tidur sekaligus mengingatkannya bahwa ayahnya akan pulang pada malam itu. Tidak hanya pintunya yang diketuk membangunkan Zora, tapi juga telepon genggamnya yang terus berbunyi dan bergetar-getar di samping kepalanya. Mobil milik ayahnya yang belakangan ini tidak menyala kini menyala di  dalam garasi yang ada di depan kamarnya. Suara mesin mobil ayahnya itu juga membuatnya cepat tersadar dari tidurnya dengan perasaan sedikit terkejut dan membuatnya agak merasa mual.
Zora bangkit dari kasurnya sambil merapikan jilbab yang sengaja digunakannya untuk membuat hangat telinganya, kemudian berjalan cepat untuk segera keluar kamar dan membukakan pintu untuk ayahnya yang terus mengetuk-ngetuk pintu. Semakin lama Zora berjalan untuk membukakan pintu, para tetangga di samping rumahnya mulai terganggu dengan suara ketukan pintu yang sangat keras yang dilakukan oleh ayahnya. Zora tidak perlu mengintip melalui jendela panjang di sisi kiri – jika berdiri menghadap pintu dari bagian dalam rumah – untuk melihat siapa yang mengetukkan pintu dengan keras dan mengganggu tetangga, karena Zora yakin bahwa itu adalah ayahnya yang dikabarkan akan pulang tengah malam oleh ibunya.
Zora memutar kunci dan menarik selot di atas dan di bawah gagang pintu. Zora menarik pintu itu sambil berkata, “Selamat datang, Ay…” Zora tidak melanjutkan kalimatnya ketika yang dilihatnya bukanlah ayahnya seorang diri. Ayahnya Zora berdiri dengan leher tertahan oleh sebuah tangan yang melingkar dan hampir mencekik ayahnya, serta pelipis kanannya tertodong bibir hitam senjata api yang sudah siap untuk ditarik pelatuk kecilnya.
“Zora, cepat pergi dan selamatkan dirimu,” kata ayahnya dengan sedikit berbisik. Keringat yang keluar dari tubuhnya berukuran sebesar biji jagung. Pucatnya wajah ayahnya membuat Zora sadar bahwa ayahnya sudah benar-benar tidak dapat melakukan apa-apa meskipun dia seorang guru Silat yang sering diadakan latihannya di padepokan miliknya yang sengaja dibangun di depan rumah.
“Ayahmu sudah pulang, SOS,” kata laki-laki yang melakukan ancaman pada ayahnya. “Tapi, tidak akan aku biarkan kamu bersenang-senang lebih lama bersama ayahmu. Aku akan segera membawamu untuk bertemu dengan seseorang yang nantinya akan menjadi tempat mengabdimu. Aku datang membalas dendam, sekaligus mengajakmu bergabung bersamaku di dalam Vandal, Salvator Omnium Salvatores,” kata laki-laki itu, melanjutkan kalimat sebelumnya. Dia menyengir dengan penuh rasa percaya diri yang tinggi bahwa Zora akan berhasil dibujuknya.
Laki-laki berkumis yang melakukan pengancaman pada ayahnya adalah laki-laki berkumis yang mengancam nyawanya dan Bayu ketika Zora dan Bayu bertemu untuk pertama kalinya. Laki-laki pemilik Necrokinesisi itu datang untuk membalaskan dendam atas apa yang telah Zora perbuat padanya. Perbuatan Zora itu membuat laki-laki berkumis itu sadar apa yang ada di dalam tubuhnya. Laki-laki berkumis itu sudah mengatakan pertemuannya dengan SOS di Taman Mini Indonesia Indah pada hari Minggu, dua hari yang lalu – jam sudah lewat dari jam 12 malam – pada pemimpin Vandal atau Penghancur. Kini, dia datang tidak hanya untuk membalaskan dendam, tapi juga untuk mengajak Zora dengan memaksanya bergabung bersama Vandal.
Zora benar-benar tidak menyangka apa yang dilihatnya itu. Berita pada hari Minggu siang yang didengarnya di rumah sakit membuatnya merasa lega dan tenang karena laki-laki berkumis yang memaksa Bayu untuk ikut dengannya berhasil ditangkap kepolisian khusus. Tapi, apa yang ada di hadapannya atau lebih tepatnya di belakang ayahnya adalah laki-laki berkumis itu. Zora tidak tahu bagaimana caranya laki-laki berkumis itu bisa pergi, sementara Zora yakin bahwa penjara khusus itu pasti menggunakan teknologi canggih untuk menahan penggunaan kekuatan oleh Manusia Super-Manusia Super jahat yang menjadi penghuni penjara khusus itu.
Zora melangkah mundur dengan sedikit merasa takut. Dia mengalami sedikit trauma pada pengguna Necrokinesis setelah apa yang dialaminya sejak dirinya diserang oleh laki-laki berkumis pengguna Necrokinesis itu. Zora berhenti melangkah ketika meja tamu di belakangnya sudah tersentuh oleh kaki bagian belakangnya. Zora terduduk lemas di atas meja itu – di atas tumpukan berkas-berkas ayahnya – menatap ayahnya yang terlihat ketakutan oleh laki-laki berkumis yang memegang senjata. Tapi, ekspresi takut yang ditunjukkan ayahnya bukanlah ekspresi takut pada senjata api, melainkan takut tersiksa. Zora menduga bahwa ayahnya telah mendapatkan siksaan dari laki-laki berkumis itu ketika berusaha mengatakan bahwa rumah itu bukanlah rumah Zora sang SOS yang dicarinya.
“Zora, cepat panggil bantuan. Walaupun Ayah tidak mengerti apa yang kalian bicarakan, tapi Ayah tidak mau tersiksa seperti sebelumnya. Ayah butuh bantuan yang lebih besar. Cepat panggil bantuan, ‘Nak,” kata ayahnya sekali lagi, berusaha membuat Zora untuk pergi menyelamatkan diri sekaligus mencari bantuan untuk menyelamatkan dirinya dan Zora.
Tubuh Zora gemetaran, wajahnya memerah perlahan-lahan, dan merahnya wajahnya membuat dia tidak dapat lagi menahan rasa sakit yang belakangan ini dialaminya sejak jantung dan otaknya diserang dengan Necrokinesis berlevel cukup tinggi yang dilakukan laki-laki berkumis itu dua hari lalu. Zora tersungkur lemas di atas lantai sambil membungkuk menahan rasa sakit pada dada kirinya dan kepalanya. Meski Zora tahu laki-laki itu tidak melakukan apa-apa terhadap dirinya, tapi rasa takut akan pengguna Necrokinesis memacu rasa sakit pada dua organ tubuhnya yang diserang oleh laki-laki berkumis itu.
“Wah, wah,” kata laki-laki itu terkagum-kagum sambil melangkah masuk ke dalam rumah bersama sanderanya, membuat dirinya berada lebih dekat dengan Zora, serta membuat pintu rumah tertutup. “Sepertinya aku berhasil membuatmu trauma dengan Necrokinesis. Aku tidak menyangka aku berhasil membuat SOS trauma dan menderita seperti saat ini. Tapi, mungkin juga kamu trauma karena kamu masih kecil. Kenapa Tuhan menganugerahkan kekuatan besar dalam tubuh bocah sepertimu? Kenapa tidak padaku saja? Tuhan terlalu pilih kasih, ya,” kata laki-laki itu menurunkan senjata apinya ke sisi tubuhnya, membuat ayah Zora berhasil lepas darinya dan segera membantu Zora untuk menahan rasa sakit yang Zora alami dengan memberinya semangat.
Ayah Zora duduk bersimpuh di depan Zora yang bersimpuh membungkuk dengan lemas. Ayahnya memegangi tangan kiri Zora yang sengaja tidak digunakannya untuk memijat kepalanya yang terasa sangat sakit. Zora terus mengerang-erang kecil, melampiaskan rasa sakitnya yang sudah tidak lagi dapat ditahannya, sementara Ayahnya berkata, “Zora, bertahanlah. Kalau kita sudah selamat dari orang ini, Ayah akan segera membawamu ke rumah sakit. Ayah tidak tahu kamu kenapa, tapi sepertinya kamu merasakan sakit yang sama seperti yang Ayah rasakan ketika berusaha mengelabui laki-laki itu,” katanya dengan berbisik, membuat laki-laki berkumis yang berdiri di belakangnya bingung dengan percakapa ayah dengan anaknya itu.
Sambil menahan rasa sakit sampai membuat wajahnya memerah dan membuat tubuhnya basah oleh keringat, Zora mengangkat kepalanya yang terasa sangat sakit dan berat. Dia menatap ayahnya yang menatapnya dengan khawatir dengan sebelah mata. Zora menggeleng lemas. “Tidak, Ayah. Rasa sakit ini tidak bisa disembuhkan atau diredakan oleh pengobatan biasa. Hanya orang khusus yang dapat melakukannya,” kata Zora dengan suara pelan, diiringi napas tersengal-sengal yang membuat setiap kata yang diucapkannya mengandung banyak huruf ‘h’.
Rasa sakit yang Zora alami terasa semakin parah. Erangan yang keluar dari mulut Zora terdengar semakin jelas, dan itu membuat laki-laki berkumis itu mulai kesal dengan pembicaraan ayah-anak itu yang tidak dapat didengarnya. “Sudah cukup pembicaraan kalian. Sekarang, ikut denganku dan aku akan membiarkan ayahmu selamat. Jika kamu menurut, tidak hanya ayahmu yang selamat, baik selamat nyawanya dan sakit yang dia terima dariku, tapi kamu juga akan aku selamatkan dari rasa sakit yang kamu rasakan akibat trauma pada kekuatan sepertiku. Bagaimana?” tanya laki-laki berkumis itu dengan senyum licik.
Zora mengangkat kepalanya dengan sangat berat. Dia menatap ke atas, menatap laki-laki berkumis yang tersenyum licik di belakang ayahnya yang masih menatapnya dengan khawatir. Dengan menatap sebelah mata, Zora menyengir memperlihatkan barisan gigi-giginya, “Ayahku akan selamat tanpa aku harus ikut denganmu. Sebaliknya, aku akan membiarkanmu bebas, jika kamu mau pergi dari hidupku. Tapi, jika kamu memaksa, aku tidak akan segan-segan berbuat jahat padamu. Laki-laki yang tidak tahu diri sepertimu, pantas mendapatkan hukuman,” kata Zora dengan penuh percaya diri.
Suasana tegang yang terasa di rumah itu terasa semakin tegang ketika asap berwarna pelangi keluar dari tubuh Zora. Laki-laki berkumis dengan kekuatan Necrokinesis itu mengeluarkan asap berwarna hitam, membuat warna hitam itu menambahkan warna pelangi yang indah yang keluar dari tubuh Zora dan membuat pelangi itu menjadi tidaklah indah.
Tangan kiri Zora perlahan-lahan terlepas dari tangan ayahnya. Zora menguatkan dirinya dan membangkitkan semangatnya agar dirinya dan ayahnya selamat dari laki-laki itu. Zora berdiri dengan lutut yang masih gemetar dan mata kiri yang masih tertutup, bahkan tangan kanannya masih melingkar di depan tubuhnya ke sisi kirinya. “Asap hitam. Warna itu pantas keluar dari tubuhmu yang penuh dosa itu,” kata Zora berusaha mengulur-ulur waktu untuk mengembalikan tenaganya yang sedikit terkuras karena harus menahan rasa sakit.
Zora menyengir dan terus mengajak laki-laki itu berbicara dengan hal-hal yang sebenarnya tidak perlu diucapkannya dalam sebuah pertarungan dua orang. Zora tidak tahu apa yang harus dilakukannya, tapi dia berusaha untuk memikirkan cara sekaligus berkonsentrasi agar dia bisa mengendalikan kekuatannya yang sempat lepas kendali kemarin sore. Zora berkonsentrasi agar laki-laki berkumis itu tidak dapat menggunakan kekuatannya, yaitu dengan cara mengambil kekuatannya. Dia teringat bahwa Dokter Aji pernah mengatakan padanya bahwa dengan kekuatannya, dia dapat mengambil sebuah kekuatan, dan dia mencoba melakukan hal yang sepertinya terlalu sulit untuk Zora lakukan sebagai pemula.
Asap berwarna pelangi yang keluar dari tubuh Zora terlihat semakin pekat. Sementara itu, asap hitam yang menyelubungi tubuh laki-laki berkumis itu semakin memudar dan akhirnya menghilang terhisap asap pelangi milik Zora. Namun, laki-laki itu tidak sadar apa yang telah Zora lakukan. Zora merasa dirinya lebih berat dengan Necrokinesis milik laki-laki itu yang berhasil diambilnya, tapi Zora tidak tahu bagaimana cara menggunakan kekuatan itu, bahkan Zora tidak tahu apa yang harus diperbuatnya setelah itu.
Asap berwarna pelangi yang keluar dari tubuh Zora kini bercampur dengan asap hitam, tapi tetap asap berwarna pelangi yang lebih dominan. Laki-laki itu terkejut melihat apa yang terjadi. Dia menatap seluruh tubuhnya dari atas sampai bawah untuk menemukan asap hitam yang seharusnya menyelubungi tubuhnya. Hingga akhirnya dia sadar bahwa Zora telah berhasil mengambil kekuatannya dengan cepat dan tanpa disadari.
“Sial,” kata laki-laki itu sambil tetap tersenyum di depan Zora, berusaha membuat Zora menganggapnya tenang mengetahui kekuatannya telah direbut oleh seorang SOS berumur 16 tahun. “Tidak aku sangka kamu berkembang cukup pesat. Padahal, kekuatanmu baru saja terbangun dua hari yang lalu. Memang, seorang SOS tidak dapat diremehkan. Tapi,” kata laki-laki itu, berhenti tiba-tiba sambil mengangkat senjata api di tangan kanannya dan menodongnya di depan wajah Zora. “Tapi, kamu tidak akan bisa menghindari ini. Apa kamu tidak tahu, bahwa yang kamu lakukan membuat tenagamu terkuras banyak dan membuatmu tidak dapat menggunakan kekuatanmu yang sebenarnya? Kekuatanku yang telah kamu ambil mungkin saja akan memperalatmu dan membahayakan dirimu sendiri. Bagaimana? Apa yang akan kamu lakukan sekarang? Bagaimana kalau kamu menyerah?” lanjut laki-laki berkumis itu dengan senyum penuh kemenanangan.
Asap berwarna pelangi yang pekat perlahan-lahan memudar dan keadaannya menjadi seimbang dengan asap hitam. Zora menyadari bahwa perlahan-lahan Necrokinesis yang sebenarnya tidak cocok untuk tubuhnya karena beban Necrokinesis hampir menyamai beban Biokinesis dalam tubuhnya, membuat tubuhnya lebih terbebani. Zora juga sadar bahwa dia tidak dapat lagi bergerak untuk menghindar ketika nantinya laki-laki berkumis itu menarik pelatuknya.
Sementara perseteruan antara Zora dan laki-laki berkumis itu menegang, Ayah Zora hanya berdiri dengan penuh rasa khawatir serta rasa takut akan merasakan sakit yang sebelumnya dia rasakan. Dia tidak tahu harus berbuat apa, dan yang ada di dalam pikirannya hanyalah bagaimana cara menolong Zora dari senjata api laki-laki berkumis itu. Meski dia tidak mengerti apa yang Zora dan laki-laki berkumis itu bicarakan, tapi dia merasa bangga dengan keberanian yang muncul pada diri Zora yang merupakan sifat bawaan yang Zora terima darinya. Dia merasa sangat bangga karena kini sifat keberaniaannya ada yang meneruskannya, dan itulah Zora.
Ayah Zora bergerak perlahan-lahan untuk bersiap-siap berdiri ketika laki-laki yang telah menyakitinya dan anaknya itu menarik pelatuk senjata apinya. Memang tindakan yang dipikirkannya sangat berbahaya, tapi dia tidak bisa membiarkan Zora yang seorang perempuan berumur 16 yang masih memiliki hidup yang panjang harus berakhir dengan tertembak dan mati mengenaskan di depan matanya. Dia ingin segera membuat laki-laki berkumis itu terjatuh dan melepaskan senjata api di tangannya, tapi kedua kakinya yang masih lemas ketakutan itu tidak dapat bergerak dengan mudah.
"Zora, tubuhmu mengeluarkan asap. Apa yang sebenarnya terjadi? Sejak kapan kamu bisa mengeluarkan asap seperti itu, ‘Nak?” tanya ayahnya dengan suara gemetar dan terbata-bata. Dia bergerak perlahan-lahan untuk bangun, tapi dia tidak berani mendekati Zora.
Zora melirik pada ayahnya dengan mata kanannya saja. Iris matanya yang kini memiliki dua warna, merah dan hitam, membuat ayahnya takut. Dia tahu kenapa ayahnya tidak mendekatinya, dan dia sadar bahwa dirinya sudah membuat ayahnya takut sampai berwajah aneh seperti yang dilihatnnya pada ayahnya.
Zora menatap kembali laki-laki berkumis di hadapannya tanpa memberikan sebuah jawaban pada ayahnya yang masih berdiri ketakutan terhadap dirinya. Memang menyakitkan menjadi seseorang yang ditakuti, tapi Zora merasa membuat ayahnya takut adalah jalan terbaik untuk memudahkannya pergi mencari Soil Elementa dan Ignis Elementa. Tapi, dia tidak yakin bahwa setelah kejadian ini apakah ayahnya akan tetap takut terhadapnya, atau bahkan lebih menyayanginya. Dia berharap ayahnya tetap menyayanginya, meski dia bukanlah Zora yang sebelumnya dikenal.

Sabtu, 07 Mei 2011

Preface

Its been ten chapter now...
I give you a translator if you dont understand Indonesian Language...
If you had been read my original story, please follow me and give me comments...
I need your comments for the best of this original story...
Thank you for your attention...

zozu ^_^

Chapter Ten

Cerahnya asap berwarna pelangi yang keluar dari tubuh Zora mengalahkan asap putih kebiruan yang merupakan bentuk kekuatan Dokter Aji dan Suster Sandra, membuat kamar pribadi Zora penuh dengan asap pelangi yang cerah. Asap itu semakin lama semakin pekat warnanya, seiring dengan lepasnya kendali akan kekuatan besar pada tubuh Zora yang baru saja terbangun pagi sehari sebelumnya. Tubuhnya yang awalnya kaku, kini kejang-kejang dan setiap bagian gerak tubuhnya kaku dan terlihat seperti robot mainan. Kedua mata Zora yang terbelalak karena lepasnya kendali atas kekuatannya, memperlihatkan warna pucat yang kini berubah menjadi warna pelangi pada iris matanya, dan pelangi itu tidak lagi berubah selama Zora masih dalam keadaan lepas kendali. Hanya ada suara erangan yang keluar dari mulut Zora yang tertutup menahan gejolak yang terjadi di dalam tubuhnya akibat lepas kendali.
Suster Sandra segera memanggil Ketua Arfan dengan telepon genggam milik Dokter Aji setelah dia merasa sedikit lelah karena membantu Dokter Aji menggunakan kekuatannya, sementara Dokter Aji sendiri berusaha untuk mempersiapkan suntikan penenang ketika tenaganya mulai terkuras banyak. Dia harus bergerak cepat sebelum kekuatan Zora benar-benar lepas kendali dan bisa melukai dirinya, Suster Sandra yang sudah terluka, bahkan diri Zora sendiri. Selain itu, jika kekuatan Zora tidak segera dihentikan, maka seluruh negera maju yang sudah membuat sebuah komputer pendeteksi kekuatan besar akan segera mengetahuinya. Komputer itu akan menyala dengan sendirinya, lalu memberitahukan orang-orang mengenai keberadaan Salvator Omnium Salvatores. Jika itu terjadi, Perang Dunia II mungkin saja terjadi.
Dokter Aji bersiap untuk menusukkan ujung jarum suntik pada lengan Zora. Dia menusuknya dengan cepat untuk menghindari rasa sakit. Dengan sangat terkejut, Suster Sandra yang sedang menelepon sampai mengabaikan Ketua Arfan berbiara, jarum suntik yang seharusnya mudah menembus kulit kini patah. Suasana menghening dan menegang di kamar itu. Dokter Aji membelalakkan mata dengan sangat terkejut, dan cairan penenang dalam suntikan itu terbuang sia-sia karena tidak hanya jarumnya yang mengalami kerusakan, tapi tabung plastic di bagian atas jarumnya retak dan cairan menetes membasahi lantai kamar.
“Ketua Arfan, kekuatan Zora mulai menguasai tubuh Zora. Jika hal ini terus terjadi, seluruh negeri akan tahu bahawa SOS telah bangkit. Apa yang harus kita lakukan? Sekarang tubuhnya tidak dapat ditembus oleh jarum suntik,” kata Suster Sandra dengan gugup karena terkejut pada Ketua Arfan melalui sambungan telekomunikasi telepon genggam.
“Sandra, kamu harus tenang,” kata Ketua Arfan dari tempatnya berada melalui telepon di ruang kerjanya di Gedung Pertemua Batavia. “Hal ini tidak akan berlangsung lama. Kondisi tubuh Zora yang tidak baik saat ini bisa menghambat keluarnya kekuatan Biokinesis secara besar-besaran. Tidak lama lagi, kekuatan itu akan melemah kembali, dan Zora akan kembali menjadi dirinya sendiri. Namun, yang harus kalian perhatikan adalah kondisi setelah kekuatannya lepas kendali. Jika keadaannya memburuk, maka dia tidak akan bertahan lama untuk menjadi SOS. Sebaliknya, jika keadaannya tidak begitu buruk, maka dia akan mampu bertahan melewati semua rasa sakit akibat Necrokinesis dan sakit akibat lepas kendali pada tubuhnya. Kalian harus siap untuk memberikan Penyembuhan padanya. Dia adalah orang penting untuk dunia ini. Mengerti?” kata Ketua Arfan dengan suara bergetar, namun terdengar sangat tenang mengatakannya.
Suster Sandra memutuskan komunikasinya dengan Ketua Arfan melalui telepon genggam setelah mengucapkan terima kasih atas bantuan dan informasi yang diberikan padanya mengenai keadaan Zora. Suster Sandra segera memberitahukan Dokter Aji mengenai apa yang harus dilakukan olehnya dan Dokter Aji. Namun, raut wajah lelah Dokter Aji membuat dirinya merasa sedikit putus asa untuk menangani keadaan Zora saat itu.
Asap berwarna pelangi yang menyelubungi tubuh Zora mulai memudar perlahan-lahan. Iris pada kedua matanya mulai berubah warna, dan kini warnanya menetap menjadi merah dikedua matanya. Perlahan-lahan, mata Zora yang terbelalak mulai menutup perlahan-lahan. Napasnya terdengar membaik, dan detak jantungnya berdetak semakin membaik menuju normal. Rona merah di wajahnya mulai berubah menjadi merah muda. Dan dia dalam keadaan baik-baik saja, membuat Dokter Aji dan Suster Sandra menghela napas dengan sangat lega.
Selang setengah menit, jemari pada tangan dan kaki Zora bergerak-gerak kecil, dan perlahan-lahan matanya terbuka dan memperlihatkan iris mata berwarna merah terang. Mata itu bergerak ke kanan dan ke kiri, menatap ekspresi penuh kelegaan dalam wajah Dokter Aji di sisi kanannya dan Suster Sandra yang sudah kembali ke sisi kirinya. “Kenapa kalian menatapku dengan wajah seperti itu? Apa yang telah terjadi?” tanya Zora sambil bergerak untuk duduk, tapi dia kembali terjatuh berbaring karena semua tulang-tulangnya terasa sakit. “Apa yang sebenarnya terjadi? Kenapa semua tulang-tulangku sakit?” tanya Zora dengan penuh rasa heran bercampur rasa takut.
Dokter Aji menghela napas sambil tersenyum, dan itu senyum pertama yang Zora lihat dari wajah dingin dokter itu. “Kekuatanmu baru saja lepas kendali. Semua tubuhmu mengeras seperti beton. Kamu sudah merusak jarum suntikku, dan itu bisa dibilang cukup mahal,” jawab Dokter Aji sambil memperlihatkan hancuran jarum suntik yang sebenarnya ditujukan untuk tubuh Zora.
Suster Sandra mengangguk. “Benar. Kalau keadaanmu buruk setelah lepas kendali, maka umurmu tidak akan panjang untuk bisa menjadi SOS. Tapi, keadaanmu sangat baik, lebih baik dari keadaanmu sebelum lepas kendali, dan kemungkinan kamu masih bisa melanjutkan kehidupanmu sebagai SOS. Saya senang melihat keadaan Sang-Juru-Selamat-Dari-Semua-Juru-Selamat bisa selamat,” kata Suster Sandra sambil terus memperlihatkan senyum manis di wajahnya, membuat Dokter Aji hampir memerah karena merasa tersanjung melihat senyum manis di wajahnya. Dia membuka tangan kanannya yang sebelumnya terdapat daging tumbuh. Perlahan-lahan, daging itu mengempis dan menghilang. “Lukaku juga sudah sembuh. Berarti lepas kendalimu dapat teratasi,” kata Suster Sandra, berusaha untuk tidak terlihat menyalahkan Zora.
Zora sedikit terkejut mendengarnya. Dia melihat tangan kanan Suster Sandra yang memerah setelah daging tumbuhnya menghilang. “Maafkan aku, Suster. Aku tidak bermaksud melukai Suster. Tapi, Suster tidak takut padaku, ‘kan?” kata Zora, terlihat sedih karena dia takut dirinya akan ditakuti oleh seorang suster baik hati dan murah senyum itu.
Suster Sandra mengangguk sambil tersenyum. “Tenang saja. Aku tahu bagaimana rasanya ditakuti, jadi aku tidak akan takut padamu,” kata Suster Sandra sambil menyentuh tangan kiri Zora. Dia melepaskan tangannya dan sadar bahwa tidak terjadi apa-apa pada dirinya ketika bersentuhan dengan tubuh Zora yang sudah tidak mengeluarkan asap pelangi dan sudah tidak lepas kendali.
Zora tersenyum. “Terima kasih,” kata Zora mengiringi senyumnya. “Dokter, apa Dokter tahu kapan saya, Novi, dan Bayu harus berangkat mencari dua orang lainnya? Saya belum mengatakan pada Ketua Arfan bahwa saya bersedia masuk atau tidak,” kata Zora mengalihkan pendangan suka dari Dokter Aji pada Suster Sandra yang sepertinya sadar bahwa dokter lajang itu memperhatikannya.
Dotker Aji berdehem ketika Zora tersenyum melihat wajah merahnya. “Sebelum saya berangkat ke rumahmu, Ketua Arfan memintaku untuk meyakinkanmu bergabung dalam Salvatorem Indonesia bukan pada Vandal. Jika aku berhasil meyakinkanmu, maka aku harus menyampaikan pesan, bahwa besok pagi kalian akan diberangkatkan dengan pesawat menuju Mesir. Salvator di sana memberitahu Ketua bahwa ada Pengendali Tanah, Soil Elementa, di tempat itu. Mereka meminta Ketua Arfan untuk mengirimkan bantuan pencarian. Jika tugas di sana selesai, kalian akan segera diberangkatkan ke Amerika untuk mencari Ignis Elementa,” kata Dokter Aji dengan serius.
Zora mengangguk-angguk mengerti. “Jika aku menolak untuk masuk Salvatorem Indonesia, apa yang dikatakan Ketua?” tanya Zora.
Dokter Aji dan Suster Sandra saling menatap untuk sesaat, lalu Suster Sandra mewakili Dokter Aji untuk mengatakan sesuatu yang sepertinya terdengar buruk. “Kami terpaksa membawamu dalam keadaan apapun ke Gedung Pertemuan Batavia. Kamu akan disidang sampai kamu benar-benar mau masuk dalam Salvatorem Indonesia. Jika kamu tetap tidak ingin masuk, dan memilih Vandal, kami terpaksa memusuhimu dan menjadikanmu buronan dengan harga yang sangat tinggi. Mungkin, kamu juga akan dibunuh oleh Salvator dari negeri lain,” kata Suster Sandra dengan wajah sedih.
Zora meringis. “Itu menakutkan,” kata Zora sambil memeluk tubuhnya sendiri yang merinding karena mendengar hal buruk yang dikatakan Suster Sandra mengenai dirinya. “Apa keberadaanku sangat dibutuhkan Salvatorem? Bukankah dengan adanya empat orang Pengendali Elemen maka tidak lagi dibutuhkan SOS? Mereka bisa menanganinya berempat saja, bukan?” tanya Zora.
Dokter Aji dan Suster Sandra menggeleng bersamaan. “Mereka hanya empat orang yang masing-masing memiliki satu Pengendalian, sementara SOS memiliki banyak Pengendalian, bahkan bisa mengambil Pengendalian dari orang lain. Dengan adanya SOS, akan lebih banyak lagi orang-orang di dunia yang selamat dari Vandal. Bahkan, saat ini saja, selama kekuatanmu belum terbangun, Novi dan Bayu kewalahan mengurusi orang-orang Vandal yang berusaha merusak pandangan orang-orang di Indonesia mengenai Manusia Super. Mereka ingin memecah belah manusia biasa dengan Manusia Super. Mereka ingin memonopoli penduduk daerah tempat mereka beraksi, sehingga mereka bisa menjadi pemimpin di tempat itu,” kata Dokter Aji, menjelaskan dengan sedikit terlihat terburu-buru. Dia merapikan barang-barang kedokterannya, bahkan dia menuliskan resep baru untuk Zora di atas sebuah kertas. “Suster Sandra akan membawakan obat ini untukmu besok pagi sebelum kamu berangkat. Minumlah obat ini ketika kamu benar-benar merasa sakit. Obat ini sengaja aku berikan untuk menghilangkan rasa sakitmua selama perjalanan. Kalau tidak sakit, kamu tidak perlu meminumnya,” tambahnya.
Zora mengangguk mengerti, berusaha  menerima keadaannya. “Dokter, kalau aku pergi ikut mencari dua orang Quatuor Elementa Salvator lainnya, apa tidak berbahaya bagi Salvator di Indonesia? Bukankah ada kemungkinan indentitasku diketahui negara yang akan kami datangi nanti? Kalau itu terjadi, jika aku tertangkap, apa yang harus aku lakukan? Apa yang akan Indonesia lakukan? Apa yang akan terjadi padaku?” tanya Zora, tiba-tiba merasa khawatir bahwa keberadaannya justru membuatnya dalam bahaya yang lebih besar dari yang pernah dibayangkannya sebelumnya.
Dokter Aji merobek kertas resep dan memberikannya pada Suster Sandra yang ada di seberangnya, melewati bagian atas tubuh Zora. Dokter Aji diam tidak berkata apa-apa sambil merapikan alat tulisnya. Tapi, dia sadar dengan pandangan yang Zora tujukan padanya. Dia menghela napas berat, menatap Zora dengan sedih dengan wajah dinginnya, dan membuka mulut untuk menjawab. “Sebenarnya hal itu sangat berbahaya. Tidak hanya berbahaya bagi dirimu sendiri, tapi juga Salvator di seluruh dunia. Ketua Arfan sudah memikirkan hal itu sejak sebelum kekuatanmu terbangun. Tapi, apa boleh buat(?) Kemampuan Novi dan Bayu dalam mengendalikan kekuatan mereka masih belum seberapa, meski sebenarnya mereka mampu melakukan yang lebih besar jika mampu mengendalikannya. Sama seperti dirimu, sudah dua kali mereka lepas kendali ketika melatih  kekuatan mereka. Ketua Arfan ingin menunjuk yang lainnya untuk bertugas mencari, tapi sayangnya mereka tidak sepandai Novi dan Bayu, bahkan mereka tidak bisa mengimbangi Novi dan Bayu. Hanya kamu yang dapat mengimbangi Novi dan Bayu. Karena itu Ketua Arfan terpaksa memilihmu ketika ia tahu SOS telah datang. Tapi, ada satu syarat untuk menjalankan tugas ini; kamu dilarang menggunakan kekuatan selama perjalanan jika hal itu masih bisa ditangani oleh Novi dan Bayu. Tapi, jika keadaan benar-benar terdesak, dan hanya kamu yang bisa menyelamatkan diri dan menyelamatkan yang lainnya, kamu boleh menggunakannya. Ketua Arfan sudah mempersiapkan kalung khusus untuk mengendalikan kekuatanmu. Kalung itu akan membantumu menahan peluapan kekuatan,” kata Dokter Aji.
Dokter Aji berdiri dan menjinjing tas dokter berwarna hitam yang berisi berkas-berkas miliknya. Dia berjalan diikuti Suster Sandra menuju pintu kamar. Dia membuka pintu, lalu berjalan keluar kamar sambil berkata, “Sekarang kamu harus istirahat banyak. Akan ada yang mengantarkan makan malam untukmu. Permisi.” Dokter Aji menutup pintu kamar setelah Suster Sandra keluar. Wajah terakhir sebelum tertutup pintu, dia memberikan senyum bangga bercampur rasa khawatir pada Zora.
Zora terdiam di dalam kamar sambil menatap pintu kamar yang tertutup. Dia mendengar suara pintu depan rumahnya tertutup rapat, di susul suara mesin mobil yang menyala, lalu suara mesin mobil itu terdengar semakin tipis dan semakin menghilang, meninggalkannya di dalam rumah dalam keadaan sakit tanpa ditemani oleh siapapun, hanya suara kucing yang mengeong meminta makan malamnya lebih awal.
Zora teringat bahwa dia belum melaksanakan salat ashar ketika dia hampir saja tertidur di sore hari. Zora bergegas bangkit dari kasur, berjalan sedikit sempoyongan, dampak dari lepas kendali, menuju kamar mandi, mengambil air wudhu, kembali masuk ke dalam kamar, dan segera dia melaksanakan salat ashar empat rakaat. Selesai salat, dia berdoa mohon petunjuk pada Allah S.W.T. Dia berdoa, jika perjalanannya dan dua temannya benar-benar terjadi, agar diberi kemudahan dalam menjalaninya. Dia juga berdoa untuk memohon petunjuk agar diberikan jalan yang terbaik untuk menjelaskan semuanya yang terjadi pada kedua orang tuanya.
Selesai melaksanakan salat ashar, ketika dia sedang merapikan mukena dan peralatan salat lainnya, telepon genggam di atas meja hitamnya bergetar dan menghasilkan suara yang sedikit mengejutkan. Zora melihat layar telepon genggamnya; terdapat sebuah pesan dari ibunya. Dia membuka pesan itu segera setelah selesai merapikan peralatan salatnya. Pesan itu berbunyi:

Zora, bagaimana keadaanmu? Kamu baik-baik saja, ‘kan?
Ibu baru mendapatkan kabar dari Ayah. Katanya, hari ini dia akan pulang, dan baru akan tiba di rumah tengah malam. Jika keadaanmu baik-baik saja, tolong bukakan pintu untuk Ayah. Tapi, kalau keadaanmu tidak begitu baik, nanti Ibu suruh Ayah untuk menginap di rumah sakit sampai keadaanmu baik.
Tolong balas pesan Ibu secepatnya.

Zora menghela napas dengan sedikit senyum di wajahnya. Dia memang tidak baik, tapi dia senang karena malam itu ayahnya akan pulang dan membuat suasana rumah lebih ramai. Dia menjatuhkan tubuhnya ke atas kasur secara perlahan-lahan, lalu menggerakkan jemarinya dengan cepat untuk membalas pesan ibunya. Pesan balasan itu berbunyi:

Zora baik-baik saja. Zora akan pasang alrm untuk membangunkan Zora agar pintu rumah Zora bukakan untuk Ayah. Zora juga mengaktifkan telepon genggam Zora dan tidak dalam keadaan diam.
Salam untuk Hana, besok Zora tidak bisa datang untuk menjenguk lagi karena ada janji dengan Novi.

Memang sedikit menyakitkan bagi Zora karena harus berbohong, apalagi nanti dia harus kembali berbohong, karena satu kebohongan akan terus berlanjut sampai kebohongan lainnya. Memang dosa untuk melakukan hal itu, tapi Zora tidak bisa membuat ibunya khawatir memikirkannya – meski dia tidak yakin ibunya akan benar-benar khawatir – dan membuat ibunya tidak memperhatikan Hana dengan baik, apalagi dia tahu bahwa Hana tidak bisa tidak diberi perhatian dari ibunya meski hanya sehari.
Zora duduk menyandar pada tembok di bagian kepala kasurnya. Dia duduk meluruskan kaki sambil bermain-main dengan kekuatannya. Dia berhasil membuat kuku-kuku jari tangannya tumbuh dengan cepat, lalu memendek dengan cepat. Tidak hanya itu, tapi tulang-tulang tubuhnya dapat mencuat ke permukaan kulitnya dan menjadi keras dan tidak sakit. Memang sedikit menakutkan bagi Zora yang baru saja mendapatkan kekuatan itu sehari sebelumnya. Tapi, Zora merasa sangat senang dengan kelebihan yang berlebihan yang didapatnya.
Sekitar satu jam Zora terus memainkan kekuatannya dengan senang dan gembira, sampai dia lupa akan kondisi tubuhnya sendiri. Azan maghrib berkumandang, membuatnya berhenti memainkan kekuatannya hingga dia berhasil mengendalikan empat dari sebelas kekuatan yang menurutnya wajib dia kuasai. Dia bergegas melaksanakan salat maghrib dengan tidak mengambil air wudhu lagi karena kebetulan dia belum membatalkannya. Dia menggelar alas salat, mengenakan mukena, dan segera melaksanakan salat maghrib tiga rakaat.
Selesai salat, Zora membua Kitab Suci Al-Qur’an dan membacanya sampai azan isya’ berkumandang, sehingga dia bisa segera melaksanakan salat isya’ dan bisa segera beristirahat.
Zora membaringkan tubuhnya yang terasa sangat pegal dan terasa seperti telur remuk akibat lepas kendali selesainya melaksanakan salat isya’. Zora memasang alrm pada telepon genggamnya. Dia juga membuat telepon genggamnya tidak dalam keadaan diam, sehingga lagu dering telepon genggamnya dapat terdengar ketika ayahnya meneleponnya. Zora merasa matanya mulai berat, lalu dia memejamkan mata perlahan-lahan dan tertidur dua menit setelah dia memejamkan kedua matanya.

Jumat, 06 Mei 2011

Chapter Nine

Jaket hijau gelap kebesaran miliknya berkibar-kibar ke belakang tubuhnya karena tertiup angin. Motor matiknya melaju dengan kecepatan 90 kilometer per jam, lebih cepat dari biasanya. Di hari libur seperti saat itu membuat jalan menjadi lebih sepi, tapi membuat kecelakaan sering terjadi. Banyak pengendara yang menganggap remeh jalan sepi sebagai tempat untuk bisa saling kebut-kebutan, karena hal itulah sering sekali terjadi kecelakaan yang bisa menyebabkan kematian.
Zora menyalakan lampu sen ke kanan ketika dia sampai di depan supermarket yang menjadi tempat terbaik untuk membeli keperluan rumah tangga bagi keluarganya. Dia berhenti di depan mesin otomatis tiket masuk supermarket. Dia menunggu tiket itu keluar dari sebuah lubang tipis sepanjang 15 senti. Setelah mengambil tiket masuk, Zora melajukan motornya dengan kecepatan rendah untuk pergi ke bagian belakang gedung supermarket yang menjadi tempat parkir bagi motor-motor.
Zora menitipkan helmnya pada penitipan helm, lalu berjalan kaki dari tempat parkirnya sampai ke pintu masuk supermarket yang sebenarnya ada tepat 20 meter di depan pengambilan tiket. Berjalan kaki selama kurang dari 2 menit sudah membuatnya merasa sedikit lelah, tapi dia masih bisa bertahan dengan rasa lelahnya itu. Maka, Zora menaiki satu tangga eskalator dan menunggu sampai eskalator itu mengantarnya ke lantai dua gedung supermarket. Di lantai itu, adalah awal perjalanan belanja bagi orang-orang. Zora mengambil sebuah kereta dorong belanjaan dan menjelajah di lantai dua untuk mencari barang-barang serta bahan-bahan utama di lantai dua.
Dia mengawali belanjanya dengan mengunjungi rak yang menyediakan berbagai macam jenis dan merk mie. Dia membeli mie instan goreng sebanyak 10 buah, mie instan rebus sebanyak 10 buah, dan mie instan dalam gelas berbahan sejenis staerofoam sebanyak 5 buah. Dia menumpuknya dengan rapi di sisi keranjang bagian dalam agar muat untuk memasukkan berbagai macam belanjaan lainnya.
Dari sana, dia berpindah ke lemari yang menempel langsung pada dinding dalam supermarket itu. Rak itu menempel berjajar menjualkan sabun-sabun pencuci pakaian, pewangi pakaian, sabun cuci piring, pewangi lemari, kamper, sabun pembersih lantai, sampai tisu. Dia mengambil setiap jenis sabun yang terjual di rak itu, tentunya dengan merk kepercayaan keluarganya. Kemudian, Zora juga mengambil satu kantong tisu gulung untuk di dalam kamar mandi, satu botol berisi cairan pembersih lantai rumah, serta tiga buah pewangi lemari.
Zora melanjutkan menuju rak yang menyediakan keperluan pembersih badan. Dia mengambil tiga kotak pasta gigi, satu buah sikat gigi untuk mengganti sikat giginya yang sudah hampir tiga bulan digunakannya, mengambil satu botol sampo berukuran besar, satu botol sabun pembersih kemaluan, serta lima buah sabun batangan dengan wangi bunga-bunga aromaterapi. Tidak hanya itu, dia juga membeli sabun pembersih muka dengan ukuran tempat yang cukup besar, serta satu buah kantong pembalut.
Tidak jauh dari rak keperluan kebersihan badan, terdapat sebuah meja dua meja kaca yang membatasi pembeli dengan dua perempuan berpakaian seragam hitam dengan garis merah muda di tepiannya. Di sana, mereka menjual obat-obatan umum. Jarang sekali ada pembeli supermarket itu datang membeli obat di sana, tapi tidak untuk Zora. Setiap kali Zora datang berbelanja – hampir setiap bulan – Zora pasti membeli obat-obatan umum, seperti obat pusing, penurun demam, batuk dan flu, salep untuk pegal-pegal, salep pelega pernapasan, minyak kayu putih, minyak telon, serta lima buah kotak kecil berisi plester penutup luka. Bahkan, penjual yang melayani di sana sampai hapal benar keperluan Zora dan selalu menyediakannya setiap bulan khusus untuknya.
“Mbak, maaf, seperti biasanya,” kata Zora mengejutkan pelayan apotik itu yang sedang membelakanginya sambil menebalkan dandanannya.
“Oh, Adik. Sebentar, ya,” kata pelayan itu sambil menaruh perlatan dandannya di dalam lemari obat yang masih menyisakan sedikit tempat. Pelayan itu mengambil sebuah kantong plastic transparan berisi obat-obatan yang biasa Zora beli di tempat itu. Dia sudah menghitung total harganya, dan di apotik itu Zora langsung membayar belanjaannya. “Adik sendirian saja. Mana ibunya dan adiknya?” tanya pelayan itu sambil memperlihatkan semua pesanan Zora.
“Ibu sedang menemani adik saya di rumah sakit. Kebetulan, adik saya terkena Demam Berdarah sekitar 5 hari yang lalu,” kata Zora sambil mengangguk-angguk terus ketika obat-obat yang biasa dibelinya di perlihatkan. “Terima kasih, Mbak. Mari,” kata Zora ketika pelayan itu telah selesai menunjukkan pesanannya. Zora menaruh belanjaannya itu di dalam keranjang dengan sangat rapi, lalu membawanya menuju eskalator untuk turun ke lantai satu, membeli bahan-bahan masakan, mulai dari beras, kecap, sayu-sayuran, buah-buahan, sampai daging sapi.
Setelah turun dari eskalator, kebiasaan Zora adalah berbelok ke kanan dan membeli beras dan kecap lebih dulu. Dia mengambil sebuah beras seberat 10 kilogram, mengangkatnya dengan mudah, dan menaruhnya di bagian ujung keranjang dorong belanjaan yang sengaja diberinya celah. Setelah itu, Zora berjalan mengikuti arus mengambil satu kantong gula, kecap, bumbu dapur instan, dan kornet. Di akhir jalur yang Zora lewati, terdapat sebuah rak yang menyediakan makanan hewan. Karena Zora memelihara 5 ekor kucing di dalam rumah, dan satu kolam ikan hias di teras belakang rumahnya, maka Zora mengambil sebanyak 10 saset kecil makanan kucing dan tiga saset panjang makanan ikan.
Zora berjalan lurus melewati kasir-kasir yang sudah terisi antrean pembeli. Tapi, Zora tidak ingin membayar belanjaannya lebih dulu, karena dia belum membeli bahan sayuran, bumbu dapur seperti bawang dan cabai, serta daging. Maka, dia mendorong keranjang dorong belanjaannya menuju meja-meja berdinding es untuk mendinginkan daging-daging segar.
Zora memilih daging sapi cincang yang terlihat baik. Zora menyendoknya dengan sendok besi dan panjang dan memiliki cekungan yang besar, lalu memasukkannya ke dalam satu kantong plastic. Setelah itu, dia meminta pada pelayan di belakang meja itu untuk menimbangnya. Dia selalu percaya diri dalam hal takar-menakar bahan, dan untuk kali ini takarannya tepat dan sesuai dengan kebutuhannya selama ibunya berada di rumah sakit menemani adiknya dan ayahnya masih ada di luar kota untuk mencari nafkah untuk keluarganya.
Setelah membeli daging sapi, Zora beralih ke daging ayam dan sayuran. Dia memilih daging ayam yang sudah dipotong yang masih terlihat bekas darah yang mulai membeku. Zora mengambil sekitar 6 potong dan memasukkannya ke dalam kantong plastic, lalu meminta pelayan daging yang sama untuk menimbang belanjaannya. Selama menunggu timbangan – cukup mengantre meski hanya untuk menimbang – Zora berjalan mencari daun kangkung dan daun bayam, lalu membelinya sebanyak dua ikat untuk masing-masing sayuran. Dia memasukkannya ke dalam keranjang, kemudian mengambil daging ayam yang suda di timbang.
Zora melihat jam di tangan kirinya menunjukkan pukul 2 siang. Dia tidak ingin pergi lebih lama lagi dari rumah, maka Zora bergegas membeli satu kantong bawang bombay, bawang merah, dan bawang putih, serta setengah kilogram cabai merah keriting. Segera setelah itu, Zora memilih kasir dengan antrean paling sedikit dengan segera.
Selesai membayar belanjaan di kasir dengan kartu kredit pinjaman ibunya selama ibunya pergi merawat adiknya di rumah sakit, Zora membawa belanjaan yang cukup banyak itu menuju parkiran motor di belakang gedung. Memang cukup melelahkan bagi Zora yang dalam kondisi tubuh kurang baik, tapi Zora mampu membawanya dan menaruhnya dengan rapi di atas pijakan kaki motor matiknya dengan mudah, sementara dia terpaksa menaruh beras yang dibelinya di belakang dirinya dengan mengikatnya menggunakan tali rafia yang selalu siap di dalam kotak di balik jok.
Zora segera memarkirkan motornya keluar dari parkiran, lalu melaju dengan kecepatan sedang menuju tempat pembayaran tiket. Setelah membayat tiket, Zora berbelok ke kiri dan terus mengikuti jalan yang ramai sampai akhirnya dia tiba di rumah, merapikan semua belanjaan sendirian selama sekitar 1 jam, lalu duduk melepas lelah di ayunan yang terdapat di teras belakang rumah bersama kelima hewan peliharaannya yang masih tertidur di hari siang yang panas hari itu.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah 4 sore. Azan ashar berkumandang keras sampai ke rumahnya. Kalau Zora tidak ingat kewajibannya untuk melaksanakan salat, dia masih berleha-leha di ayunan yang bergerak dan membuatnya mengantuk. Tubuhnya terasa remuk, mungkin seperti telur yang terlindas tubuhnya yang besar. Dia jalan sempoyongan, bahkan dia harus merayap di dinding ketika dia merasa tubuhnya benar-benar remuk.
Zora membuka pintu kamarnya dan terdiam dengan wajah terkejut ketika melihat Dokter Aji dan Suster Sandra sedang mempersiapkan alat-alat kedokteran di atas kasur. Selama Zora terdiam di depan pintu yang terbuka dan tidak bergerak, Dokter Aji dan Suster Sandra bekerja sangat kompak untuk membagi tugas pemeriksaan pada dirinya.
Dokter Aji memutar badannya untuk bergerak hendak keluar kamar untuk memanggil Zora yang dikiranya masih merapikan belanjaan. Dia terdiam sambil mengantongkan kedua tangannya ke dalam saku di kedua sisi jas putihnya. “Oh, kau sudah selesai merapikan belanjaanmu, ya? Sekarang, saatnya untuk istirahat,” katanya sambil bergerak cepat merangkul lengan kiri Zora dan menuntunnya untuk masuk ke dalam kamar, bahkan sampai membantu Zora untuk berbaring di atas kasurnya.
“Dokter tidak sopan. Siapa yang mengijinkan Dokter untuk masuk ke dalam kamar seorang perempuan tanpa seijin pemilik kamar? Saya tidak suka Dokter berbuat lancang seperti ini. Untuk kali ini, saya akan ampuni Dokter. Tapi, kalau lain kali Dokter berbuat hal yang sama, saya tidak akan segan-segan memasukkan virus dari jas dokter Anda ke dalam tubuh Anda, lalu mempercepat pertumbuhan virus itu. Sebagai seorang dokter, Dokter pasti tahu apa akibatnya, bukan?” kata Zora sambil menuruti kemauan Suster Sandra yang meminta lengan kirinya untuk diukur tekanan darahnya, sementara Dokter Aji meminta maaf karena akan memeriksa detak jantung Zora dengan menggunakan stetoskop.
Suster Sandra bergerak cepat mencari nadi pada lipatan tangan Zora, dan mendapatkannya dengan sangat mudah. Dia menaruh stetoskop di atasnya, lalu bersiap untuk memompa. “Menyeramkan. Meski kamu berbicara seperti itu, Dokter Aji tidak akan pernah masuk ke kamar ini lagi. Lagi pula, kamu juga tidak mungkin melakukan hal sekejam itu pada orang yang telah membantumu untuk sembuh dari serangan Necrokinesis yang hampir merusak fungsi jantung dan otakmu,” kata Suster Sandra sambil tetap memeriksa tekanan darah Zora, dan terlihat sangat pandai menggunakan tensimeter itu. Dia sama sekali tidak tergubris ketika dia berbicara, padahal denyut nadi pada lipatan tangan itu sulit ditemukan dan dirasakan.
Dokter Aji mengeluarkan kepala stetoskopnya dari bawah baju Zora. Dia melepas sumbatan kuping dan menggantungnya di lehernya. Dia menulis hasil pemeriksaannya di atas kertas. “Ya, kamu tenang saja, aku tidak akan masuk seenaknya ke kamarmu. Lagi pula, ini adalah pemeriksaan terakhir dariku. Selanjutnya, aku menunggu laporanmu setiap hari. Karena, mulai besok kamu sudah tidak ada di rumah ini lagi,” kata Dokter Aji sambil terus menulis hasil pemeriksaan Zora mengenai tekanan darahnya setelah Suster Sandra memberitahunya.
Zora menatap Dokter Aji yang tidak menatapnya. “Maksudnya? Secepat itukah aku, Novi, dan Bayu harus pergi mencari Phyrokinesis dan Geokinesis? Memang, apa yang telah terjadi sampai kami harus pergi mencari secepat itu? Aku juga belum memberitahu Ketua Arfan untuk bergabung atau tidak,” kata Zora sambil bergerak untuk membangkitkan tubuhnya agar memudahkannya berbicara.
Tiba-tiba, jantungnya berdetak keras, membuatnya tidak bisa berkata apa-apa lagi. Otaknya kembali terasa berdenyut-denyut dengan keras, membuatnya merasa sangat mual hingga harus memuntahkan isi perutnya yang mulai hancur dan sudah hampir masuk ke dalam usus halus. Zora terbatuk-batuk memuntahkannya, membuat jantungnya berdebar-debar semakin keras, membuat dadanya terasa sakit. Dalam posisi duduk, tangan kanan Zora menyentuh sisi kiri badannya, sedangkan tangan kanannya dia gunakan untuk memijit kepalanya yang terasa sangat sakit.
“Zora? Bertahanlah! Sandra, kita lakukan bersama-sama. Karena levelmu belum cukup tinggi, kita gunakan selama 2 menit saja. Aku rasa, itu sudah cukup untuk menenangkannya,” kata Dokter Aji sambil menggunlung lengan bajunya dan bersiap untuk memberikan kekuatan Penyembuh pada Zora, sementara Suster Sandra membantu Zora beraring kembali.
Kedua tangan Dotker Aji dan Suster Sandra melayang di atas tubuh Zora. Bersama-sama, mereka mengeluarkan kekuatan mereka dan memperlihatkan asap putih kebiruan. Asap itu menyelubungi tubuh Zora selama sekitar 2 menit. Zora merasa sangat nyaman, dan dia merasa kondisinya membaik perlahan-lahan, tapi dia tetap saja masih merasa sakit dan menahannya sampai wajahnya kembali berwarna merah pucat, bahkan terlihat garis hitam di kelopak bawah matanya. Hal itu membuat Zora lepas kendali dan mengeluarkan asap berwarna pelangi yang begitu benderang. Tidak hanya asap berwarna pelangi, tapi iris matanya pun berwarna cokelat pucat. Dan tidak ada yang bisa dilakukan untuk mengatasi hal itu, bahkan tidak ada seorang pun yang dapat mengatasinya.
Ketegangan semakin terasa di dalam kamar itu, apalagi ketika asap pelangi keluar semakin meninggi dan semakin terlihat pekat, bahkan sedikit menyakitkan mata Dokter Aji dan Suster Sandra yang sedang ternganga ketakutan melihat asap pelangi yang meluap-luap. Dinginnya ruangan itu karena pendingin ruangan tidak lagi terasa dingin. Asap pelangi yang keluar dari tubuh Zora membuatnya tidak lagi dapat berfungsi, membuat Dokter Aji dan Suster Sandra menghasilkan banyak keringat. Bahkan, tubuh Zora basah oleh keringatnya sendiri.
Tanpa sengaja, tangan kanan Suster Sandra menyentuh tangan kiri Zora ketika dia berusaha menjauh dari tubuh Zora yang mengeluarkan asap pelangi yang terasa semakin panas karena terangnya asap itu. Suster Sandra menarik tangan kanannya dan memeganginya dengan sedikit mengaduh kesakitan. Dia merasa permukaan kulitnya bergetar-getar kecil dan perlahan-lahan menumbuhkan sebuah benjolan seperti daging dengan warna gelap. Benjolan itu terasa sakit, dan Suster Sandra menggunakan sisa tenaganya yang sudah terpakai untuk memulihkan Zora. Tapi, tidak ada hasil karena benjolan itu tumbuh karena pengaruh kekuatan Zora yang lepas kendali. Benjolan itu akan hilang jika Zora mampu menenangkan diri.
“Dokter, tubuh Zora dengan sendirinya mengeluarkan kekuatan. Tangan saya tersentuh dan tumbuh daging berwarna gelap. Kita harus hati-hati, ‘Dok,” kata Suster Sandra sambil menutupi daging tumbuh di tangan kanannya itu. Menahan rasa sakit yang tidak sesakit apa yang Zora rasakan, tapi dia sudah mulai mengeluarkan air mata. Rasa di permukaan kulitnya tidak hanya sakit, tapi juga ada rasa panas dan perih yang menyengat sampai ke ubun-ubunnya.
Wajah dingin Dokter Aji berubah. Dia terlihat begitu terkejut, khawatir, bercampur takut dengan situasi menegangkan di kamar itu sekaligus takut akan tersentuh tubuh Zora yang menegang. “Suster, cepat segera menjauh dari Zora. Aku akan menahan kekuatannya dengan kekuatanku. Mungkin saja berhasil memperkecil akibat lepas kendali kekuatannya,” kata Dokter Aji sambil bergerak menaruh kedua tangannya tiga puluh sentimeter di samping tubuh Zora. Dia memejamkan mata ketika Suster Sandra bergerak perlahan-lahan untuk pergi ke sisinya. Dia mengeluarkan asap biru keputihan, lalu asap itu menyatu dengan asap biru keputihan milik Suster Sandra. Dokter Aji memang terkejut dengan apa yang suster yang dia sukai itu lakukan, tapi dia merasa bangga dengan perempuan yang disukainya itu karena mau membantunya menenangkan Zora sang Salvator Omnium Salvatores yang lepas kendali dan sudah melukai kulitnya.